Terkadang saya berpikir bahwa bayi
yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya.
Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban
perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari
perkosaan sungguhan.
***
Kami menangis karena kami dipaksa
meninggalkan gua pribadi kami. Kami menangis karena bahkan ketika kami belum
mengerti patah dua patah kata, kami dipaksa untuk memahami. Kami diminta untuk
memenuhi doa ibu bapak kami.
“semoga
kamu menjadi gadis yang baik.”
“anak
laki-laki jagoan ayah!”
“daddy’s
little girl”
“teman
ayah bermain bola!”
Kami menangis karena pada akhirnya
kami memilih untuk menjadi gadis yang sepertinya tidak terlalu baik untuk
mereka. Bibir kami menyulut rokok. Kami lebih memilih memakai rok mini
ketimbang celana atau rok panjang, dan sebelum pukul dua kami belum mau pulang.
Kami menangis karena kami lebih
memilih memakai rok ketimbang jas. Kami lebih memilih mengikuti ekskul dance
ketimbang basket. Kami lebih memilih warna pink ketimbang biru. Kami lebih
memilih mengkastrasi kelamin kami ketimbang menjadi laki-laki. Katanya, kami
membuat sedih sekali lagi. Padahal airmata mengucur dari mata kami deras
sekali.
Kami menangis karena memakai rok
memalukan bagi kami. Kami menangis karena rambut panjang itu rasanya gerah
sekali. Kami menangis ketika mereka menertawai kami. Kami yang lebih memilih
mencintai sesama perempuan ketimbang mencintai kelamin lainnya, laki-laki.
Sepertinya kami mengecewakan.
Kami menangis ketika kami yang
lebih suka hidup sendiri dipaksa untuk menikah. Kata mereka perempuan yang
melajang mencoreng nama keluarga. Kami menangis karena ketika pada akhirnya
kami menikah, suami kami lebih memilih berada diluar bersama wanita lainnya.
Kami menangis karena kami yang tidak piawai berdandan masih menjadi alasan dan
pemakluman para lelaki kami yang akhirnya menghabiskan waktu dengan para
simpanan.
Airmata kami masih serupa pancuran.
Kami menangis ketika pekerjaan di
kantor luar biasa merongrong. Ketika istri yang kami nikahi dan diharapkan
mampu menyuguhkan air putih dingin lepas kami bekerja lebih memilih untuk pergi
ke mall dan memborong. Kami menangis karena kelaki-lakian kami diukur oleh
sprema yang mampu berenang gesit dan menghampiri sel telur istri kami yang
ternyata main serong. Yang ternyata mengandung anak dari lelaki lain yang bukan
kami. Kami heran sekali. Kenapa kelelakian kami berhenti hanya karena tidak
bisa menghamili? Bukankah ketika lahir para dokter dan perawat mengamini jenis kelamin
kami, laki-laki?
Kami menangis karena tidak
mengerti.
Kami masih menangis karena kami
menuntut balas. Kemana ayah ketika kami bukan lagi gadis kecil mereka? Kemana
ayah ketika ibu yang sendiri menua dan akhirnya meregang nyawa? Kemana ayah
ketika kami butuh pahlawan pribadi kami semua?
Saya, kami, sungguh murka!
Kami menangis karena dongeng putri
yang dibacakan ibu ternyata begitu berbeda. Kami menangis karena selain naga
dan nenek sihir ternyata banyak lagi yang menakutkan di hidup pada akhirnya.
Kami menangis karena dunia jauh dari indah, jauh dari yang mereka janjikan pada
kami dulu ketika kami masih bayi merah dan tawa kami masih menghibur mereka.
Siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua?
***
Saya tertawa sesudahnya,
Saya tahu tidak akan ada sesiapa
yang datang ketika kami menangis sesengukan seada-adanya.
Seperti yang sudah-sudah mereka
hanya akan berlomba-lomba ketika kami mengeluarkan tawa.
Begitu seterusnya.
***
Terkadang saya berpikir bahwa bayi
yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya.
Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban
perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari
perkosaan sungguhan. Kami diajarkan untuk tertawa agar terlupa dengan airmata
sementara. Sementara yang ternyata tidak terlalu lama. Begitulah seterusnya…
Masih di awang Gili
Trawangan minggu lalu, 2014
Annisa Ninggorkasih
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)