Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

April 23, 2014

Tentang Api

Love is a fire

Katanya...

Antara membuat hatimu hangat atau membakar rumahmu, itu tidak dapat dibedakan


***

Dosenku pernah bercerita mengenai api. Aku gak pernah mengerti maksudnya. Bahasanya ketinggian buat orang semacam aku. Doko selalu bingung, karena menurutnya orang yang kaya aku seharusnya akan ngerti bahasa dosen itu. Saat Doko bilang hal itu, aku langsung ngelirik dia seakan dia barang yang terhina yang ada di bumi ini dan dia pergi.

"Api", begitu kata yang keluar dari mulutnya, dengan gestur layaknya pujangga, dia bergerak gemulai di depan kelas. "Api adalah suatu eksistensi. Ketika kamu mengatakan 'aku butuh sesuatu untuk membakar dedaunan', itu adalah esensi dari api".

Aku tetap tidak mengerti. Hanya Tuhan dan dosen yang bersangkutan yang bisa mengerti.

**

Beberapa tahun lalu, tepatnya 10 tahun lalu, rumahku terbakar. Saat itu aku kelas 2 SMP. Saat itu juga aku melihat untuk pertama kalinya ekspresi kehilangan dari raut wajah ibu. Sudut mata dan bibirnya turun. Keluar air dari matanya. Pipinya merah, bukan karena merah bawaan lahir, tapi merah seperti aliran darah mengisi di setiap bagian pipinya. Keringat dan air mata bercampur di pipi merahnya itu. Rasanya ketika aku mengalami kecelakaan yang hampir membutakanku, ibu tidak 'se-kehilangan' itu....

14 tahun lalu, kelas 4 SD. Aku anak pendiam yang hanya mau bermain kalau diajak. Secara kebetulan, tidak ada yang pernah mengajakku main. Kalaupun diajak, itu bukan karena inisiatif mereka, tapi inisiatif dari ibu mereka yang melihat aku asik dengan duniaku, kesendirian.

"Oy, si Cina ikutan main!"

Begitu kata-kata yang keluar dari anak yang 'dipaksa' oleh ibunya untuk mengajakku bermain. Hal yang terlihat adalah ketidaksukaan mereka terhadap kata-kata itu. Bukan karena tidak suka dengan sebutan 'rasis' yang dilontarkan, tapi tidak suka dengan 'aba-aba' itu. Seakan-akan mereka semua sudah terprogram untuk merespon kode tersebut dengan respon yang sama, persis. Aku pun ikut bermain. Sepak bola. I never like sports in my whole life. Apalagi yang berhubungan dengan bola. Bola is my worst nightmare.

Singkat cerita mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan setelah 2 gol lagi. Semua sepakat, kecuali aku. Seakan-akan aku dijadikan anak bawang yang kerjaannya cuma ikut-ikut aja tanpa perlu tahu aturan. Bola disimpan di tengah lapangan dan seseorang dengan keras bilang "Ya!" dan semua anakpun berlari otomatis menuju bola tersebut. Aku tidak ikut berlari, karena aku gak suka bola. Kemudian yang aku ingat adalah sebuah kata yang terlontar dari seorang anak paling gendut di kerumunan itu, "Awas!!!", dan yang aku ingat suara nyaring yang timbul. Semua suara memudar dan yang ada hanya lah dengungan. Aku terjatuh ke tanah. Tanah itu masuk ke dalam mulut dan luang hidungku. Pahit. Kemudian aku mencoba bangkit bersama dengan suara dengungan itu. Kekakuan dan kebisuan anak-anak yang ada di belakangku tidak membantu aku semakin kuat untuk berdiri. Dengungan ini mengganggu. Seketika dengungan itu menjalar jadi rasa panas di sekitar pelipis dan pipi kiriku. Rasanya semakin panas. Panas...

Aku berjalan menjauhi anak-anak itu, tanpa melihat ke belakang. Hanya dengungan itu yang terdengar. Semakin lama, semakin samar. Aku menggerakkan kepalaku berharap kalau dengungan tersebut akan hilang. Namun, dengungan tersebut menjadi konstan. Tiba-tiba kepalaku pusing. Mual. Ingin muntah. Tapi aku menolak keinginan otak dengan terus berjalan.

Hal terakhir yang aku ingat, aku jatuh menindih pagar kebun yang terbuat dari bambu dan semuanya menjadi gelap...


***

Bekas luka di kelompak mata kiriku tidak terlihat kalau kamu tidak melihatnya secara detail. Tetapi, jika dipegang, maka akan terasa kalau di bagian itu ada bekas lengkungan entah apa.

**

Yang pertama aku lihat setelah semua gelap adalah ibu. Ibuku duduk di sampingku, dengan muka datar. Lebih tepatnya datar dan akan segera meledak. Namun, dia mencoba menahan dan menutupinya. Wajahnya masih kuning langsat. Matanya menggantung sambil memandang keningku. Aku sangat yakin kalau dia tidak melihat ke mataku.

Bajuku berlumuran tanah. Mata kiriku gatal. Tanganku secara otomatis bergerak ke arah kelopak mata kiri.

Sakit.

Saat aku lihat tangan yang menggaruk itu, menempel noda merah yang sudah agak kehitaman.

Basah.

Tiba-tiba kelopak mataku menjadi basah. Alirannya pekat. Bukan keringat. Bukan juga air mata. Yang aku tahu saat itu adalah kelopak mataku terluka tapi entah apa yang melukainya.

Semakin lama semakin pedih. Seperti jari yang teriris oleh pisau, namun lebih pedih. Nyeri. Dan seketika aku pun berteriak kesakitan dengan sangat keras.

Ibu masih terduduk di sana dengan muka datarnya.

**

Dia menghampiriku. Dulu, pria itu sering datang ke rumah, aku tahu itu. Dia akrab dengan ibu. Secara tidak sadar aku mendengar dia berbicara, tapi aku tidak tahu untuk siap dia berbicara.

"Aku membakar, untuk memberikanmu esensi arti cinta"

Aku diam.

Aku masih melihat pada ibuku, dengan pipi merahnya yang basah. Aku hanya bisa diam. Aku belum mengerti apa-apa.

Sampai sekarang..

0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.