Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

March 15, 2014

I'm Gonna Sit Right Down and Cry (Over You)


...And the time will come when you see we're all one,
And life flows on within you and without you
(Within You Without You, The Beatles)

source



Cafe itu terletak di pertigaan. Di terasnya yang tidak seberapa luas, payung-payung merah menaungi bangku kosong. Rangkaian lampu di jendelanya akan berkilauan semarak malam hari nanti, tapi pada siang berhujan ini terlihat agak pucat. Meski begitu, cat pada papan namanya mengilat, dengan desain kaligrafi bertuliskan Nieve, sesuai nama café itu. Artinya ‘salju’. Tepat sekali, sebab es krim adalah menu utama di sana. “Es krim terbaik di kota,” begitu selalu kamu berkata.

Ingatkah kamu saat pertama kali kita memasuki café itu? Tiga hari setelah tanggal buka, diskon lima belas persen untuk semua. Wanginya masih sama, Ri, menyergap hidung sejak pintu dibuka. Manisnya vanili, mint dan cokelat-kopi, dan entah apa lagi. Desain interiornya sudah berubah, tentu saja. Posisi kursi-kursinya berbeda. Tidak ada lagi vas berisi lili palsu di setiap meja. Kini ada rak buku di pojok, juga deretan lukisan avant garde di dindingnya. Namun dua kursi berlengan empuk warna karamel favorit kita masih tetap di sebelah jendela, dan hatiku hangat saat melihatnya.

Seorang pramusaji mendatangiku. “Selamat siang. Silakan, ini menunya,” katanya sambil mengangsurkan buku menu bersampul kulit. Pasti orang baru. Pramusaji lama tidak pernah memberikan buku menu padaku. Mereka akan menyapa, “Hei, Cecil, pesan Cioccolato Nocciola?” lalu kamu akan menggodaku karena aku jarang memesan menu lain. “Antara setia dan susah move-on, sedikit bedanya,” katamu, sambil tertawa-tawa saat melihat wajah cemberutku.

Ya, Ri. Memang sedikit bedanya.

Aku menatap pramusaji itu. Buku menu masih tak tersentuh di hadapanku.

Cioccolato Nocciola.”


---

Pesananku masih sama. Saat pesananku datang, rasanya juga masih sama; renyah hazelnut dan kelembutan yang akrab. Aku harap aku masih orang yang sama pula, Ri, dan kita masih berada pada situasi yang sama. Namun nyatanya aku bukan lagi cewek SMA culun yang dulu kamu ajak ke sini sepulang sekolah. Aku sekarang mahasiswi, Ri. Baru minggu kemarin resmi, setelah menjalani masa orientasi. Rasanya agak aneh. Kadang-kadang aku tertegun sendiri saat mengingat status baru yang melekat padaku ini.

Tidak, aku tidak kuliah di Amerika. Boro-boro pergi ke sana, ke luar kota saja tidak boleh. Mama dan papa khawatir, kalau kesusahan tidak ada yang bisa membantuku. Aku bisa stress nanti, kata mereka. Omong kosong. Aku kuliah psikologi, Ri. Suatu saat aku akan menangani orang stress. Agak lucu kalau aku tidak bisa menangani stress-ku sendiri, kan?

Aku pikir mereka sebenarnya yang takut kehilangan aku. Ya, namanya juga anak semata wayang. Aku bisa maklum. Kalau saja mereka tidak lagi menyinggung-nyinggung soal mimpi burukku. Apa yang aneh dengan mimpi buruk? Semua orang mengalaminya. Aku cuma mengalaminya lebih sering, itu saja.

Padahal aku ingin pergi ke tempat-tempat baru juga, Ri. Mencoba hal-hal baru. Aku bisa membayangkan kamu bersorak, “Cecilia ingin mencoba hal-hal baru!” seakan itu berita sekelas berhentinya pemanasan global. Seperti aku bilang, aku bukan orang yang sama. Entah apakah perubahanku sekarang lebih baik…tapi semoga saja.

Ah…biarlah. Lagipula yang ingin ke Amerika kan sebenarnya kamu. Going there without you, it seems rather pointless.

Actually, sometimes I think, continuing life without you, it seems rather pointless.

--- 

Jam lima, arlojiku memberitahu. Saatnya pergi. Kalau jam enam aku belum sampai di rumah, mama bisa kalang kabut. Atau sebaiknya aku diam beberapa lama lagi, ya? Di jadwal kuliah, kulihat ada hari-hari tertentu aku baru pulang jam setengah enam. Sebaiknya kupersiapkan mama melihat anak semata wayangnya ini pulang sedikit larut.

Kamu pasti akan melotot. “Cee, nggak baik bikin khawatir orang tua.

Aku memutar mata. Kangen juga aku pada lagakmu yang seakan-akan anak teladan sedunia itu, padahal kamu lebih banyak membuat khawatir orang-orang di sekitar kita daripada aku. “Oke, oke. Aku pulang sekarang.”

Aku pergi menuju kasir dan menggumamkan nomor meja favorit kita. Tanganku sibuk mengaduk tas, mencari dompet. Kamu sudah berkali-kali mengingatkanku untuk menyimpan dompet di tempat yang mudah dijangkau, tapi aku tidak pernah menurut. Pernahkah kamu berpikir, bahwa tempat yang mudah dijangkau oleh kita, mudah juga dijangkau oleh pencopet? Sedikit repot saat mau membayar barang tidak apa-apa, yang penting aman...

 “Eh…Cecil? Cecil kan?”

 Aku mengangkat wajah dan menemukan satu wajah yang kukenal, berdiri di balik konter. Anita. Ingat kan, Ri? Pramusaji yang dulu selalu menyapa kita dengan nama, yang bertanggung jawab memperkenalkanku pada menu Cioccolato Nocciola, juga kamu pada sorbet lemon kesukaanmu. Dia tersenyum lebar padaku, dan aku padanya.

 “Lama banget nggak ke sini! Coba kutebak…Cioccolato Nocciola?"

 Aku nyengir. Tangan Anita lincah mengetik di atas cash register. “Selalu ya. Nggak pernah berubah!” komentarnya. “Sendiri aja? Ryan mana?”

 Aku tidak ingin tersenyum lagi, tapi bibirku masih melengkung. Sedikit gemetar, kuulurkan uangku. Anita masih menatapku, menunggu jawaban.

 “Ryan…Ryan nggak bisa ikut hari ini.”

“Oh. Salam buat Ryan, ya?”

 Senyum palsu itu masih terukir di bibirku saat aku mengangguk. “Pasti.”


AN :

Cioccolato Nocciola : varian gelato rasa cokelat dan hazelnut

Within You, Without You diambil dari judul lagu The Beatles. Begitu pun I’m Gonna Sit Right Down and Cry (Over You). 

Cerita di balik pembuatan kisah ini, terutama chapter ini, sekarang dapat dibaca di sini

0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.