Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

July 21, 2014

Tentang Nama

Namanya Prima.

Satu dari sekian nama yang tidak dapat dimengerti.

Apa yang kamu harapkan dari sebuah nama? "Nama itu do'a". Begitu kata orang-orang yang sering masuk ke sebuah ruang beralaskan gambar kubah. Apakah orang tuaku yang memberikan nama itu kepadanya? Prima. Apa yang diharapkan dari nama itu? Prima dalam melakukan semua hal? Rasanya dia tidak ingin melakukan semuanya dengan prima. Mungkin juga dia punya arti sendiri mengenai kata Prima. Entah. Entah. Masih ada dipikirannya, siapa yang memberikan nama itu.

Ayah?

Oh, ayah yang hilang itu. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat ayahnya. Entah apa yang terjadi, ibunya tak pernah bilang. Yang dia tahu adalah ibunya sangat membenci sosok ayah.

Ibu?

Kalau ibu yang memberikan nama itu, apa yang kau harapkan, bu? Aku cuma anak cina yang lahir di lingkungan yang kotor. Kotor akan budaya. Itu pikirnya.

Aku lelah, bu, kalau harus menerima-nerima saja apa yang kau bilang. Aku manusia. Aku harus berpikir. Aku harus tahu mengapa begini, mengapa begitu. Namun, pikiran itu hanya sebatas di pikirannya saja, tidak pernah keluar.

Sebuah nama, sebuah cerita. K

Kata sebuah lagu sih gitu.

Mungkin dengan nama ini, dia ditakdirkan untuk menjalani hidup seperti ini.




-Prima, yang sedang menerawang

July 8, 2014

Pre-decision 01



Aku menatap dinding kamarku dalam diam. Merasakan sakit luar biasa yang entah bagaimana terasa begitu nyata dalam kondisi fisikku yang dapat dikatakan baik-baik saja. Perih.
“Jahat. Kamu jahat. Kamu sangat jahat.”
Kugigit kuat-kuat bibir bawahku demi menahan kata-kata tidak pantas yang telah berkumpul di ujung lidah. Memaksa untuk dimuntahkan begitu saja.
“Kenapa?”
Berulangkali kulayangkan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab dengan sendirinya. Kurasakan kedua mataku mulai memanas. Aku sama sekali tidak berniat untuk menahannya kali ini.


Klia?
Sontak Klia tersadar dari lamunannya dan memutar kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya.

Ah, Padma. Kenapa kau bisa ada di sini?
Padma mengernyit mendengarnya, membuat Klia segera menyadari kesalahan kalimat pertanyaan yang ditelepatikannya.

Eh maksudku, maksudku tumben kau ke sini umm pagi-pagi begini?
Padma tersenyum. Senyuman manis yang terasa getir.

Leo memanggilku. Dia memintaku untuk datang.
Klia mematung selama beberapa milidetik sebelum akhirnya berhasil memaksakan seulas senyum balasan.
Oh? Kalau begitu tunggulah di sini. Aku akan memanggil Leo. Laki-laki dandy itu bahkan lebih lama berdandan dibandingkan aku, hahaha.
Padma sekali lagi tersenyum. Kali ini senyuman lebar yang sedikit memperlihatkan deretan gigi depannya.
Siapa yang kau maksud, huh? Sembarangan saja mengataiku laki-laki dandy. Aku kan harus membereskan peralatan makan kita dulu, wajar saja aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk bersiap-siap. Ingat ya, sedikit.
Klia memberengut sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja mendapat jitakan pelan dari laki-laki yang menjadi pembicaraan mereka. Tanpa mengindahkan kekesalan Klia, Leo bergegas menghampiri Padma dan mengalungkan lengan kanannya ke leher gadis itu.
Hai, selamat pagi. Kau cantik sekali pagi ini.
Padma menunduk dan tersenyum malu. Aliran darahnya berpacu dan berkumpul di sekitar pipinya, menampakkan semburat merah muda yang memesona.
A… ah, berhentilah merayuku. Ini bahkan masih pagi, Leo!
Padma menarik paksa lengan kokoh yang melingkari lehernya dan melepaskannya.
Cih, dasar tukang gombal.
Leo memutar kepalanya menghadap Klia yang terlihat masih mencibir padanya. Kedua tangan perempuan itu bersedekap di depan dada dengan pandang merendahkan yang jelas-jelas terarah padanya.
Hei, jaga bicaramu. Memang apa salahnya kalau aku jadi tukang gombal di depan kekasihku sendiri? Bilang saja kau ingin kugombali, hmm?
Klia langsung membelalakkan matanya. Sejurus kemudian perempuan itu mendengus keras.
Jangan mimpi.
Leo hanya merotasikan kedua bola matanya dengan malas.
Terserahmulah.
Hei hei, kalian ini seperti anak kecil saja. Sudahlah, aku datang ke sini pagi-pagi bukan untuk melihat pertengkaran kalian. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan saja? Aku punya suatu tempat yang ingin kukunjungi dan kuperlihatkan pada Klia.
Padma berusaha mencairkan suasana yang mendadak terasa tidak nyaman itu. Lagipula apa yang ditelepatikannya juga benar. Ia merasa risih melihat pertengkaran keduanya.
Oh? Kau ingin mengajakku kemana? Apa ada tempat di dunia an… eh mm, spesial ini yang belum kudatangi?
Rupanya Klia tertarik dengan ajakan Padma. Ia tidak lagi memikirkan peran Padma dan kerumitan peran mereka bertiga yang sedari kemarin terus memenuhi kepalanya.
Sebaiknya kau ikut aku. Aku pastikan kau akan menyukai tempat itu. Sangat menyukainya. Ayo!
Tanpa memedulikan Leo yang sedang bersama mereka, kedua perempuan itu bergegas keluar rumah dan berjalan beriringan dengan langkah riang. Meninggalkan Leo yang mencibir melihat kelakuan mereka.
Dasar perempuan. Selalu seenaknya sendiri. Huh!

June 22, 2014

Tentang Perputaran

Menurut cerita, what goes around comes back around.

Seharusnya aku percaya ungkapan tersebut sejak awal, sejak aku bisa berpikir dengan kepala aku sendiri.

**

Akhir-akhir ini pikiranku terusik. Banyak hal yang masuk ke kepala, sedangkan aku selalu menolak semua itu. Semakin aku menolak, semakin aku terpikir karena hal tersebut.

Sudah tidak asing ketika seorang wanita mendekatiku. Mereka bilang aku misterius. Ketika mereka bilang seperti itu, aku selalu tertawa ketus, sambil meninggalkan mereka dengan 'kekagumannya'. Kebanyakan alasan yang aku tau kenapa mereka mendekatiku karena aku memiliki muka cina. Muka cina ini sedang marak berseliweran di internet karena segala sesuatu yang berasal dari korea. Katanya dramanya bagus, kata Doko. Dia memberikanku beberapa keping DVD dengan judul yang berbeda. Pada akhirnya aku entah menyimpan dimana kepingan-kepingan tersebut dan ketika ditanya, aku selalu menghindar. Doko selalu menceramahiku kalau aku tidak melakukan hal-hal yang dia sukai.

Muka cina.

Se-spesial itu kah? Bahkan aku ingin melakukan operasi plastik agar terlihat lebih pribumi. Namun, setelah ku pikirkan, aku tidak akan beda jauh dengan orang-orang cina lain, suka operasi plastik. Mengubah bentuk wajah. Mengubah penampilan wajah. Mengubah hoki, katanya.

Suatu hari, datang lah dia. Dia yang dalam beberapa bulan terakhir mendekat. Aku selalu menjauh, tapi dia selalu mendekat. Dia selalu menyapaku, cih, basa-basi, pikirku. Dia berperawakan tinggi, kulit putih pucat. Dia bukan cina, tapi kulitnya putih seperti tidak pernah bermain di bawah matahari sejak kecil. Kulit mukanya memerah setiap dia menyapaku, yang aku tau kulitnya tidak pernah semerah itu ketika aku perhatikan dari jauh. Ah, kenapa aku jadi memperhatikan dia?

"Hey, Prim. Sendiri aja lo? Mana soulmate lo, si Handoko?".

Aku pikir, itu adalah pertanyaan yang paling retoris yang pernah aku dengar seumur hidupku.

"Hebat ya, lo bisa betah sama dia. Bawelnya kan minta ampun. Duh!", sambil berbicara, dia duduk di bangku di depanku tanpa persetujuan siapapun. Dia memandangku. Aku bisa melihat matanya dengan jelas. Pupilnya sedikit demi sedikit membesar di antara warna coklat tidak terlalu tua yang ada di sekitarnya. Aku bisa melihatnya karena matanya tidak se-coklat gelap mataku dan orang lain, yang biasa ada di lingkungan kami.

Kami...

Sejak kapan pembicaraan ini menjadi kami?

"Eh, kita belum pernah ngabisin waktu bareng nih. Next weekend, jalan yuk? What do you think?"

Aku hampir tersedak air mineral yang sedang ku minum. Dia langsung mengambil tissue untuk mengelap air yang berlumuran di muka dan bajuku. Kemudian dia sadar, untuk apa mengelap air di bajuku. Seketika dia memberikan tissue itu kepadaku. Aku menerimanya. Kami diam.

Aku tidak pernah merasakan perasaan hangat seperti ini. Rasa hangat ini bukan dari panas matahari, aku yakin. Apakah dia merasakan kehangatan ini?

June 9, 2014

The Other(s)

 

Sepasang kelopak itu bergetar pelan. Sepersekian detik berikutnya terangkat perlahan. Sampai akhirnya terbuka sempurna.

Ah, dimana ini? Kenapa tempat ini terasa fa.. Ah, betul juga! Sekarang aku pasti ada di rumah. 
Klia menutup kembali kelopak matanya dan menggeliat. Mulutnya sedikit terbuka -berusaha menyuarakan erangan pelan- tanpa ada suara yang terdengar. Setelah puas menggeliat dan membuat kusut seprai tempat tidurnya, Klia kembali membuka mata dan menemukan sepasang manik hitam menatapnya dalam jarak kurang dari satu meter. 

Ya Tuhan! Leo! Kau… kau mau membuatku terkena serangan jantung, huh? 
Klia mengomel pada sosok laki-laki yang mendadak muncul di hadapannya. Gadis itu segera menegakkan punggung dan menggeser tubuhnya, berusaha menambah jarak di antara mereka. 

Hahaha, ekspresimu lucu sekali Klia! 
Leo tergelak dan langsung menarik badannya ke belakang, kembali pada posisinya semula yang berdiri tegak di samping ranjang Klia. Klia hanya memberengut dan memajukan bibirnya. 

Hei hei, jangan cemberut seperti itu. Maaf deh. Awalnya aku hanya ingin membangunkanmu dan mengajak sarapan, tetapi melihatmu sedang menggeliat seperti kucing membuatku ingin sedikit mengejutkanmu. Hanya sedikit kok. Sedikiit. 
Klia masih memberengut. Kali ini kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua matanya menyipit menatap Leo yang kelabakan membujuknya. 

Oke oke, aku salah. Maafkan aku. Kau pasti mau memaafkan laki-laki tampan nan baik hati sepertiku kan? 
Sebuah bantal mendadak melayang dan menghantam wajah Leo. 

Rasakan! Huh. 
Klia menyeringai puas dan beranjak bangun dari ranjangnya, meninggalkan Leo yang tengah berkomat-kamit tanpa suara setelah mendapat lemparan selamat pagi darinya.  

Leo! 
Laki-laki yang dipanggil itu bergegas keluar dari kamar setelah selesai mengeluarkan rutukan untuk Klia, gadis yang baru saja memanggilnya sekaligus yang melemparnya dengan sebuah bantal tanpa mengucapkan permintaan maaf setelahnya. 

Ya? 
Klia berbalik menghadap Leo dan menampilkan ekspresi polos di wajahnya. 

Mana sarapannya? Kau masuk ke kamarku untuk mengajak sarapan kan? Tapi mana makanannya? 
Leo mendengus begitu mendengar pertanyaan Klia. 

Aku mengajakmu sarapan bukan berarti aku sudah menyiapkan sarapannya. Justru aku membangunkanmu untuk membuatkan sarapan. Bukankah tugas perempuan sepertimu adalah memasak? 
Kali ini Leo yang menampilkan ekspresi polos di wajahnya. Ekspresi berbeda membias di wajah Klia. Gadis itu melebarkan pupil mata dan setengah membuka mulutnya mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka dari lawan bicaranya. Lebih tepatnya dari seseorang dengan status sebagai penjaganya. 

Apa? Kau memintaku memasak? Kupikir kau adalah penjagaku dan… 

June 6, 2014

Abadi Sejauh Ini



Sekali lagi ini tentang cerita cinta. Yang biasanya hanya di reka dalam otak semata. Ia seringkali diam disana, karena tiada pernah berani keluar dari gua. Menanti dan menanti sampai saat ia tiba-tiba memegang kendali. Karena akhirnya ia sadar, dunia terlalu singkat untuk berkata nanti. Hingga sadar ia tidak akan kuat kehilangan lagi.

Ruangan kelas itu berisi satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya duduk saling berhadapan. Si laki-laki duduk dengan badan sedikit condong kedepan. Matanya tegas namun memperlihatkan perhatian. Tangannya bertemu di ataskakinya yang terbuka, saling berpegangan. Kemudian si perempuan, ia sedang berkata-kata  dengan amat serius. Matanya basah dan pipinya tirus. Rambutnya sedikit berantakan tapi jelas sempurna terurus. Membuat anak Adam yang melihatnya memperhatikan terus menerus. Hidungnya basah, jelas sekali minta untuk dihapus. Ia sedang berkeluh kesah dengan sahabatnya, Farrus.

“Saya bingung sekali, Far. Sepertinya rumah saya bukan lagi tempat yang tepat untuk menjadi sandaran saya dan adik-adik. Tidak sehat rasanya melihat pasangan orangtua itu berteriak satusama lain. Dan saya malu, malu sekali karena hanya bisa menangis. Bahkan adik saya bisa lebih tabah. Pagi tadi ia yang mengiring saya untuk masuk ke dalam mobil. Melupakan mereka yang saling caci hanya karena sayur yang basi. Saya harus berbuat apa?”

Farrus memandang Luna.Tidaklah aneh untuknya mendengar sedu sedan wanita. Khususnya wanita dihadapannya. Sahabat yang sesungguhnya baru dikenal dua tahun lamanya. Bahkan hingga sekarang ketika mereka tidak  lagi sekelas bersama.

“Tidak ada yang salah dengan kamu, Luna. Wajar untuk menangis. Gue pribadi tidak akan tahu bagaimana rasanya jikaada di posisimu. Tuhan tahu benar kapasitasmu. We just need to encountering it. Semua kejadian jelas ada tujuannya.”

“Itulah. Saya sepertinya terlalu bodoh untuk membaca situasi. Bahkan untuk kejadian ini. Saya tidak tahu dan tidak dapat memahami apa arti di balik semua ini.”, Luna menyeka hidungnya dengan tissue yang diberi Farrus.
  
Hey, theres always be ups and downs. Ayo Luna optimis. Berprasangka baik dengan Tuhan! Ia selalu serupa bayangan kita. Ingat?”,Farrus menjawil hidung merah Luna playfully. Luna tersenyum lebar seketika.

KRIIIIIIIIIIIIING!

And theres always be a ding dang dongsss between it! Terimakasih sekali Farrus! Saya tidak tahu bagaiman…”

shooshooo shoo! Drama dasar..sudah ya cengeng, gue masuk dulu! Jangan nangis lagi suara sudah kayak lady rocker begitu!”,lalu suara geser kursi mengakhiri pembicaraan dua insan tersebut selama sesaat. Selalu begini setiap saatnya. Dua insan yang terjebak dalam istilah sahabat. Istilah sahabat.

Farrus dan Luna saling suka. Semua tahu betul demikian adanya. Semua kecuali mereka berdua. Mereka yang terlalu lama bertahan di zona aman mereka. Muda mudi yang merasa selalu ada untuk lawan mainnya. Selamanya. Selamanya yang sayangnya sulit untuk bisa dikecap manusia di dunia fana.

***

Bagi Luna, Farrus adalah dahan yang selalu siap untuk mengajaknya melihat pemandangan di atas sana. Ia tempat berpijak, bergantung sekaligus berteduh dalam waktu yang ia harap bisa selama-lamanya. Farrus serupa abang lelaki yang jika Tuhan tidak sempurna, pasti lupa untuk diberi kepadanya. Mereka bisa saling berbicara mengenai apapun sampai semalaman. Apapun. Seolah mereka tidak mengenal batasan. Dari mulai pelajaran, keluarga hingga isi hati.Ya, mereka terbiasa bertukar isi hati. Isi hati yang well, sepertinya memang belum terlalu dalam. Buktinya mereka masih saling menyebutkan nama lawan jenis yang menarik ke satu sama lain. Bukannya saling bertukar kalimat mesra atas nama pribadi.  Tetapi pokoknya mereka saling berbagi selalu. Segalanya sampai terkadang saling menyimpan pilu. Siapa diantara kalian yang sanggup menahan haru ketika orang terkasihmu dirundung pilu? Singkat kata, bagi Luna, Farrus segalanya!

“Farrus, pulang nanti mau temani saya? Saya mau ke ak.sa.ra. Saya habis bahan bacaan.”

“Gamau!”

“Koook?”

“Kamu itu kalau sudah membaca lupa sekitar. Ogah gue dikacangin selama kamu baca!”

“Hahaha, Saya kira kenapa. Ayolah, lagian sudah lama kita tidak pulang bersama. Ya yaya?”

Aaaah, Luna..whats with the eyes? That voice I cudnt resist..that….

“Okaaaay Okaay. Tapi beliin gue Dessert Platter di Koi ya! Dan ga boleh minta kamunya!”

“Farruuuus! Kamu bisa mati diabetes, you sugartooth!”, Luna mengacak pelan rambut lurus Farrus yang sudah mulai rimbun.

Kemudian tawa mereka lagi-lagi terpisah.

KRRRRRRIIIIING!

“Hhaha, see ya Na! Ketemu di parkiranya!”

Na. Cuma dia yang memanggil Saya Na. Ahh, Farrus.seandainya…

Malam itu mereka menghabiskan waktu tertawa sampai gila di KOI. Sepiring hidangan manis itu tentu jadi santapan berdua. Walau tentunya, dimonopoli oleh si lelaki karena setelah suap pertama profiteroles Luna dengan rakus mencabik bungkus bukunya lalu mulai membaca. Walaupun diam-diam ia melirik ke bayi besar di hadapannya. Luna akan selalu mengingat Farrus sebagai pribadi yang hangat seperti ini. Lelaki yang nyaman dengan dirinya apa adanya. Yang ketika ribuan lelaki adu jantan lewat pahitnya kopi, ia malah duduk nyaman di sini dengan sepiring gula-gula aneka ragam dan rasa. Memakannya sampai habis tidak bersisa seperti anak kecil yang girang menemukan eskrim di tengah oase masa kecilnya.

Tuhan tolong hentikan waktu barang sejenak atas surga di hadap Saya ini.

“Makan kayak bayiiii! Krimnya sampai pipi kamu Far.”, Luna menyeka pipi Farrus dengan tissue.

“Biarin ah, ga ada yang liat juga. Kamu kan sibuk baca!”

“Idiiih gombalnya ga kira-kira. Kalau saya Clara atau Danti sudah pasti saya jatuh di pelukanmu semudah ini!”, Luna menjentikan jarinya sambil tertawa. Lalu kembali serius dengan bukunya.

Bagi Farrus, Luna adalah telur dalam sangkar yang bertengger di dahan kehidupannya. Yang amat rapuh dan butuh penjagaan ekstra terhadapnya. Butuh perawatan yang tidak main-main untuk menjaganya tetap utuh dan tidak pecah. Untuk kemudian seiring berjalannya waktu tumbuh dan siap untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Akan tetapi selalu pulang kesangkarnya. Kedahannya. Kedalam dekapnya. Farrus tahu benar bagaimana Luna. Ia tahu wanita rapuh di hadapannya ini sesungguhnya adalah wanita super. Bagaimana tidak? Siapa yang betah tinggal di rumah yang tiap harinya ramai dengan teriakan kasar dan saling hina. Padahal setahu dia, adik-adik Luna masih kecil usianya. Pernah sekali ketika darmawisata sekolah, Luna yang duduk di bis bersamanya mengigau ketika tidur malam. Ia menangis. Tuhan, bahkan dalam mimpinya pun ia masih harus memikul berat. I wish I could handle all of her pain. I wish I could be her own knight. Gila gue gila!

Andai saja waktu bisa berhenti berdetak di detik ini, Tuhan. Saya siap membunuhnya dengan apapun..

Kemudian sunyi. Masing-masing dari mereka berdialog di dalam hati.

“Cuma lelaki ini”
“perempuan se menakjubkan ini.”
“dahan berteduh saya..”
“..di dalam dekap gue”
“satu-satunya..”
“hanya dia..”
“saya cinta lelaki ini”
“perempuan luarbiasa ini.”
“bagaimana ini?”
“harus bagaimana?”

Bahkan buku yang sedang dilahap Luna dan sepiring manis-manisan yang di santap Farrus tidak bisa mengalihkan isi pikiran mereka yang sedang bertarung ini. Sampai kapan mereka seperti ini? Lama terdiam sambil berpura berkegiatan seperti tadi. Sepertinya mata mereka mulai merasa bosan. Mereka mulai saling merindukan. Maka dalam sedetik mereka beradu mata.

“Senyum saja, Luna!”
“Ahhh that smile.”
“Begini lebih baik”
“Lebih baik seperti ini”

Kemudian dialog antar hati berhenti. Ia terlalu takut merusak suasana di antara mereka lagi. Ia tidak mau menghancurkan kenangan malam ini. Lebih-lebih jika harus berakhir dengan saling caci seperti yang mereka dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Baiknya mungkin seperti ini. Abadi. Selamanya yang entah kapan akan bertahan seperti ini. Ya, seperti sejauh ini.















Ada yang bilang sepasang muda mudi mustahil bersahabat tanpa melibatkan hati.

Wisma Dara 8A, tiga bulan sebelum ulang tahun Tuan 2012

Annisa Ninggorkasih

Air Mata

Terkadang saya berpikir bahwa bayi yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya. Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari perkosaan sungguhan.

***

Kami menangis karena kami dipaksa meninggalkan gua pribadi kami. Kami menangis karena bahkan ketika kami belum mengerti patah dua patah kata, kami dipaksa untuk memahami. Kami diminta untuk memenuhi doa ibu bapak kami.

“semoga kamu menjadi gadis yang baik.”
“anak laki-laki jagoan ayah!”
“daddy’s little girl”
“teman ayah bermain bola!”

Kami menangis karena pada akhirnya kami memilih untuk menjadi gadis yang sepertinya tidak terlalu baik untuk mereka. Bibir kami menyulut rokok. Kami lebih memilih memakai rok mini ketimbang celana atau rok panjang, dan sebelum pukul dua kami belum mau pulang.
Kami menangis karena kami lebih memilih memakai rok ketimbang jas. Kami lebih memilih mengikuti ekskul dance ketimbang basket. Kami lebih memilih warna pink ketimbang biru. Kami lebih memilih mengkastrasi kelamin kami ketimbang menjadi laki-laki. Katanya, kami membuat sedih sekali lagi. Padahal airmata mengucur dari mata kami deras sekali.
Kami menangis karena memakai rok memalukan bagi kami. Kami menangis karena rambut panjang itu rasanya gerah sekali. Kami menangis ketika mereka menertawai kami. Kami yang lebih memilih mencintai sesama perempuan ketimbang mencintai kelamin lainnya, laki-laki.
Sepertinya kami mengecewakan.
Kami menangis ketika kami yang lebih suka hidup sendiri dipaksa untuk menikah. Kata mereka perempuan yang melajang mencoreng nama keluarga. Kami menangis karena ketika pada akhirnya kami menikah, suami kami lebih memilih berada diluar bersama wanita lainnya. Kami menangis karena kami yang tidak piawai berdandan masih menjadi alasan dan pemakluman para lelaki kami yang akhirnya menghabiskan waktu dengan para simpanan.
Airmata kami masih serupa pancuran.
Kami menangis ketika pekerjaan di kantor luar biasa merongrong. Ketika istri yang kami nikahi dan diharapkan mampu menyuguhkan air putih dingin lepas kami bekerja lebih memilih untuk pergi ke mall dan memborong. Kami menangis karena kelaki-lakian kami diukur oleh sprema yang mampu berenang gesit dan menghampiri sel telur istri kami yang ternyata main serong. Yang ternyata mengandung anak dari lelaki lain yang bukan kami. Kami heran sekali. Kenapa kelelakian kami berhenti hanya karena tidak bisa menghamili? Bukankah ketika lahir para dokter dan perawat mengamini jenis kelamin kami, laki-laki?
Kami menangis karena tidak mengerti.
Kami masih menangis karena kami menuntut balas. Kemana ayah ketika kami bukan lagi gadis kecil mereka? Kemana ayah ketika ibu yang sendiri menua dan akhirnya meregang nyawa? Kemana ayah ketika kami butuh pahlawan pribadi kami semua?
Saya, kami, sungguh murka!
Kami menangis karena dongeng putri yang dibacakan ibu ternyata begitu berbeda. Kami menangis karena selain naga dan nenek sihir ternyata banyak lagi yang menakutkan di hidup pada akhirnya. Kami menangis karena dunia jauh dari indah, jauh dari yang mereka janjikan pada kami dulu ketika kami masih bayi merah dan tawa kami masih menghibur mereka. Siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua?
***
Saya tertawa sesudahnya,
Saya tahu tidak akan ada sesiapa yang datang ketika kami menangis sesengukan seada-adanya.
Seperti yang sudah-sudah mereka hanya akan berlomba-lomba ketika kami mengeluarkan tawa.
Begitu seterusnya.
***


Terkadang saya berpikir bahwa bayi yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya. Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari perkosaan sungguhan. Kami diajarkan untuk tertawa agar terlupa dengan airmata sementara. Sementara yang ternyata tidak terlalu lama. Begitulah seterusnya…










Masih di awang Gili Trawangan minggu lalu, 2014

Annisa Ninggorkasih

May 18, 2014

Tentang Wanita

"All women become like their mothers. That is their tragedy. No man does. That's his." - Oscar Wilde

 **

Wanita.

Banyak yang bilang kalau wanita itu adalah suatu keindahan, terutama laki-laki yang bilang. Bagiku, semua wanita sama. Banyak maunya dan fake. Even my mother, he's truly a faker.

Ibuku selalu bilang kalau dia gak butuh laki-laki lain untuk menghidupi kami. Namun, aku selalu melihat dia menangis di beberapa malam, ketika istri dari laki-laki yang sering ke rumahku datang. Ketika Ibu gak butuh laki-laki, selain aku, kenapa Ibu harus menangisi dia? Dia yang sering Ibu bilang tidak ada hubungan apa-apa. Saat itu aku merasa kalau Ibu memang memiliki apa-apa, yang mungkin dia sendiri tidak mengetahuinya.

April 27, 2014

Their own story

Bandung, Februari 2010 

Seperti Februari yang seharusnya, sore itu angin Bandung menyentuh tanah ditemani air hujan. Udara sejuk menelusup masuk ke setiap bangunan yang berdiri kokoh melindungi masing-masing dunia di dalamnya. Di salah satu bangunan, Dara sedang duduk di sofa, ia terdiam memandangi koper dan tumpukan dus yang satu persatu lenyap dari pandangannya.
“Kalau takut tinggal sendiri, ajak saja temanmu tinggal di sini”, ibu menghampiri Dara dan duduk di sebelahnya. 
Dara menanggapi perkataan ibunya dengan helaan napas panjang, ‘bagaimana mungkin aku memiliki teman yang mau diajak tinggal bersama, aku hanya bersosialisasi dengan mereka saat kuliah berlangsung saja’, pikirnya. 
Seperti tipe rumah bercat putih dengan furniture berwarna coklat yang mereka tinggali, keluarga Dara menerapkan pola asuh klasik. Orang tuanya memiliki peraturan yang super ketat untuk Dara dan adiknya, mereka juga mendominasi setiap keputusan yang diambil oleh anaknya. 
“Jangan sedih gitu, kalau kuliahmu sudah selesai, kita kumpul lagi di rumah baru kita di Semarang. Ayah yakin kamu bisa lulus tahun depan”. Ayah bergabung dengan Dara dan ibu. 
Sekarang Nuri, adik Dara yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD, berdiri di depan Dara dan menundukkan kepalanya. 
“Kalo kakak ga ikut, nanti Nuri di sana main sama siapa?”. Nuri memeluk Dara. 
Keputusan telah diambil, waktu memang hal yang paling tidak pasti di dunia, kemarin saat Dara dilarang pergi ke sekolah sendirian dan sekarang saat ia ditinggalkan sendiri di kota ini terasa hadir dalam satu garis waktu. Dara mengantar keluarganya ke mobil, tanpa air mata dan juga tanpa senyuman. Dara mampu menahan rasa sedih dan mencoba menapik bayangan kesunyian yang akan ia hadapi, namun ia tidak cukup dewasa untuk bersikap ‘seharusnya’. 
*** 

Jakarta, Maret 2011

Baru tiga jam yang lalu matahari menampakkan diri, tapi sengat panasnya seperti api unggun berbahan bakar rumah. Jakarta tidak lagi akan ramah, ia marah pada penghuninya dan seakan sedang berguru mengenai cara mengutuk pada Pompeii. Mungkin salah satu alasan Jakarta masih bersabar adalah harapan pada para pemujanya. 
Tama dan Kakek duduk di sebelah jendela di sebuah kafe di Kota Tua, pandangan mereka mengarah pada barisan sepeda tua yang dicat cantik, namun tetap tidak ada yang tahu apa yang ada di kepala mereka. 
“Jadi kakek ke sini cuma untuk ngeliatin sepeda?”, tanya Tama heran. 
Kakek menjawab pertanyaan Tama dengan senyuman, membuat Tama semakin bingung. 
“Memangnya ada apa dengan sepeda-sepeda itu, kek?. hmm.. atau kakek ke sini untuk mengenang nenek?”. 
“Dari dulu kakek memang sering datang ke sini hanya untuk melihat banyaknya sepeda yang sedang terparkir rapi, tapi kakek tidak pernah sekalipun pergi ke suatu tempat hanya untuk menghidupkan dan hidup dalam kenangan”. 
“Jadi ?”. 
“Kakek sering datang ke sini setiap kali merasa lelah dengan peran yang diberikan Tuhan untuk sebuah pagelaran yang disebut kehidupan. Setiap kakek ingin menyerah, kakek mencari berapa lama seseorang berhenti mengayuh sepeda tanpa jatuh”. 
“Hmm?”, Tama mencoba mengasosiasikan jatuh dari sepeda dan menyerah. 
“Kalau hidup itu seperti mengayuh sepeda, berhenti mengayuh itu berarti menyerah, dan ketika kita berhenti mengayuh, seberapa lama kita bisa bertahan tanpa harus jatuh?. Sejauh observasi yang kakek lakukan, tidak lebih dari 16 detik". Kakek tersenyum pada Tama sambil berlalu meninggalkan meja menuju toilet. 
Sekarang giliran Tama yang memandangi sepeda dan menghitung berapa lama rata-rata orang bisa bertahan tidak jatuh ketika tidak mengayuh sepeda. 
Ketika sedang asik memperhatikan ke luar, tiba-tiba pelayan berteriak meminta tolong dari arah toilet dan seketika orang-orang di dalam kafe berlari menuju toilet. Tama melihat tubuh kakeknya tergeletak di lantai. Tama langsung berlari meraih kakeknya, ia dapat merasakan darah mengalir deras dalam tubuhnya, seakan ada yang menekan tombol mesin penyedot air di dalam tubuhnya. 
Kakek adalah satu-satunya anggota keluarga Tama. Orang tuanya telah meninggal dunia saat Tama duduk di kelas 4 SD, sejak saat itu ia tinggal besama kakek dan nenek. Lalu bulan lalu nenek juga pergi menyusul kedua orang tuanya, dan sekarang.. kakek. 
*** 

Bandung, Agustus 2011 
Indonesia masih bersuka merayakan kemerdekaan yang dalam arti yang sesungguhnya entah sudah diraih atau belum, kain merah putih berkibar di tiang setiap rumah. Diantara perayaan ini, tidak ada yang tahu apakah indonesia sedang bersulang atau sedang menemani ibu pertiwi tenggelam dalam air mata yang berlinang. Namun semua orang tahu, ibu pertiwi baru saja mewariskan laranya pada Ari. 
Sejak dua jam yang lalu Ari mengurung diri di kamar, memainkan lagu-lagu patah hati yang beberapa liriknya ia ubah. Sudah dipastikan pencipta lagunya akan bergabung bersama ibu pertiwi apabila mendengar ini. Ari baru saja diputuskan kekasihnya dengan alasan ia terlalu sibuk dengan dirinya dan tidak peduli pada lingkungannya, terutama pada kekasihnya. 
"Hahaha, kenapa lo, kak?", tiba-tiba Barry, adik Ari, muncul di hadapan Ari sambil bersembunyi di balik kameranya. 
"Heh, ngapain lo!?", bentak Ari sambil mencoba merebut kamera di tangan Barry. 
"Hahaha gue cuma care sama kakak tercinta gue yang lagi patah hati yah ini", Barry berkata dengan nada menjengkelkan sambil mengamankan kameranya. 
"Care?, mana ada orang care ngambil foto kakaknya yang lagi sedih?. Adik macem apa lo!?". 
"Kalo kamu memotret, artinya kamu melihat benda yang ada di foto itu dengan menggunakan keterlibatan emosi. Tidak ada orang yang mengambil gambar jika merasa gambar itu tidak penting". Barry menjawab dengan gaya sok bijak sambil berlalu pergi. 
Setelah Barry enyah dari kamarnya, Ari terpikir perkataan Barry dan bertekad untuk aktif memotret demi menunjukkan pada mantan kekasihnya kalau dia memang peduli pada lingkungan.

April 23, 2014

Tentang Api

Love is a fire

Katanya...

Antara membuat hatimu hangat atau membakar rumahmu, itu tidak dapat dibedakan


***

Dosenku pernah bercerita mengenai api. Aku gak pernah mengerti maksudnya. Bahasanya ketinggian buat orang semacam aku. Doko selalu bingung, karena menurutnya orang yang kaya aku seharusnya akan ngerti bahasa dosen itu. Saat Doko bilang hal itu, aku langsung ngelirik dia seakan dia barang yang terhina yang ada di bumi ini dan dia pergi.

"Api", begitu kata yang keluar dari mulutnya, dengan gestur layaknya pujangga, dia bergerak gemulai di depan kelas. "Api adalah suatu eksistensi. Ketika kamu mengatakan 'aku butuh sesuatu untuk membakar dedaunan', itu adalah esensi dari api".

Aku tetap tidak mengerti. Hanya Tuhan dan dosen yang bersangkutan yang bisa mengerti.

**

Beberapa tahun lalu, tepatnya 10 tahun lalu, rumahku terbakar. Saat itu aku kelas 2 SMP. Saat itu juga aku melihat untuk pertama kalinya ekspresi kehilangan dari raut wajah ibu. Sudut mata dan bibirnya turun. Keluar air dari matanya. Pipinya merah, bukan karena merah bawaan lahir, tapi merah seperti aliran darah mengisi di setiap bagian pipinya. Keringat dan air mata bercampur di pipi merahnya itu. Rasanya ketika aku mengalami kecelakaan yang hampir membutakanku, ibu tidak 'se-kehilangan' itu....

14 tahun lalu, kelas 4 SD. Aku anak pendiam yang hanya mau bermain kalau diajak. Secara kebetulan, tidak ada yang pernah mengajakku main. Kalaupun diajak, itu bukan karena inisiatif mereka, tapi inisiatif dari ibu mereka yang melihat aku asik dengan duniaku, kesendirian.

"Oy, si Cina ikutan main!"

Begitu kata-kata yang keluar dari anak yang 'dipaksa' oleh ibunya untuk mengajakku bermain. Hal yang terlihat adalah ketidaksukaan mereka terhadap kata-kata itu. Bukan karena tidak suka dengan sebutan 'rasis' yang dilontarkan, tapi tidak suka dengan 'aba-aba' itu. Seakan-akan mereka semua sudah terprogram untuk merespon kode tersebut dengan respon yang sama, persis. Aku pun ikut bermain. Sepak bola. I never like sports in my whole life. Apalagi yang berhubungan dengan bola. Bola is my worst nightmare.

Singkat cerita mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan setelah 2 gol lagi. Semua sepakat, kecuali aku. Seakan-akan aku dijadikan anak bawang yang kerjaannya cuma ikut-ikut aja tanpa perlu tahu aturan. Bola disimpan di tengah lapangan dan seseorang dengan keras bilang "Ya!" dan semua anakpun berlari otomatis menuju bola tersebut. Aku tidak ikut berlari, karena aku gak suka bola. Kemudian yang aku ingat adalah sebuah kata yang terlontar dari seorang anak paling gendut di kerumunan itu, "Awas!!!", dan yang aku ingat suara nyaring yang timbul. Semua suara memudar dan yang ada hanya lah dengungan. Aku terjatuh ke tanah. Tanah itu masuk ke dalam mulut dan luang hidungku. Pahit. Kemudian aku mencoba bangkit bersama dengan suara dengungan itu. Kekakuan dan kebisuan anak-anak yang ada di belakangku tidak membantu aku semakin kuat untuk berdiri. Dengungan ini mengganggu. Seketika dengungan itu menjalar jadi rasa panas di sekitar pelipis dan pipi kiriku. Rasanya semakin panas. Panas...

Aku berjalan menjauhi anak-anak itu, tanpa melihat ke belakang. Hanya dengungan itu yang terdengar. Semakin lama, semakin samar. Aku menggerakkan kepalaku berharap kalau dengungan tersebut akan hilang. Namun, dengungan tersebut menjadi konstan. Tiba-tiba kepalaku pusing. Mual. Ingin muntah. Tapi aku menolak keinginan otak dengan terus berjalan.

Hal terakhir yang aku ingat, aku jatuh menindih pagar kebun yang terbuat dari bambu dan semuanya menjadi gelap...

April 13, 2014

A Day in The Life

- Chapter ini ditulis dengan C. Meis Irianti (Fikom 2012, Setjen PO BPM Kema Unpad 2013) dalam ingatan - 


"Nameless and Faceless (c) 2010, Ishrath Humairah (source)


Kalau aku harus memilih cewek paling berani yang pernah kutemui, aku pasti memilih kamu, Ri.

Kamu tidak pernah gentar dengan tantangan. Tidak ada film horor atau thriller yang membuatmu ketakutan. Mulai dari menggebuk kecoak dengan sandal jepit sampai menggebah senior-senior yang menggencetku waktu SMP, semua kamu lakukan. Tapi ada satu hal yang agak menggelikan : kamu tidak bisa tidur dalam gelap. Sebaliknya, aku tidak bisa tidur kalau lampu menyala. Setiap kamu menginap di rumahku (yang sangat sering terjadi, sampai orangtuaku membelikan tempat tidur bertingkat buat kita), kita pasti berdebat soal ini.

"Apa bedanya sih, Ri? Kalau kamu tidur kan merem juga. Kalau merem kan gelap."

"Beda," kamu ngotot. "Saat merem, gelap memang nggak masalah. Tapi pas kamu buka mata, itu masalah."

"Masalah gimana?"


"Ya, masalah." Kamu bergerak gelisah di tempat tidur di atasku. Suaramu hampir berbisik, "kamu pernah bayangin nggak? Gimana kalau saat kamu membuka mata, semuanya tetap gelap? Semuanya menghilang. Nggak pernah ada cahaya lagi. Semua yang kamu tahu berubah. Itu masalah..."


April 9, 2014

The Guardian



Parfum beraroma maskulin kurasakan tercium semakin pekat seiring dengan kedatangannya. Tanpa perlu mencari tahu pun aku mampu menebak siapa gerangan sang penebar aroma maskulin itu kalau bukan dirinya.
"Hai"
Kutolehkan kepala dan kudapati badannya yang terbalut seragam sekolah berwarna putih berada di hadapanku. Tidak sedekat yang kalian pikirkan, tetapi terasa pas bagiku.
"Hai juga"
Ia sedikit menekuk lututnya agar dapat menyejajarkan kedua matanya dengan milikku. Dan pandangan kami pun bertemu. 

Halo? Hai? Klia? Apa kau sadar?

Leo menggoyangkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah demi menarik perhatian sosok yang beberapa hari lalu ditemuinya.

Hah? Tentu saja aku sadar! Sedang apa kamu di sini? 
Klia, sosok itu, menoleh cepat ke arah lawan bicaranya. Garis-garis halus bergelombang tercetak halus di keningnya.

Menjagamu. Apa kamu lupa kalau aku adalah penjagamu di dunia ini? 
Leo mendudukkan diri di samping Klia dan menatap lurus ke depan, seperti yang Klia lakukan sebelum menyadari kedatangannya. 

Ah, ya betul juga. Sepertinya aku belum terbiasa dengan statusmu itu. 
Klia menganggukkan kepalanya pelan, lebih menujukan pernyataan itu kepada dirinya. Mendadak sekelebat pemikiran menghampiri Klia dan menggugah keingintahuannya. 

Kalau kau adalah penjagaku, lalu siapa penjagamu? Dan siapa yang harus kujaga?
Leo tertawa menanggapi pertanyaan Klia. Respon yang tidak sesuai ini jelas membingungkan bagi Klia. Bukankah pertanyaannya wajar? 

Hahaha, pertanyaanmu aneh! Di dunia ini, manusia seperti kita hanya memiliki satu peran,  atau status kalau mengutip istilahmu, dengan satu kewajiban utama. Peranku adalah penjagamu, dan tentu saja kewajiban utamaku adalah menjagamu. Karena alasan itu maka aku tidak memiliki penjaga sepertimu. Akulah sang penjaga. Sementara kamu adalah yang dijaga, dan dengan kata lain kamu tidak memiliki siapapun yang harus dijaga. Apa kamu paham? 
Kali ini Klia memfokuskan pandangannya pada Leo, berharap mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai jawaban laki-laki itu. Namun hanya keheningan yang melingkupi keduanya. 

Kenapa bisa seperti itu? 
Klia memutuskan untuk bertanya setelah beberapa saat penjelasan yang ditunggunya tidak juga keluar dari apapun-itu-nama-organ-telepati sang penjaganya. 

Hmm.. Entahlah. Hal ini mungkin.. semacam.. aturan? 
Jawaban Leo terdengar kurang meyakinkan, seolah menggambarkan keraguan yang entah darimana datangnya menyelimuti pikiran laki-laki tersebut atas peran dan tanggung jawab utamanya. 

Klia mendengus dan memalingkan wajah saat mendengar jawaban itu. 

Sebenarnya sudah berapa lama kamu ada di dunia aneh ini? 
Sejenak Leo berbalik memandangi Klia dan kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke arah semula. Klia memerhatikan kalau sosok sang penjaganya itu sedikit mengerutkan kening dan menyipitkan mata sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ditelepatikan. 

Sepertinya.. hanya beberapa saat setelah kamu ada. Ya, kupikir dia membuatku ada setelah melihatmu merasa kecewa atas kekuranganmu yang tidak mampu bersuara. 

Klia spontan membelalak dan membuka mulutnya. 

Ap.. apa?! Beberapa saat.. setelah aku.. ada? Setelah aku? Jadi kamu ada setelah aku?! 
Leo mengangguk membenarkan. Laki-laki itu sedikit kebingungan melihat keterkejutan Klia yang baginya terasa janggal. 

Ya. Kenapa kamu sekaget itu? Bukankah keadaan mengada-ku biasa-biasa saja? Hal yang lumrah? 
Klia hendak berseru dan membantah kelumrahan yang dimaksud Leo sebelum akhirnya menyadari gerakan mulutnya untuk meneriakkan seruan dan bantahan itu tidak membantu apa-apa karena memang tidak ada suara yang keluar. 

Lumrah? Ya Tuhan, Leo! Apanya yang lumrah? Kau baru ada setelah aku ada, tetapi kau langsung mengenaliku! Bahkan kau langsung mengatakan stat.. maksudku peranmu dan tugasmu menjagaku. Apa hal itu yang kamu maksud sebagai hal yang lumrah? 
Kali ini giliran Leo yang terbelalak dan ternganga. Sedetik kemudian tawa laki-laki itu meledak mendengar penjelasan berapi-api dan sedikit histeris yang ditelepatikan lawan bicaranya. 

Hahaha, kamu aneh sekali Klia! Tentu saja pengadaan itu lumrah. Coba kamu bayangkan, kalau aku yang ada lebih dulu dengan peranku saat ini sebagai penjaga seorang manusia bernama Achlys Alienor, lalu aku harus menjaga siapa saat kamu belum ada? 
Klia hanya balas menatap Leo dalam kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Leo menghela napas dan mencoba mencari perumpamaan sederhana agar mudah dipahami Klia. 

Umm, begini. Bayangkan kalau kamu adalah dokter yang harus menyembuhkan orang sakit. Jadi peranmu adalah dokter dan tugasmu adalah menyembuhkan orang sakit. Lalu bagaimana bisa kamu melakukan tugasmu kalau orang sakitnya saja tidak ada atau belum ada? Nah, itu juga yang terjadi saat pengadaanku. 
Klia terpaku mendengar penjelasan Leo. Otaknya berusaha mencerna informasi mengenai proses pengadaan yang dimaksud. Apakah proses pengadaan ini sama dengan proses penciptaan? 

Tapi.. tapi kenapa? 

March 30, 2014

The reason

Bandung, November 2013

“Oke, yang mendapat sedotan dengan ujung yang sudah digunting, boleh pilih duluan”. Tama menyodorkan sedotan kepada Ari dan Dara. Pembawan Tama yang tenang serta nada bicaranya yang apik kali ini tidak berhasil meredam ketegangan dalam dirinya. Ketegangan yang tampak di wajah ketiganya tak dapat ditampik, namun aura semangat menghadapi tantangan pun begitu kental. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk dihabiskan seorang diri di tempat asing bersama orang-orang asing. Ketiganya tidak memiliki gambaran mengenai situasi yang akan dihadapi dan tidak memiliki perencanaan mengenai apa yang akan mereka kerjakan, hanya ada tujuan untuk bertindak atas nama keinginan untuk keluar dari rutinitas. 
Dara, Tama, dan Ari saling mengenal karena tergabung dalam kelompok fotografi dan film di kampus tempat mereka kuliah. Sekitar dua tahun yang lalu terdapat satu kejadian yang membuat mereka merasa bahwa mereka harus mencoba peran lain dalam hidup ini dengan melakukan hal di luar rutinitas. Tentunya peran apapun yang akan mereka ambil, mereka berjanji bahwa hal tersebut harus bermanfaat bagi orang lain. Namun, karena alasan akademik, mereka menundanya sampai semuanya lulus. 
“Sekarang pilih sedotannya, semua sudah memegangnya, dan satu...dua...tiga...tarik”, Dara memberikan instruksi pada kedua temannya. Rambut panjannya dibiarkan terurai diantara pundaknya yang tegak dan menutupi sebagian tulang pipinya yang tegas, wajahnya cantiknya tidak dapat menutupi pribadinya yang memang keras. 
“Yes”, Ari menepalkan tangannya kemudian mencium sedotan yang tadi diambilnya. Ia terlihat senang mendapat kesempatan untuk memilih duluan, meskipun ketakutan akan pilihan yang salah terlihat jelas di garis wajahnya. Ari adalah orang yang paling selengean diantara ketiganya, pemikirannya memang dalam, namun ia biasa mengemasnya dalam hal-hal sederhana dan justru terkadang seperti main-main, sehingga terkadang sulit membedakan kapan dia sedang bercanda dan kapan dia sedang serius. 
“Silahkan pilih, Ri. Desa manapun, kota manapun, dimana pun, terserah”, Tama menunggu jawaban Ari. Dara mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, tegang dan tidak sabar mengetahui pilihan Ari. Perjanjian yang mereka buat memang tidak terikat, kapan pun mereka merasa tdak sanggup atau sekedar bosan, mereka boleh berhenti dan kembali menjalankan kehidupan normal. Namun meskipun demikian, ketiganya memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan kesepakatan ini. 
“Hmm, gue pilih Kota Besar, Jakarta. Jakartanya di sebelah mana, tergantung dimana gue dapet tempat tinggal nantinya”, Ari yang sangat suka dengan tantangan dan hal baru memang tergila-gila dengan istilah 'gimana nanti'. 
“Oke, Jakarta. Selanjutnya, silahkan pilih, Dar. Saya belakangan”, Tama menyodorkan telapak tangannya ke arah Dara tanda mempersilahkan. 
“Aku pilih desa tempat aku dilahirkan, Garut. Aku akan tinggal di rumah keluargaku di sana”, Dara berkata dengan penuh keyakinan, desa yang membiarkan udara sejuknya dihirup oleh dirinya semasa kecil layak mendapatkan imbalan, pikirnya. Selain itu, dia juga mempertimbangkan kodratnya sebagai wanita, meskipun ia memiliki kemampuan bela diri, namun ia tidak ingin disibukkan dengan urusan keamanan dirinya. 
 “Oke, sekarang giliran lo, tam”, Ari dan Dara penasaran dengan pilihan Tama. 
“Baik, saya pilih... Bandung. Saya tidak akan pergi kemana-mana, saya ingin mencoba melakukan hal yang berbeda meskipun berada di tempat yang sama”. Dara dan Tama terperangah mendengar pilihan Ari, mereka sama sekali tidak terpikirkan untuk memilih Kota Bandung yang sudah mereka kenal sejak lama. 
“Perjanjian ini dimulai besok. Kita akan bertemu lagi di tempat ini 6 bulan lagi untuk membicarakan perkembangannya. Kalo ada hal yang urgent, hubungi saya dan kita akan adakan pertemuan, deal?”. Semuanya mengangguk dan tersenyum tanda setuju.

***

March 22, 2014

Tentang Cina

"Dasar Cina!"

I
Hate
Those words

**

Kata-kata itu selalu muncul ketika perilaku ku dianggap gak sesuai dengan apa yang orang-orang mau. Ketika bekerja dalam kelompok, aku lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan sendiri dibandingkan harus dikerjakan dengan orang lain. Sometimes, they're messing up every little things. Padahal aku rasa mereka yang diuntungkan dengan hal ini, mereka gak perlu kerja banyak, tau-tau udah selesai aja. Tapi mereka selalu okay di depan dan not okay di belakang, which means mereka ngomongin aku di belakang. Fuck! Sudah banyak yang aku dengar tentang omongan-omongan 'belakang' itu, salah satunya, "Dasar cina idiot, kita mau bantuin, malah ditolak, taik!", but, I just let it go. Semakin dipikir, semakin merusak kesejahteraan aku. That's why, I hate working in a team.

Kata-kata itu bisa juga muncul ketika mereka ingin dapet contekan dan aku gak mau ngasih. "Dasar Cina". Bego lah, Itu salah mereka gak mau berusaha buat belajar. Dimanjain orang tuanya yang kaya-kaya itu. Selalu dapet yang instan. Pantes otaknya keriting kaya mie instan. Prinsip yang aku pegang adalah, mau bisa atau gak bisa, aku gak bakal nyontek atau ngasih contekan. Males banget 'disamain' sama orang-orang bau bawang itu.

Menurut ku, muka ku gak terlalu cina, walaupun ayah ku, menurut kabar adalah orang cina. Entah, cina yang mana. Apakah cina beneran, atau cina boyband (korea), atau mungkin cina harajuku (jepang).  Aku gak pernah tau. Toh, apapun cina-nya, pasti matanya sipit, itu stereotype orang awam. Yang jelas, aku gak pernah ketemu Ayah. Bahkan gak ada satu pun foto tentang Ayah yang pernah aku lihat. Agak aneh memang, jika mengetahui bahwa Ibu menikah dengan Ayah tapi tidak ada satu pun foto yang terdapat Ayah di dalamnya. Ibu pasti sewot kalau aku nanya-nanya soal Ayah. Sebegitu bencinya ya Ibu sama sama Ayah?

March 15, 2014

I'm Gonna Sit Right Down and Cry (Over You)


...And the time will come when you see we're all one,
And life flows on within you and without you
(Within You Without You, The Beatles)

source



Cafe itu terletak di pertigaan. Di terasnya yang tidak seberapa luas, payung-payung merah menaungi bangku kosong. Rangkaian lampu di jendelanya akan berkilauan semarak malam hari nanti, tapi pada siang berhujan ini terlihat agak pucat. Meski begitu, cat pada papan namanya mengilat, dengan desain kaligrafi bertuliskan Nieve, sesuai nama café itu. Artinya ‘salju’. Tepat sekali, sebab es krim adalah menu utama di sana. “Es krim terbaik di kota,” begitu selalu kamu berkata.

Ingatkah kamu saat pertama kali kita memasuki café itu? Tiga hari setelah tanggal buka, diskon lima belas persen untuk semua. Wanginya masih sama, Ri, menyergap hidung sejak pintu dibuka. Manisnya vanili, mint dan cokelat-kopi, dan entah apa lagi. Desain interiornya sudah berubah, tentu saja. Posisi kursi-kursinya berbeda. Tidak ada lagi vas berisi lili palsu di setiap meja. Kini ada rak buku di pojok, juga deretan lukisan avant garde di dindingnya. Namun dua kursi berlengan empuk warna karamel favorit kita masih tetap di sebelah jendela, dan hatiku hangat saat melihatnya.

Seorang pramusaji mendatangiku. “Selamat siang. Silakan, ini menunya,” katanya sambil mengangsurkan buku menu bersampul kulit. Pasti orang baru. Pramusaji lama tidak pernah memberikan buku menu padaku. Mereka akan menyapa, “Hei, Cecil, pesan Cioccolato Nocciola?” lalu kamu akan menggodaku karena aku jarang memesan menu lain. “Antara setia dan susah move-on, sedikit bedanya,” katamu, sambil tertawa-tawa saat melihat wajah cemberutku.

Ya, Ri. Memang sedikit bedanya.

Aku menatap pramusaji itu. Buku menu masih tak tersentuh di hadapanku.

Cioccolato Nocciola.”


March 8, 2014

Say Hello to the World

Achlys Alienor. Chlya. Chlia. Clia. Or just Klia.


Sosok itu membuka kedua matanya. Mengerjap perlahan. Mengernyit, memicing, lalu membuka sempurna.

Aneh. Sensasi apa ini? Apakah aku sedang menaiki komedi putar anak-anak?

Klia mengerang pelan sambil memegangi kepalanya. Ia tersentak saat melakukannya.

Apa ini yang kusentuh? Mungkinkah ini… dan hei! Aku mempunyai tangan! Aku mempunyai tangan dengan lima jari sempurna!

Klia melihat kedua tangannya dengan mata berbinar. Menelisiknya sambil meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya saat ini adalah nyata.

Kalau ini tanganku, mungkinkah yang kusentuh tadi adalah… kepala? Kepala? Mungkinkah?

Klia segera beranjak dari tidurnya dan mencari keberadaan suatu benda yang diingatnya mampu menciptakan bayangan dengan bantuan pantulan cahaya.

Dimana benda itu? Ah, sial, apa nama benda itu?
Cermin.

Ah ya, benar! Cermin. Dimana ada cermin? Dimana cer… ah, itu dia!

Klia bergegas menuju sebuah cermin bundar besar yang terpasang di salah satu sudut ruangan. Cermin dengan ukiran – ukiran rumit kayu jati di sekelilingnya itu terkesan antik. Dan cantik. Klia berhenti dan berdiri menghadap cermin antik nan cantik itu. Menelusuri pantulan sosoknya dari bawah ke atas.

Astaga! Ya Tuhan! Aku manusia!

Sudah setengah jam Klia mematut diri di depan cermin sambil tak henti-hentinya mengagumi satu per satu bagian tubuhnya. Berulang kali ia mendesah dan memekik riang mendapati bagian-bagian tubuh yang telah lama diimpikannya.

Tunggu, sepertinya ada yang kurang. Apa ya?

Klia memutar tubuh manusianya entah untuk yang keberapa kali dan mencari bagian mana yang menurutnya hilang. Atau lebih tepatnya bagian yang tidak ia miliki.

Sepertinya semua ada. Semuanya lengkap, tetapi kenapa aku merasa masih ada yang kurang?

Suara.

Ah, benar juga, aku tidak memiliki suara. Aku tidak mengeluarkan suara. Aku tidak bersuara. Jadi… aku adalah manusia… bisu?

Klia menatap pantulan sosoknya yang semula amat ia kagumi. Kini menurutnya sia-sia saja. Ia memang menyenangi bentuk manusianya, namun menjadi manusia bisu? Itu bukan kemauannya. Sama sekali bukan.

Apakah aku telah meminta terlalu banyak? Apakah menjadi manusia merupakan keinginan yang terlalu muluk sampai-sampai Tuhan tidak memberiku suara? Apakah ini hukuman dariNya?

Klia terduduk lemas di hadapan pantulan sosoknya. Wajahnya yang semula berbinar kini berubah sayu sendu. Meratapi takdir yang tidak juga berpihak padanya, bahkan setelah keajaiban yang diterimanya.

Hei!

Klia tersentak. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mencari asal suara yang diyakininya bukan keluar dari mulutnya.

Aku di sini.

Sebuah tepukan mendarat lembut di bahu kirinya, memaksa Klia untuk memfokuskan pandangan pada sosok yang mendadak nyata dan berjongkok di sampingnya. Keningnya mengernyit, berusaha mengingat apakah ia mengenali siapa sosok tersebut.

Namaku Leonidas.

Sosok itu menurunkan tangannya dari bahu Klia dan menggantung di hadapan sosok wanita yang masih terlihat kebingungan atas keberadaannya.

Aku…

Illusional Fiction. Powered by Blogger.