...And the time will come when you see we're all one,
And life flows on within you and without you
(Within You Without You, The Beatles)
source
Cafe itu terletak di pertigaan. Di terasnya yang tidak seberapa luas, payung-payung
merah menaungi bangku kosong. Rangkaian lampu di jendelanya akan berkilauan
semarak malam hari nanti, tapi pada siang berhujan ini terlihat agak pucat. Meski begitu, cat
pada papan namanya mengilat, dengan desain kaligrafi bertuliskan Nieve, sesuai nama café itu. Artinya
‘salju’. Tepat sekali, sebab es krim adalah menu utama di sana. “Es krim terbaik di kota,” begitu selalu
kamu berkata.
Ingatkah kamu saat pertama kali kita memasuki café itu? Tiga hari setelah
tanggal buka, diskon lima belas persen untuk semua. Wanginya masih sama, Ri,
menyergap hidung sejak pintu dibuka. Manisnya vanili, mint dan cokelat-kopi,
dan entah apa lagi. Desain interiornya sudah berubah, tentu saja. Posisi
kursi-kursinya berbeda. Tidak ada lagi vas berisi lili palsu di setiap meja.
Kini ada rak buku di pojok, juga deretan lukisan avant garde di dindingnya. Namun dua kursi berlengan empuk warna karamel
favorit kita masih tetap di sebelah jendela, dan hatiku hangat saat melihatnya.
Seorang pramusaji mendatangiku.
“Selamat siang. Silakan, ini menunya,” katanya sambil mengangsurkan buku menu
bersampul kulit. Pasti orang baru. Pramusaji lama tidak pernah memberikan buku
menu padaku. Mereka akan menyapa, “Hei,
Cecil, pesan Cioccolato Nocciola?”
lalu kamu akan menggodaku karena aku jarang memesan menu lain. “Antara setia dan susah move-on, sedikit
bedanya,” katamu, sambil tertawa-tawa saat melihat wajah cemberutku.
Ya, Ri. Memang sedikit bedanya.
Aku menatap pramusaji itu. Buku
menu masih tak tersentuh di hadapanku.
“Cioccolato Nocciola.”
Pesananku masih sama. Saat pesananku datang, rasanya juga masih sama;
renyah hazelnut dan kelembutan yang
akrab. Aku harap aku masih orang yang sama pula, Ri, dan kita masih berada pada
situasi yang sama. Namun nyatanya aku bukan lagi cewek SMA culun yang dulu kamu
ajak ke sini sepulang sekolah. Aku sekarang mahasiswi, Ri. Baru minggu kemarin
resmi, setelah menjalani masa orientasi. Rasanya agak aneh. Kadang-kadang aku
tertegun sendiri saat mengingat status baru yang melekat padaku ini.
Tidak, aku tidak kuliah di Amerika. Boro-boro pergi ke sana, ke luar kota
saja tidak boleh. Mama dan papa khawatir, kalau kesusahan tidak ada yang bisa
membantuku. Aku bisa stress nanti, kata mereka. Omong kosong. Aku kuliah
psikologi, Ri. Suatu saat aku akan menangani orang stress. Agak lucu kalau aku
tidak bisa menangani stress-ku sendiri, kan?
Aku pikir mereka sebenarnya yang takut kehilangan aku. Ya, namanya juga
anak semata wayang. Aku bisa maklum. Kalau saja mereka tidak lagi
menyinggung-nyinggung soal mimpi burukku. Apa yang aneh dengan mimpi buruk?
Semua orang mengalaminya. Aku cuma mengalaminya lebih sering, itu saja.
Padahal aku ingin pergi ke tempat-tempat baru juga, Ri. Mencoba hal-hal
baru. Aku bisa membayangkan kamu bersorak, “Cecilia
ingin mencoba hal-hal baru!” seakan itu berita sekelas berhentinya pemanasan
global. Seperti aku bilang, aku bukan orang yang sama. Entah apakah perubahanku
sekarang lebih baik…tapi semoga saja.
Ah…biarlah. Lagipula yang ingin ke Amerika kan sebenarnya kamu. Going there without you, it seems rather
pointless.
Actually, sometimes I think,
continuing life without you, it seems rather pointless.
---
Jam lima, arlojiku memberitahu.
Saatnya pergi. Kalau jam enam aku belum sampai di rumah, mama bisa kalang
kabut. Atau sebaiknya aku diam beberapa lama lagi, ya? Di jadwal kuliah,
kulihat ada hari-hari tertentu aku baru pulang jam setengah enam. Sebaiknya
kupersiapkan mama melihat anak semata wayangnya ini pulang sedikit larut.
Kamu pasti akan melotot. “Cee, nggak
baik bikin khawatir orang tua.”
Aku memutar mata. Kangen juga aku pada lagakmu yang seakan-akan anak
teladan sedunia itu, padahal kamu lebih banyak membuat khawatir orang-orang di
sekitar kita daripada aku. “Oke, oke. Aku
pulang sekarang.”
Aku pergi menuju kasir dan menggumamkan nomor meja favorit kita. Tanganku
sibuk mengaduk tas, mencari dompet. Kamu sudah berkali-kali mengingatkanku
untuk menyimpan dompet di tempat yang mudah dijangkau, tapi aku tidak pernah
menurut. Pernahkah kamu berpikir, bahwa tempat yang mudah dijangkau oleh kita,
mudah juga dijangkau oleh pencopet? Sedikit repot saat mau membayar barang tidak
apa-apa, yang penting aman...
“Eh…Cecil? Cecil kan?”
Aku mengangkat wajah dan menemukan
satu wajah yang kukenal, berdiri di balik konter. Anita. Ingat kan, Ri?
Pramusaji yang dulu selalu menyapa kita dengan nama, yang bertanggung jawab
memperkenalkanku pada menu Cioccolato
Nocciola, juga kamu pada sorbet lemon kesukaanmu. Dia tersenyum lebar
padaku, dan aku padanya.
“Lama banget nggak ke sini! Coba
kutebak…Cioccolato Nocciola?"
Aku nyengir. Tangan Anita lincah mengetik di
atas cash register. “Selalu ya. Nggak
pernah berubah!” komentarnya. “Sendiri aja? Ryan mana?”
Aku tidak ingin tersenyum lagi, tapi
bibirku masih melengkung. Sedikit gemetar, kuulurkan uangku. Anita masih
menatapku, menunggu jawaban.
“Ryan…Ryan nggak bisa ikut hari ini.”
“Oh. Salam buat Ryan, ya?”
Senyum palsu itu masih terukir di
bibirku saat aku mengangguk. “Pasti.”
AN :
Cioccolato Nocciola : varian gelato rasa
cokelat dan hazelnut
Within You, Without You diambil dari judul
lagu The Beatles. Begitu pun I’m Gonna
Sit Right Down and Cry (Over You).
Cerita di balik pembuatan kisah ini, terutama chapter ini, sekarang dapat dibaca di sini |
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)