Aku
menatap dinding kamarku dalam diam. Merasakan sakit luar biasa yang entah
bagaimana terasa begitu nyata dalam kondisi fisikku yang dapat dikatakan
baik-baik saja. Perih.
“Jahat.
Kamu jahat. Kamu sangat jahat.”
Kugigit
kuat-kuat bibir bawahku demi menahan kata-kata tidak pantas yang telah
berkumpul di ujung lidah. Memaksa untuk dimuntahkan begitu saja.
“Kenapa?”
Berulangkali
kulayangkan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab dengan sendirinya. Kurasakan
kedua mataku mulai memanas. Aku sama sekali tidak berniat untuk menahannya kali
ini.
Klia?
Sontak
Klia tersadar dari lamunannya dan memutar kepala untuk melihat siapa yang
memanggilnya.
Ah, Padma. Kenapa kau bisa ada di sini?
Padma
mengernyit mendengarnya, membuat Klia segera menyadari kesalahan kalimat
pertanyaan yang ditelepatikannya.
Eh maksudku, maksudku tumben kau ke sini umm pagi-pagi begini?
Padma
tersenyum. Senyuman manis yang terasa getir.
Leo memanggilku. Dia memintaku untuk datang.
Klia
mematung selama beberapa milidetik sebelum akhirnya berhasil memaksakan seulas
senyum balasan.
Oh?
Kalau begitu tunggulah di sini. Aku akan memanggil Leo. Laki-laki dandy itu
bahkan lebih lama berdandan dibandingkan aku, hahaha.
Padma
sekali lagi tersenyum. Kali ini senyuman lebar yang sedikit memperlihatkan
deretan gigi depannya.
Siapa
yang kau maksud, huh? Sembarangan saja mengataiku laki-laki dandy. Aku kan
harus membereskan peralatan makan kita dulu, wajar saja aku butuh waktu sedikit
lebih lama untuk bersiap-siap. Ingat ya, sedikit.
Klia
memberengut sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja mendapat jitakan
pelan dari laki-laki yang menjadi pembicaraan mereka. Tanpa mengindahkan
kekesalan Klia, Leo bergegas menghampiri Padma dan mengalungkan lengan kanannya
ke leher gadis itu.
Hai,
selamat pagi. Kau cantik sekali pagi ini.
Padma
menunduk dan tersenyum malu. Aliran darahnya berpacu dan berkumpul di sekitar
pipinya, menampakkan semburat merah muda yang memesona.
A…
ah, berhentilah merayuku. Ini bahkan masih pagi, Leo!
Padma
menarik paksa lengan kokoh yang melingkari lehernya dan melepaskannya.
Cih,
dasar tukang gombal.
Leo
memutar kepalanya menghadap Klia yang terlihat masih mencibir padanya. Kedua
tangan perempuan itu bersedekap di depan dada dengan pandang merendahkan yang
jelas-jelas terarah padanya.
Hei,
jaga bicaramu. Memang apa salahnya kalau aku jadi tukang gombal di depan
kekasihku sendiri? Bilang saja kau ingin kugombali, hmm?
Klia
langsung membelalakkan matanya. Sejurus kemudian perempuan itu mendengus keras.
Jangan
mimpi.
Leo
hanya merotasikan kedua bola matanya dengan malas.
Terserahmulah.
Hei
hei, kalian ini seperti anak kecil saja. Sudahlah, aku datang ke sini pagi-pagi
bukan untuk melihat pertengkaran kalian. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan
saja? Aku punya suatu tempat yang ingin kukunjungi dan kuperlihatkan pada Klia.
Padma
berusaha mencairkan suasana yang mendadak terasa tidak nyaman itu. Lagipula apa
yang ditelepatikannya juga benar. Ia merasa risih melihat pertengkaran keduanya.
Oh?
Kau ingin mengajakku kemana? Apa ada tempat di dunia an… eh mm, spesial ini
yang belum kudatangi?
Rupanya
Klia tertarik dengan ajakan Padma. Ia tidak lagi memikirkan peran Padma dan
kerumitan peran mereka bertiga yang sedari kemarin terus memenuhi kepalanya.
Sebaiknya
kau ikut aku. Aku pastikan kau akan menyukai tempat itu. Sangat menyukainya.
Ayo!
Tanpa
memedulikan Leo yang sedang bersama mereka, kedua perempuan itu bergegas keluar
rumah dan berjalan beriringan dengan langkah riang. Meninggalkan Leo yang
mencibir melihat kelakuan mereka.
Dasar
perempuan. Selalu seenaknya sendiri. Huh!
“Eri?
Ada apa?” Aku segera mendongak begitu mendapati sesosok tubuh mungil
menghalangi pandanganku. Tanpa perlu melihat parasnya pun aku tahu siapa
pemilik tubuh di hadapanku saat ini.
“Ayo
kita ke kantin!” Suaranya terdengar riang dan bersahabat.
“Apa?”
Aku menyipitkan mata curiga. Mencoba mencari niat lain yang tersembunyi dalam
ajakannya. Aku tidak bisa sepenuhnya percaya padanya setelah apa yang dilakukan
seseorang yang menyandang status teman sepertinya. Oh ya, Eri adalah temanku.
Salah satu teman dekatku. Dulu.
“Ayo
kita ke kantin! Ini jam istirahat. Kamu nggak mau jajan?” Ia mengulang
ajakannya yang terdengar memuakkan di telingaku.
“Ah,
lama sekali menjawabnya. Ayolah, aku sudah lapar. Cepat.” Tanpa menunggu
persetujuanku, ia dengan seenaknya menarik paksa tangan kiriku dan menyeretku
keluar. Aku bahkan tidak sempat membantah dan hanya mengikuti langkah cepatnya
menuju sepetak bangunan kecil yang kami sebut kantin.
Lihat,
indah kan?
Padma
merentangkan kedua tangannya di samping Klia yang hanya bisa menganga dalam
keterkejutan.
Wuaaah,
indahnya!
Padma
ikut tersenyum lebar melihat kegembiraan yang meluap dalam diri teman barunya
itu.
Sudah
kuduga kalau kau akan menyukainya, Klia.
Tentu
saja! Orang bodoh mana sih yang tidak suka dengan pemandangan menakjubkan
padang ini? Ya Tuhan, dandelion-dandelion di sini sangat cantik!
Klia
masih saja memandang takjub hamparan bunga dandelion di hadapannya. Padang
Dandelion, begitulah nama tanah lapang yang diberitahukan Padma padanya.
Perlahan gadis itu melangkahkan kakinya menelusuri jalan setapak yang
membentang di beberapa titik tanah lapang itu. Kedua tangannya terjulur
menyentuh beberapa putik dandelion yang berada dalam jangkauannya, menyebabkan
putik-putik berwarna putih itu terlepas dari bantalan bulat besar di tengahnya.
Hei,
jangan jauh-jauh! Nanti kau tersesat! Aku tidak mau direpotkan untuk mencarimu
di tengah-tengah padang bunga pentul ini.
Sontak
Klia menoleh ke belakang, menatap tajam seseorang yang sukses menghancurkan
kebahagiaannya dalam sekejap.
Bodoh!
Kau sudah merusak kesenanganku, tahu? Aku tidak akan tersesat. Aku tidak
sebodoh itu.
Klia
memajukan bibirnya, merasa kesal karena teriakan yang ditelepatikan Leo
kepadanya. Dengan segera dipalingkannya kembali wajahnya menghadap hamparan
bunga dandelion yang seakan tak berujung.
Leo
benar-benar menyebalkan!
Padma
memukul lengan kiri laki-laki itu dan memasang wajah kesal sekaligus gemas pada
kekasihnya.
Kau
mengganggunya, tahu? Dasar laki-laki tidak peka. Ish, sungguh menyebalkan.
Hei
hei, aku ini kekasihmu. Kenapa kau malah membela perempuan itu? Klia itu orang
yang ceroboh. Di jalan setapak itu ada beberapa lubang yang tidak terlihat. Selain takut dia tersesat, aku juga takut dia bisa ter…
Bruk!
Aduuh!
…jatuh.
Padma
dan Leo langsung berlari menghampiri Klia yang tersungkur ke dalam salah satu
lubang. Bersama-sama mereka berusaha membantu Klia untuk mengeluarkan kaki
kirinya yang terperosok ke dalam lubang yang rupanya cukup dalam. Setelah
berhasil membebaskan diri, Klia berusaha untuk berdiri tegak.
Aaarrgh,
sakit!
Gadis
itu kembali terjatuh, namun untungnya Leo sigap menangkap tubuhnya sehingga ia
tidak harus mengaduh kesakitan untuk kedua kalinya akibat benturan pantat dengan
tanah kasar pembentuk jalan setapak itu.
Lihat,
sekarang kau benar-benar merepotkanku! Haah.
Klia
menoleh dan menatap kesal Leo melalui sudut matanya. Ia masih berjuang untuk
menstabilkan badannya dan berdiri dalam posisi yang lebih mantap.
Ah,
sepertinya kakimu keseleo.
Padma
berjongkok di hadapan Klia dan meneliti pergelangan kaki kiri Klia yang tampak
membengkak merah. Klia menghembuskan napas cukup keras, mengutuk keberadaan
lubang tidak terlihat itu.
Apa
kau bisa mengobatinya?
Klia
menatap penuh harap pada Padma yang kini berdiri berhadapan dengannya. Padma
mengulaskan senyum kecil dan menggeleng penuh penyesalan.
Maaf,
aku tidak bisa. Tapi Leo bisa.
Kali
ini Klia menatap cemas ke arah Leo. Ia bahkan sedikit menggigit bibir bawahnya,
khawatir Leo akan menolak untuk mengobati kakinya karena sikap menyebalkan yang
ia tunjukkan sebelumnya.
Aku
bisa, tapi kita harus mencari tempat yang lebih lapang dan tidak penuh dengan
bunga-bunga pentul ini.
Namanya
bunga dandelion, bodoh! Bukan bunga pentul.
Leo
hanya merotasikan kedua bola matanya. Tanpa meminta ijin terlebih dulu, ia
menelusupkan tangan kanannya di bawah ketiak Klia dan menopang punggung gadis
itu.
Hei
hei! Apa yang kau lakukan?
Tentu
saja memapahmu. Kecuali kau lebih memilih untuk berjalan sendiri sampai ke
pinggir padang di sebelah sana yang kuyakin akan membuat kondisi kakimu lebih
parah lagi dan tidak bisa kuobati dan satu-satunya cara untuk mengobatinya
adalah dengan diamputasi.
Klia
membeliak ketakutan mendengarnya.
A…
am… amputasi?
Padma
menepuk pelan bahu kanan Klia dan menggeleng menenangkan.
Leo
hanya bercanda, Klia. Sudahlah, cepat bawa Klia ke tempat yang lebih teduh. Aku
akan berlari secepat mungkin ke rumah kalian untuk mengambil kain dan beberapa
bongkah es batu.
Leo
menatap Padma dan tersenyum. Tatapannya hangat dan menentramkan. Klia benci
mengakuinya, tetapi ia sungguh tidak suka jika jenis tatapan itu diberikan Leo
untuk Padma dan bukan untuknya.
Terima
kasih. Ah, dan kainnya jangan hanya ambil satu. Mungkin aku perlu lebih untuk
membebatnya.
Padma
mengangguk paham dan segera berlari menuju rumah keduanya untuk mengambil kedua
hal tersebut.
Ayo
jalan. Hati-hati, perhatikan langkahmu. Aku tidak mau menggendongmu kalau-kalau
kaki kananmu juga masuk lubang dan keseleo.
Klia
mendengus kesal. Kehangatan itu telah hilang, berganti dengan seraut wajah
menyebalkan yang dibencinya.
“Kamu
nggak makan?” Suaranya kembali mengusik ketenanganku. Aku melengos dan
memalingkan muka, merasa malas untuk menatapnya.
“Masih
kenyang.” Ia segera menyadari mood-ku
sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.
“Tapi
sekarang jam makan siang. Kamu harus makan. Nanti kalau maag kamu kumat
gimana?” Ia sedikit bergeser mendekatiku, membuatku turut menggeser tubuh guna
menjauhinya.
“Aku
masih kenyang.” Kudengar helaan napasnya setelah mendapat jawabanku yang pasti
dinilai keras kepala olehnya.
“Ya
sudah, tapi nanti jangan lupa makan ya.” Dapat kurasakan ia beranjak pergi dari
sisiku. Kupalingkan wajah dan kudapati ia berjalan menuju tempat seseorang yang
belakangan ini kubenci, Eri. Rasa perih itu kembali muncul dan menjalar. Kali
ini tidak hanya di suatu tempat yang banyak dideskripsikan sebagai ‘hati’ oleh
banyak orang, tetapi juga di ulu hati. Tepatnya di lambung.
Setelah
bergelut dengan teriakan kesakitan dan pukulan menyakitkan dari Klia, akhirnya
Leo selesai memberikan pertolongan pertama pada kaki kiri gadis itu. Memarnya
tidak lagi terlalu kentara meski tetap memunculkan ruam merah di sekitar
pergelangan kaki Klia. Selesai dibebat dengan cukup kuat menggunakan saputangan
yang dibawa Padma, Klia akhirnya mampu meluruskan kaki kirinya.
Coba
jalan.
Klia
mendongak dan langsung membungkam mulutnya begitu melihat keseriusan di wajah
Leo. Mau tak mau ia harus menuruti perintah laki-laki penjaganya itu. Dengan
hati-hati ia turunkan telapak kaki kirinya agar menyentuh tanah. Setelah
berhasil dan tidak dirasa ada yang sakit, Klia berusaha memindahkan sebagian
berat tubuhnya di atas kaki kiri.
Argh,
sakit.
Klia
meringis kesakitan saat rasa nyeri itu kembali mencengkeram pergelangan kaki
kirinya. Gadis itu kembali menumpukan berat tubuhnya ke kaki kanan yang
membuatnya kesulitan menjaga keseimbangan. Padma cepat-cepat menangkap tangan
kiri Klia dan membantunya kembali berdiri cukup tegak.
Terima
kasih.
Sepertinya
kau harus dipapah untuk berjalan kembali ke rumah.
Klia
hanya tersenyum pahit dan mengangguk membenarkan pernyataan Padma.
Mau
bagaimana lagi. Sini, taruh tanganmu di pinggangku. Kau bisa berpegangan
padaku.
Klia
menghela napas. Ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Sejujurnya ia lebih
memilih untuk dipapah Padma, tetapi postur tubuh Padma yang lebih kecil darinya
jelas tidak memungkinkan kekasih Leo itu untuk menahan sebagian berat tubuhnya.
Bisa-bisa keduanya malah terjatuh dan membuat Leo bersikap lebih menyebalkan
padanya.
Perlahan
ketiganya berjalan menjauhi padang dandelion. Matahari belum juga berada di
sepenggalah kepala mereka, tetapi akibat insiden jatuhnya Klia, mau tak mau
ketiganya harus menunda kemanapun rencana berjalan-jalan mereka hari ini.
Sesampainya
di rumah, Padma bergegas membukakan pintu bagi Leo dan Klia. Ia membantu
kekasihnya memapah Klia masuk ke dalam ruangan bersekat pintu kertas di salah
satu sisinya yang telah disepakati sebagai area kamar Klia.
Ugh,
ternyata kau berat juga. Bahu dan tanganku jadi pegal-pegal. Aku memang
penjagamu, tapi bukan berarti aku bisa kaurepotkan semaunya seperti ini. Huh.
Maaf.
Leo
menoleh. Ia tidak mungkin salah menangkap lirihan telepati itu. Dilihatnya Klia
yang bahkan tidak berani membalas tatapannya seperti biasa. Perasaan Leo
akhirnya melunak saat menyadari kalau ucapannya tadi mungkin melukai perasaan
perempuan itu.
Ah,
sudahlah. Sekarang kau istirahat saja. Jangan banyak bergerak. Kalau sampai
besok kakimu masih bengkak, yah, apa boleh buat. Sepertinya amputasi jadi
satu-satunya pilihanmu.
Apa?!
Leo!
Padma
memukul tangan kekasihnya yang bebas dengan cukup keras, membuat laki-laki itu
meringis dan mengaduh pelan. Gadis itu bahkan menghadiahkan pelototan mata yang
cukup menyeramkan dan membuat Leo menelan kembali protesnya.
Kau
ini! Berhentilah menakut-nakuti Klia. Kau ini kan penjaganya.
Aah,
baiklah, baiklah. Kau sangat menakutkan kalau marah seperti ini.
Leo
akhirnya mengalah. Setelah mendudukkan Klia di ranjangnya dan membantu gadis
itu mengatur posisi kakinya, laki-laki itu mendesah lega. Ia menegakkan
tubuhnya dan melakukan peregangan kecil, membuat Klia semakin merasa tidak
nyaman karena telah merepotkannya.
Kalian
tidak perlu menungguiku. Aku akan langsung tidur, jadi mungkin lebih baik
kalian berjalan-jalan saja. Sepasang kekasih butuh waktu untuk berdua kan?
Tapi…
Padma
tampak tidak yakin dengan hal tersebut. Keraguan itu berhasil dibaca dengan
baik oleh Klia.
Aku
akan baik-baik saja. Toh aku memang butuh istirahat. Pergilah.
Klia
bersikeras memaksa keduanya untuk pergi. Bukan karena ia tidak ingin ditemani,
tetapi entah kenapa suatu pemikiran dalam dirinya tidak menginginkan keberadaan
sepasang kekasih itu di kamarnya.
Benar
tidak apa-apa? Kau yakin? Kalau kau butuh apa-apa bagaimana?
Rumah
ini tidak sebesar padang itu, Padma. Aku yakin aku bisa melakukannya sendiri
kalau memang aku membutuhkan sesuatu. Sungguh.
Yakin?
Klia
mengangguk sambil tersenyum meyakinkan. Leo yang merasa jengah dengan drama
tidak penting di antara dua perempuan itu langsung menggenggam pergelangan
tangan Padma dan bersiap menariknya keluar.
Sudahlah.
Kalian ini bisa tidak sih tidak berbelit-belit seperti itu? Bukankah kau sudah
dengar kalau Klia tidak akan apa-apa? Oh ayolah Padma, jarang-jarang aku
mendapat perintah menyenangkan seperti ini darinya. Kita ikuti saja apa maunya.
Oke?
Padma
memberikan tatapan mematikan yang ditanggapi oleh erangan tidak suka dari Leo.
Hahaha,
sepertinya Leo benar. Selama ini aku lebih sering meminta sesuatu yang
membuatnya kesal. Jadi, sebelum aku berubah pikiran, lebih baik kau manfaatkan
waktumu dengan kekasihmu yang super menyebalkan ini, Padma.
Kali
ini Leo mendengus, namun tidak berniat untuk membalas kalimat Klia. Padma
akhirnya menyerah. Gadis itu menghembuskan napasnya dan tersenyum lemah.
Baiklah
kalau memang itu maumu. Aku dan Leo akan berjalan-jalan sebentar. Kami akan
berjalan-jalan di sekitar sini saja, kalau-kalau kau membutuhkan aku ataupun
Leo.
Tidak
usah. Sungguh kau ataupun Leo tidak perlu khawatirkan aku. Lagipula aku kan
hanya keseleo, bukannya patah tulang. Sudah sana, nikmati waktu kalian berdua.
Leo
langsung menarik tangan Padma sebelum drama itu kembali berlanjut yang hampir
membuatnya mati kebosanan.
Kalau
begitu kami pergi dulu. Selamat istirahat. Bye!
Padma
hanya bisa melambai singkat pada Klia yang dibalas lambaian serupa.
Selamat
bersenang-senang!
Setelah
sosok keduanya menghilang dari jarak pandangnya, Klia mendesah keras. Ia
menunggu dalam diam sampai hanya kesunyian yang dapat ditangkap oleh indera
pendengarannya. Saat merasa yakin kalau Leo dan Padma sudah berada di luar
rumah, perasaan yang telah ditahannya langsung meluap begitu saja.
Ada
apa denganku? Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku sangat tidak suka melihat
mereka berdua? Kenapa aku tidak rela jika Leo memiliki peran lain selain
sebagai penjagaku? Oh Tuhan, kenapa semuanya menjadi makin rumit bagiku? Aargh.
Klia
melenguh keras-keras, yang tentu saja hanya bisa ditelepatikannya.
“Hei,
kamu pulang sendirian?” Aku segera berpaling dan berhenti dari kegiatan
memasukkan barang-barang ke dalam tasku untuk menatapnya.
“Ya.
Memang kenapa?”
“Hati-hati.
Kalau sudah sampai rumah jangan lupa makan. Maaf aku nggak bisa antar kamu ke
rumah. Aku harus… yah, Eri… mm…”
“Aku
mengerti. Sudah sana, kasihan dia sudah menunggumu.” Aku menunduk dan kembali
menyibukkan diri dengan berbagai barang yang seenaknya saja kumasukkan ke dalam
tas. Mendadak aku merasa kesal karena kali ini ia bahkan lebih mengutamakan Eri
dibanding aku.
“Mm,
oke. Kalau begitu, mm, sampai besok. Dah!” Ia segera berlari pergi, menghampiri
Eri yang sudah berada di luar ruangan menunggunya. Bahkan ia telah berani
berlalu dari hadapanku sebelum aku sempat membalas ucapannya. Kedua tanganku
langsung terkepal. Dapat kurasakan deru napasku semakin memburu begitu
melihatnya melangkah pergi bersama perempuan tidak tahu diri itu.
“Aku
benci kamu, Eri. Sangat-sangat benci padamu. Berani-beraninya kamu merebut dia
dariku. Awas saja, aku pasti akan membalasmu. Aku sungguh akan membalasmu.”
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)