Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

July 8, 2014

Pre-decision 01



Aku menatap dinding kamarku dalam diam. Merasakan sakit luar biasa yang entah bagaimana terasa begitu nyata dalam kondisi fisikku yang dapat dikatakan baik-baik saja. Perih.
“Jahat. Kamu jahat. Kamu sangat jahat.”
Kugigit kuat-kuat bibir bawahku demi menahan kata-kata tidak pantas yang telah berkumpul di ujung lidah. Memaksa untuk dimuntahkan begitu saja.
“Kenapa?”
Berulangkali kulayangkan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab dengan sendirinya. Kurasakan kedua mataku mulai memanas. Aku sama sekali tidak berniat untuk menahannya kali ini.


Klia?
Sontak Klia tersadar dari lamunannya dan memutar kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya.

Ah, Padma. Kenapa kau bisa ada di sini?
Padma mengernyit mendengarnya, membuat Klia segera menyadari kesalahan kalimat pertanyaan yang ditelepatikannya.

Eh maksudku, maksudku tumben kau ke sini umm pagi-pagi begini?
Padma tersenyum. Senyuman manis yang terasa getir.

Leo memanggilku. Dia memintaku untuk datang.
Klia mematung selama beberapa milidetik sebelum akhirnya berhasil memaksakan seulas senyum balasan.
Oh? Kalau begitu tunggulah di sini. Aku akan memanggil Leo. Laki-laki dandy itu bahkan lebih lama berdandan dibandingkan aku, hahaha.
Padma sekali lagi tersenyum. Kali ini senyuman lebar yang sedikit memperlihatkan deretan gigi depannya.
Siapa yang kau maksud, huh? Sembarangan saja mengataiku laki-laki dandy. Aku kan harus membereskan peralatan makan kita dulu, wajar saja aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk bersiap-siap. Ingat ya, sedikit.
Klia memberengut sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja mendapat jitakan pelan dari laki-laki yang menjadi pembicaraan mereka. Tanpa mengindahkan kekesalan Klia, Leo bergegas menghampiri Padma dan mengalungkan lengan kanannya ke leher gadis itu.
Hai, selamat pagi. Kau cantik sekali pagi ini.
Padma menunduk dan tersenyum malu. Aliran darahnya berpacu dan berkumpul di sekitar pipinya, menampakkan semburat merah muda yang memesona.
A… ah, berhentilah merayuku. Ini bahkan masih pagi, Leo!
Padma menarik paksa lengan kokoh yang melingkari lehernya dan melepaskannya.
Cih, dasar tukang gombal.
Leo memutar kepalanya menghadap Klia yang terlihat masih mencibir padanya. Kedua tangan perempuan itu bersedekap di depan dada dengan pandang merendahkan yang jelas-jelas terarah padanya.
Hei, jaga bicaramu. Memang apa salahnya kalau aku jadi tukang gombal di depan kekasihku sendiri? Bilang saja kau ingin kugombali, hmm?
Klia langsung membelalakkan matanya. Sejurus kemudian perempuan itu mendengus keras.
Jangan mimpi.
Leo hanya merotasikan kedua bola matanya dengan malas.
Terserahmulah.
Hei hei, kalian ini seperti anak kecil saja. Sudahlah, aku datang ke sini pagi-pagi bukan untuk melihat pertengkaran kalian. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan saja? Aku punya suatu tempat yang ingin kukunjungi dan kuperlihatkan pada Klia.
Padma berusaha mencairkan suasana yang mendadak terasa tidak nyaman itu. Lagipula apa yang ditelepatikannya juga benar. Ia merasa risih melihat pertengkaran keduanya.
Oh? Kau ingin mengajakku kemana? Apa ada tempat di dunia an… eh mm, spesial ini yang belum kudatangi?
Rupanya Klia tertarik dengan ajakan Padma. Ia tidak lagi memikirkan peran Padma dan kerumitan peran mereka bertiga yang sedari kemarin terus memenuhi kepalanya.
Sebaiknya kau ikut aku. Aku pastikan kau akan menyukai tempat itu. Sangat menyukainya. Ayo!
Tanpa memedulikan Leo yang sedang bersama mereka, kedua perempuan itu bergegas keluar rumah dan berjalan beriringan dengan langkah riang. Meninggalkan Leo yang mencibir melihat kelakuan mereka.
Dasar perempuan. Selalu seenaknya sendiri. Huh!


“Eri? Ada apa?” Aku segera mendongak begitu mendapati sesosok tubuh mungil menghalangi pandanganku. Tanpa perlu melihat parasnya pun aku tahu siapa pemilik tubuh di hadapanku saat ini.
“Ayo kita ke kantin!” Suaranya terdengar riang dan bersahabat.
“Apa?” Aku menyipitkan mata curiga. Mencoba mencari niat lain yang tersembunyi dalam ajakannya. Aku tidak bisa sepenuhnya percaya padanya setelah apa yang dilakukan seseorang yang menyandang status teman sepertinya. Oh ya, Eri adalah temanku. Salah satu teman dekatku. Dulu.
“Ayo kita ke kantin! Ini jam istirahat. Kamu nggak mau jajan?” Ia mengulang ajakannya yang terdengar memuakkan di telingaku.
“Ah, lama sekali menjawabnya. Ayolah, aku sudah lapar. Cepat.” Tanpa menunggu persetujuanku, ia dengan seenaknya menarik paksa tangan kiriku dan menyeretku keluar. Aku bahkan tidak sempat membantah dan hanya mengikuti langkah cepatnya menuju sepetak bangunan kecil yang kami sebut kantin.


Lihat, indah kan?
Padma merentangkan kedua tangannya di samping Klia yang hanya bisa menganga dalam keterkejutan.
Wuaaah, indahnya!
Padma ikut tersenyum lebar melihat kegembiraan yang meluap dalam diri teman barunya itu.
Sudah kuduga kalau kau akan menyukainya, Klia.
Tentu saja! Orang bodoh mana sih yang tidak suka dengan pemandangan menakjubkan padang ini? Ya Tuhan, dandelion-dandelion di sini sangat cantik!
Klia masih saja memandang takjub hamparan bunga dandelion di hadapannya. Padang Dandelion, begitulah nama tanah lapang yang diberitahukan Padma padanya. Perlahan gadis itu melangkahkan kakinya menelusuri jalan setapak yang membentang di beberapa titik tanah lapang itu. Kedua tangannya terjulur menyentuh beberapa putik dandelion yang berada dalam jangkauannya, menyebabkan putik-putik berwarna putih itu terlepas dari bantalan bulat besar di tengahnya.
Hei, jangan jauh-jauh! Nanti kau tersesat! Aku tidak mau direpotkan untuk mencarimu di tengah-tengah padang bunga pentul ini.
Sontak Klia menoleh ke belakang, menatap tajam seseorang yang sukses menghancurkan kebahagiaannya dalam sekejap.
Bodoh! Kau sudah merusak kesenanganku, tahu? Aku tidak akan tersesat. Aku tidak sebodoh itu.
Klia memajukan bibirnya, merasa kesal karena teriakan yang ditelepatikan Leo kepadanya. Dengan segera dipalingkannya kembali wajahnya menghadap hamparan bunga dandelion yang seakan tak berujung.
Leo benar-benar menyebalkan!
Padma memukul lengan kiri laki-laki itu dan memasang wajah kesal sekaligus gemas pada kekasihnya.
Kau mengganggunya, tahu? Dasar laki-laki tidak peka. Ish, sungguh menyebalkan.
Hei hei, aku ini kekasihmu. Kenapa kau malah membela perempuan itu? Klia itu orang yang ceroboh. Di jalan setapak itu ada beberapa lubang yang tidak terlihat. Selain takut dia tersesat, aku juga takut dia bisa ter…
Bruk! Aduuh!
…jatuh.
Padma dan Leo langsung berlari menghampiri Klia yang tersungkur ke dalam salah satu lubang. Bersama-sama mereka berusaha membantu Klia untuk mengeluarkan kaki kirinya yang terperosok ke dalam lubang yang rupanya cukup dalam. Setelah berhasil membebaskan diri, Klia berusaha untuk berdiri tegak.
Aaarrgh, sakit!
Gadis itu kembali terjatuh, namun untungnya Leo sigap menangkap tubuhnya sehingga ia tidak harus mengaduh kesakitan untuk kedua kalinya akibat benturan pantat dengan tanah kasar pembentuk jalan setapak itu.
Lihat, sekarang kau benar-benar merepotkanku! Haah.
Klia menoleh dan menatap kesal Leo melalui sudut matanya. Ia masih berjuang untuk menstabilkan badannya dan berdiri dalam posisi yang lebih mantap.
Ah, sepertinya kakimu keseleo.
Padma berjongkok di hadapan Klia dan meneliti pergelangan kaki kiri Klia yang tampak membengkak merah. Klia menghembuskan napas cukup keras, mengutuk keberadaan lubang tidak terlihat itu.
Apa kau bisa mengobatinya?
Klia menatap penuh harap pada Padma yang kini berdiri berhadapan dengannya. Padma mengulaskan senyum kecil dan menggeleng penuh penyesalan.
Maaf, aku tidak bisa. Tapi Leo bisa.
Kali ini Klia menatap cemas ke arah Leo. Ia bahkan sedikit menggigit bibir bawahnya, khawatir Leo akan menolak untuk mengobati kakinya karena sikap menyebalkan yang ia tunjukkan sebelumnya.
Aku bisa, tapi kita harus mencari tempat yang lebih lapang dan tidak penuh dengan bunga-bunga pentul ini.
Namanya bunga dandelion, bodoh! Bukan bunga pentul.
Leo hanya merotasikan kedua bola matanya. Tanpa meminta ijin terlebih dulu, ia menelusupkan tangan kanannya di bawah ketiak Klia dan menopang punggung gadis itu.
Hei hei! Apa yang kau lakukan?
Tentu saja memapahmu. Kecuali kau lebih memilih untuk berjalan sendiri sampai ke pinggir padang di sebelah sana yang kuyakin akan membuat kondisi kakimu lebih parah lagi dan tidak bisa kuobati dan satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan diamputasi.
Klia membeliak ketakutan mendengarnya.
A… am… amputasi?
Padma menepuk pelan bahu kanan Klia dan menggeleng menenangkan.
Leo hanya bercanda, Klia. Sudahlah, cepat bawa Klia ke tempat yang lebih teduh. Aku akan berlari secepat mungkin ke rumah kalian untuk mengambil kain dan beberapa bongkah es batu.
Leo menatap Padma dan tersenyum. Tatapannya hangat dan menentramkan. Klia benci mengakuinya, tetapi ia sungguh tidak suka jika jenis tatapan itu diberikan Leo untuk Padma dan bukan untuknya.
Terima kasih. Ah, dan kainnya jangan hanya ambil satu. Mungkin aku perlu lebih untuk membebatnya.
Padma mengangguk paham dan segera berlari menuju rumah keduanya untuk mengambil kedua hal tersebut.
Ayo jalan. Hati-hati, perhatikan langkahmu. Aku tidak mau menggendongmu kalau-kalau kaki kananmu juga masuk lubang dan keseleo.
Klia mendengus kesal. Kehangatan itu telah hilang, berganti dengan seraut wajah menyebalkan yang dibencinya.


“Kamu nggak makan?” Suaranya kembali mengusik ketenanganku. Aku melengos dan memalingkan muka, merasa malas untuk menatapnya.
“Masih kenyang.” Ia segera menyadari mood-ku sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.
“Tapi sekarang jam makan siang. Kamu harus makan. Nanti kalau maag kamu kumat gimana?” Ia sedikit bergeser mendekatiku, membuatku turut menggeser tubuh guna menjauhinya.
“Aku masih kenyang.” Kudengar helaan napasnya setelah mendapat jawabanku yang pasti dinilai keras kepala olehnya.
“Ya sudah, tapi nanti jangan lupa makan ya.” Dapat kurasakan ia beranjak pergi dari sisiku. Kupalingkan wajah dan kudapati ia berjalan menuju tempat seseorang yang belakangan ini kubenci, Eri. Rasa perih itu kembali muncul dan menjalar. Kali ini tidak hanya di suatu tempat yang banyak dideskripsikan sebagai ‘hati’ oleh banyak orang, tetapi juga di ulu hati. Tepatnya di lambung.


Setelah bergelut dengan teriakan kesakitan dan pukulan menyakitkan dari Klia, akhirnya Leo selesai memberikan pertolongan pertama pada kaki kiri gadis itu. Memarnya tidak lagi terlalu kentara meski tetap memunculkan ruam merah di sekitar pergelangan kaki Klia. Selesai dibebat dengan cukup kuat menggunakan saputangan yang dibawa Padma, Klia akhirnya mampu meluruskan kaki kirinya.
Coba jalan.
Klia mendongak dan langsung membungkam mulutnya begitu melihat keseriusan di wajah Leo. Mau tak mau ia harus menuruti perintah laki-laki penjaganya itu. Dengan hati-hati ia turunkan telapak kaki kirinya agar menyentuh tanah. Setelah berhasil dan tidak dirasa ada yang sakit, Klia berusaha memindahkan sebagian berat tubuhnya di atas kaki kiri.
Argh, sakit.
Klia meringis kesakitan saat rasa nyeri itu kembali mencengkeram pergelangan kaki kirinya. Gadis itu kembali menumpukan berat tubuhnya ke kaki kanan yang membuatnya kesulitan menjaga keseimbangan. Padma cepat-cepat menangkap tangan kiri Klia dan membantunya kembali berdiri cukup tegak.
Terima kasih.
Sepertinya kau harus dipapah untuk berjalan kembali ke rumah.
Klia hanya tersenyum pahit dan mengangguk membenarkan pernyataan Padma.
Mau bagaimana lagi. Sini, taruh tanganmu di pinggangku. Kau bisa berpegangan padaku.
Klia menghela napas. Ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Sejujurnya ia lebih memilih untuk dipapah Padma, tetapi postur tubuh Padma yang lebih kecil darinya jelas tidak memungkinkan kekasih Leo itu untuk menahan sebagian berat tubuhnya. Bisa-bisa keduanya malah terjatuh dan membuat Leo bersikap lebih menyebalkan padanya.
Perlahan ketiganya berjalan menjauhi padang dandelion. Matahari belum juga berada di sepenggalah kepala mereka, tetapi akibat insiden jatuhnya Klia, mau tak mau ketiganya harus menunda kemanapun rencana berjalan-jalan mereka hari ini.
Sesampainya di rumah, Padma bergegas membukakan pintu bagi Leo dan Klia. Ia membantu kekasihnya memapah Klia masuk ke dalam ruangan bersekat pintu kertas di salah satu sisinya yang telah disepakati sebagai area kamar Klia.
Ugh, ternyata kau berat juga. Bahu dan tanganku jadi pegal-pegal. Aku memang penjagamu, tapi bukan berarti aku bisa kaurepotkan semaunya seperti ini. Huh.
Maaf.
Leo menoleh. Ia tidak mungkin salah menangkap lirihan telepati itu. Dilihatnya Klia yang bahkan tidak berani membalas tatapannya seperti biasa. Perasaan Leo akhirnya melunak saat menyadari kalau ucapannya tadi mungkin melukai perasaan perempuan itu.
Ah, sudahlah. Sekarang kau istirahat saja. Jangan banyak bergerak. Kalau sampai besok kakimu masih bengkak, yah, apa boleh buat. Sepertinya amputasi jadi satu-satunya pilihanmu.
Apa?!
Leo!
Padma memukul tangan kekasihnya yang bebas dengan cukup keras, membuat laki-laki itu meringis dan mengaduh pelan. Gadis itu bahkan menghadiahkan pelototan mata yang cukup menyeramkan dan membuat Leo menelan kembali protesnya.
Kau ini! Berhentilah menakut-nakuti Klia. Kau ini kan penjaganya.
Aah, baiklah, baiklah. Kau sangat menakutkan kalau marah seperti ini.
Leo akhirnya mengalah. Setelah mendudukkan Klia di ranjangnya dan membantu gadis itu mengatur posisi kakinya, laki-laki itu mendesah lega. Ia menegakkan tubuhnya dan melakukan peregangan kecil, membuat Klia semakin merasa tidak nyaman karena telah merepotkannya.
Kalian tidak perlu menungguiku. Aku akan langsung tidur, jadi mungkin lebih baik kalian berjalan-jalan saja. Sepasang kekasih butuh waktu untuk berdua kan?
Tapi…
Padma tampak tidak yakin dengan hal tersebut. Keraguan itu berhasil dibaca dengan baik oleh Klia.
Aku akan baik-baik saja. Toh aku memang butuh istirahat. Pergilah.
Klia bersikeras memaksa keduanya untuk pergi. Bukan karena ia tidak ingin ditemani, tetapi entah kenapa suatu pemikiran dalam dirinya tidak menginginkan keberadaan sepasang kekasih itu di kamarnya.
Benar tidak apa-apa? Kau yakin? Kalau kau butuh apa-apa bagaimana?
Rumah ini tidak sebesar padang itu, Padma. Aku yakin aku bisa melakukannya sendiri kalau memang aku membutuhkan sesuatu. Sungguh.
Yakin?
Klia mengangguk sambil tersenyum meyakinkan. Leo yang merasa jengah dengan drama tidak penting di antara dua perempuan itu langsung menggenggam pergelangan tangan Padma dan bersiap menariknya keluar.
Sudahlah. Kalian ini bisa tidak sih tidak berbelit-belit seperti itu? Bukankah kau sudah dengar kalau Klia tidak akan apa-apa? Oh ayolah Padma, jarang-jarang aku mendapat perintah menyenangkan seperti ini darinya. Kita ikuti saja apa maunya. Oke?
Padma memberikan tatapan mematikan yang ditanggapi oleh erangan tidak suka dari Leo.
Hahaha, sepertinya Leo benar. Selama ini aku lebih sering meminta sesuatu yang membuatnya kesal. Jadi, sebelum aku berubah pikiran, lebih baik kau manfaatkan waktumu dengan kekasihmu yang super menyebalkan ini, Padma.
Kali ini Leo mendengus, namun tidak berniat untuk membalas kalimat Klia. Padma akhirnya menyerah. Gadis itu menghembuskan napasnya dan tersenyum lemah.
Baiklah kalau memang itu maumu. Aku dan Leo akan berjalan-jalan sebentar. Kami akan berjalan-jalan di sekitar sini saja, kalau-kalau kau membutuhkan aku ataupun Leo.
Tidak usah. Sungguh kau ataupun Leo tidak perlu khawatirkan aku. Lagipula aku kan hanya keseleo, bukannya patah tulang. Sudah sana, nikmati waktu kalian berdua.
Leo langsung menarik tangan Padma sebelum drama itu kembali berlanjut yang hampir membuatnya mati kebosanan.
Kalau begitu kami pergi dulu. Selamat istirahat. Bye!
Padma hanya bisa melambai singkat pada Klia yang dibalas lambaian serupa.
Selamat bersenang-senang!
Setelah sosok keduanya menghilang dari jarak pandangnya, Klia mendesah keras. Ia menunggu dalam diam sampai hanya kesunyian yang dapat ditangkap oleh indera pendengarannya. Saat merasa yakin kalau Leo dan Padma sudah berada di luar rumah, perasaan yang telah ditahannya langsung meluap begitu saja.
Ada apa denganku? Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku sangat tidak suka melihat mereka berdua? Kenapa aku tidak rela jika Leo memiliki peran lain selain sebagai penjagaku? Oh Tuhan, kenapa semuanya menjadi makin rumit bagiku? Aargh.
Klia melenguh keras-keras, yang tentu saja hanya bisa ditelepatikannya.


“Hei, kamu pulang sendirian?” Aku segera berpaling dan berhenti dari kegiatan memasukkan barang-barang ke dalam tasku untuk menatapnya.
“Ya. Memang kenapa?”
“Hati-hati. Kalau sudah sampai rumah jangan lupa makan. Maaf aku nggak bisa antar kamu ke rumah. Aku harus… yah, Eri… mm…”
“Aku mengerti. Sudah sana, kasihan dia sudah menunggumu.” Aku menunduk dan kembali menyibukkan diri dengan berbagai barang yang seenaknya saja kumasukkan ke dalam tas. Mendadak aku merasa kesal karena kali ini ia bahkan lebih mengutamakan Eri dibanding aku.
“Mm, oke. Kalau begitu, mm, sampai besok. Dah!” Ia segera berlari pergi, menghampiri Eri yang sudah berada di luar ruangan menunggunya. Bahkan ia telah berani berlalu dari hadapanku sebelum aku sempat membalas ucapannya. Kedua tanganku langsung terkepal. Dapat kurasakan deru napasku semakin memburu begitu melihatnya melangkah pergi bersama perempuan tidak tahu diri itu.
“Aku benci kamu, Eri. Sangat-sangat benci padamu. Berani-beraninya kamu merebut dia dariku. Awas saja, aku pasti akan membalasmu. Aku sungguh akan membalasmu.”

0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.