Sepasang kelopak itu bergetar pelan. Sepersekian detik berikutnya terangkat perlahan. Sampai akhirnya terbuka sempurna.
Ah, dimana ini? Kenapa tempat ini terasa fa.. Ah, betul juga! Sekarang aku pasti ada di rumah.
Klia menutup kembali kelopak matanya dan menggeliat. Mulutnya sedikit terbuka -berusaha menyuarakan erangan pelan- tanpa ada suara yang terdengar. Setelah puas menggeliat dan membuat kusut seprai tempat tidurnya, Klia kembali membuka mata dan menemukan sepasang manik hitam menatapnya dalam jarak kurang dari satu meter.
Ya Tuhan! Leo! Kau… kau mau membuatku terkena serangan jantung, huh?
Klia mengomel pada sosok laki-laki yang mendadak muncul di hadapannya. Gadis itu segera menegakkan punggung dan menggeser tubuhnya, berusaha menambah jarak di antara mereka.
Hahaha, ekspresimu lucu sekali Klia!
Leo tergelak dan langsung menarik badannya ke belakang, kembali pada posisinya semula yang berdiri tegak di samping ranjang Klia. Klia hanya memberengut dan memajukan bibirnya.
Hei hei, jangan cemberut seperti itu. Maaf deh. Awalnya aku hanya ingin membangunkanmu dan mengajak sarapan, tetapi melihatmu sedang menggeliat seperti kucing membuatku ingin sedikit mengejutkanmu. Hanya sedikit kok. Sedikiit.
Klia masih memberengut. Kali ini kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua matanya menyipit menatap Leo yang kelabakan membujuknya.
Oke oke, aku salah. Maafkan aku. Kau pasti mau memaafkan laki-laki tampan nan baik hati sepertiku kan?
Sebuah bantal mendadak melayang dan menghantam wajah Leo.
Rasakan! Huh.
Klia menyeringai puas dan beranjak bangun dari ranjangnya, meninggalkan Leo yang tengah berkomat-kamit tanpa suara setelah mendapat lemparan selamat pagi darinya.
Leo!
Laki-laki yang dipanggil itu bergegas keluar dari kamar setelah selesai mengeluarkan rutukan untuk Klia, gadis yang baru saja memanggilnya sekaligus yang melemparnya dengan sebuah bantal tanpa mengucapkan permintaan maaf setelahnya.
Ya?
Klia berbalik menghadap Leo dan menampilkan ekspresi polos di wajahnya.
Mana sarapannya? Kau masuk ke kamarku untuk mengajak sarapan kan? Tapi mana makanannya?
Leo mendengus begitu mendengar pertanyaan Klia.
Aku mengajakmu sarapan bukan berarti aku sudah menyiapkan sarapannya. Justru aku membangunkanmu untuk membuatkan sarapan. Bukankah tugas perempuan sepertimu adalah memasak?
Kali ini Leo yang menampilkan ekspresi polos di wajahnya. Ekspresi berbeda membias di wajah Klia. Gadis itu melebarkan pupil mata dan setengah membuka mulutnya mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka dari lawan bicaranya. Lebih tepatnya dari seseorang dengan status sebagai penjaganya.
Apa? Kau memintaku memasak? Kupikir kau adalah penjagaku dan…
Dan aku yang akan menyiapkan semua keperluanmu? Hei, aku ini penjagamu. Bukan pembantu ataupun dayangmu. Jadi, maaf saja. Sudah sana, cepat memasak untuk sarapan kita. Aku sudah lapar.
Kau… kau menyuruhku?
Memangnya aku bisa menyuruh siapa lagi di sini? Satu-satunya perempuan di tempat ini kan hanya dirimu.
Klia mengepalkan kedua tangannya. Matanya menyipit hampir membentuk garis lurus dengan pandangan tertuju langsung pada sepasang mata laki-laki di hadapannya. Leo spontan memundurkan salah satu kakinya dan memunculkan kewaspadaannya seolah merasakan ancaman yang mendadak menguar dari gadis yang harus dijaganya.
Huh, baiklah! Aku yang memasak. Puas?
Asiik! Kau mau memasak apa pagi ini?
Sepanci besar air untuk merebusmu hidup-hidup!
Cengiran bahagia yang tercetak di wajah Leo langsung lenyap begitu mendengarnya.
“Hei, kamu marah?”
Tanpa permisi tangannya mencekal pergelangan tangan kiriku. Aku yang semula hendak beranjak pergi dari hadapannya terpaksa menahan langkah dan hanya dapat menghentak kesal.
“Apa maumu?”
Cekalan tangannya tidak juga terlepas meski aku telah dengan sangat jelas menunjukkan kekesalanku padanya.
“Kamu benar-benar marah? Kamu marah padaku?”
Deru napasku memburu. Hampir saja aku berteriak marah padanya kalau saja tidak mengingat banyaknya orang berseragam yang berlalu-lalang di sekitar kami saat ini.
“Kalau iya kenapa?”
Mendadak pergelangan tangan kiriku terhempas. Tidak lagi kurasakan cekalannya yang beberapa saat lalu menahanku pergi darinya. Namun, secepat itu pula terasa cengkeraman kuat di bahuku yang berhasil memaksaku kembali berhadapan dengannya. Aku berusaha keras menahan diri agar tidak menatap matanya. Bagaimanapun aku sedang tidak ingin terhanyut ke dalamnya.
“Maaf, aku minta maaf sudah membuatmu marah.”
Aku sudah dimaafkan kan? Iya kan?
Laki-laki itu bertanya dengan hati-hati pada perempuan yang terlihat tenang sambil menjilati sisa-sisa selai coklat di jari-jari tangannya. Tidak sampai satu jam yang lalu perempuan itu terlihat sangat menakutkan seolah benar-benar akan merebus penjaganya hidup-hidup.
Huh? Apa? Kau bilang apa?
Leo mengerjapkan mata menyaksikan reaksi Klia terhadapnya. Perempuan yang sempat mengancamnya itu kini menatapnya sambil tetap menjilati sisa-sisa selai coklatnya. Manis.
Hei, kau bilang apa tadi? Ah, maksudku apa yang tadi kamu telepatikan padaku? Maaf aku tidak mendengarnya. Selai coklat ini benar-benar enak, hehe.
Leo cepat-cepat menggeleng. Instingnya memperingatkan agar tidak membahas permintaan maaf itu lebih lanjut. Klia mengerutkan keningnya yang segera dibalas cengiran canggung laki-laki itu. Klia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali sibuk menjilati jari-jari tangannya.
Apa kita akan keluar rumah hari ini?
Huh?
Apa kita akan keluar rumah hari ini?
Leo memiringkan kepalanya sejenak, mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya pada Klia. Dari sudut matanya dapat dilihat bahwa gadis itu tidak lagi menjilati jari-jarinya dan tengah menatapnya penuh tanya.
Kita akan berjalan-jalan hari ini. Tidak ada gunanya juga seharian di rumah. Lagipula aku harus mengenalkanmu pada beberapa teman di sini, jadi setidaknya tidak hanya aku yang kau kenal.
Sepasang mata itu langsung berbinar cerah. Lengkungan serupa kurva terbalik perlahan membias dan tercetak jelas, turut menyemarakkan sepasang binar itu. Tak pelak gestur itu pun berbalas.
Beberapa teman? Jadi kita tidak sendiri di sini? Sungguh? Kau tidak bohong kan?
Yap. Beberapa teman. Sejujurnya aku pun baru mengetahui keberadaan beberapa teman ini sesaat yang lalu.
Leo sudah bersiap menghadapi ekspresi ketidakpercayaan Klia, namun gadis itu rupanya memilih untuk tidak menanggapinya kali ini. Sepertinya ia mulai membiasakan diri dengan kejutan-kejutan yang terus datang bersusulan semenjak hari penciptaannya.
Ada berapa orang? Apakah banyak? Apakah mereka seperti kita? Maksudku… masalah telepati dan segala hal lainnya?
Huh? Apa?
Klia melemaskan bahunya dan berusaha mengatur susunan kalimatnya agar tidak membingungkan. Sejujurnya entah mengapa ia merasakan sentakan semangat dan kegembiraan begitu mengetahui ada beberapa orang lagi, beberapa orang seperti dirinya dan Leo, di dunia ini.
Berdasar yang sesaat lalu kau ketahui, pastinya beberapa teman itu ada berapa orang?
Apa maksudmu adalah jumlahnya?
Klia mengangguk antusias.
Err mungkin sekitar… 10? 15? 20?
Aish, kau seperti sedang belajar menghitung saja. Lebih baik kita berjalan-jalan sekarang. Ayo!
Leo tergeragap saat Klia mendadak menarik pergelangan tangannya dan memaksanya berdiri.
Hei, wow wow, take it easy girl. Kita harus merapikan piring-piring dan gelas-gelas ini dulu. Kau tentu tidak mau kalau rumah ini dipenuhi semut kan?
Tentu saja tidak! Kalau begitu kau rapikan semua ini sementara aku merapikan diri. Bye!
Hah? Apa? Hei, bukan itu maksudku!
Klia hanya melambaikan tangan kanannya tanpa membalikkan badan dan terus berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Leo yang untuk kedua kalinya merutuki sikap Klia padanya.
Oke, tenang Leo, tenang. Sudah bagus dia tidak benar-benar melakukan ancamannya tadi. Aish, benar-benar seenaknya.
“Hai”
“Eri? Sedang apa kau di sini?”
Laki-laki di sampingku langsung bersikap defensif begitu menyadari kehadiran seseorang yang cukup kami kenal. Luar dan dalam.
“Bertemu denganmu. Apa itu salah?”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Eri langsung mendudukkan dirinya di tengah-tengah kami. Secara kasat mata ia telah memisahkan kami, namun sesungguhnya tidak sesederhana itu. Sudah lama kuketahui kalau ia berniat menjauhkanku darinya.
“Eri, please…”
Eri tidak mengindahkan permintaan itu sama sekali. Ia justru semakin mendekatkan diri dan telak menjauhkanku darinya. Segera kugigit bibir bawahku, menahannya agar tidak mengeluarkan makian atau apapun kalimat menyakitkan lainnya. Kedua tanganku perlahan mengepal yang cepat-cepat kusembunyikan dalam lipatan rok yang kukenakan.
“Aku kangen padamu. Apa kamu tidak kangen padaku?”
“Eri…”
Ia jelas kesulitan mengendalikan Eri yang semakin intens mendekatinya. Bola matanya bergerak-gerak panik seolah meminta pertolonganku. Sayangnya aku merasa tidak berhak sama sekali untuk menolongnya. Aku memaksa tersenyum setulus yang kumampu.
“Maaf, sebaiknya aku pergi saja.”
Ini Padma, Eri Padmarini. Tapi dia lebih senang jika kau memanggilnya Padma.
Segera begitu Leo selesai merapikan meja makan dan dirinya, begitupun dengan Klia, kedua ciptaan berbeda kelamin itu bergegas keluar rumah dan mengunjungi beberapa teman yang dijanjikan Leo sebelumnya.
Hai, aku Klia.
Dan dia…
Leo
Klia menaikkan salah satu alisnya. Senyumnya tetap terulas meski kini tidak selebar sebelumnya.
Kalian sudah saling mengenal?
Ya, baru saja.
Leo mengedikkan bahunya dan menatap Klia, membungkam gadis itu untuk bertanya lebih lanjut atas jawabannya yang selalu di luar nalar –menurut Klia.
Oh, oke, I see.
Temani aku bermain, please.
Klia menjatuhkan rahang bawahnya begitu melihat adegan yang terpampang di hadapannya. Dengan berani, Padma, teman yang baru dikenalnya, mengaitkan tangan kanannya ke tangan kiri Leo dan bertingkah manja kepada penjaganya itu.
Baiklah. Kau mau bermain apa?
Leo bersikap santai menyikapi tingkah Padma, sukses menambah beberapa milidetik terbukanya rahang bawah Klia.
Kalian…?
Padma menolehkan kepalanya dan baru menyadari kalau ia melupakan informasi penting tentang perannya yang belum diketahui teman barunya, teman perempuan barunya. Klia.
Ah iya, maaf aku lupa mengatakannya. Kau pasti sudah tahu kalau kita mempunyai peran masing-masing kan? Kau sebagai yang dijaga, Leo sebagai penjagamu, dan aku… yah, bagaimana mengatakannya ya? Aku adalah pendamping Leo. Hmm, pasangan? Tidak tidak, itu tidak sepenuhnya tepat. Apa ya istilahnya?
Leo mendengus kesal mendengar penjelasan berbelit dari Padma. Tanpa aba-aba, laki-laki itu menggeser posisinya ke samping Padma dan menggenggam kelima jemari tangan kanan perempuannya.
Ia kekasihku. Padma adalah kekasihku.
Klia mendadak limbung. Arah matanya bergantian menatap Leo dan Padma dengan cepat. Perlahan ia melangkah mundur dari keduanya.
Ba… bagaimana… bisa? Bagaimana... Bagaimana bisa kau adalah kekasihnya sementara… sementara ia tinggal… bersamaku? Bagaimana… bagaimana bisa ia harus menjagaku dengan adanya kau sebagai… kekasihnya?
Pandangan Leo dan Padma berubah sendu. Selama beberapa saat semilir angin mengisi keheningan di antara ketiganya.
Inilah hukum yang berlaku dalam penciptaan kita, Klia. Masih ada beberapa peraturan lain yang tidak kalah tak masuk akalnya, tetapi kita tetap harus mematuhinya. Apapun dampaknya.
Untuk sesaat Klia tidak mengucapkan apapun untuk mempertanyakan ucapan Leo tentang aturan di dunia mereka seperti sebelum-sebelumnya. Sepasang matanya tetap terarah pada dua manusia di depannya dengan berbagai biasan emosi di dalamnya.
Baiklah, aku mengerti.
“Aku dan Eri berpacaran.”
Aku menoleh cepat ke arah sumber suara itu. Sumber suara yang menyampaikan pernyataan menyakitkan. Menyakitkan bagiku, namun entah bagaimana dengan dirinya.
“Apa? Kau sedang tidak bercanda kan? Oh ayolah, itu tidak lucu sama sekali.”
Laki-laki yang menjadi sumber suara itu tersenyum tipis padaku. Ia segera mendudukkan dirinya di sampingku dan menumpukan tangan kanannya di atas tangan kiriku, gestur klasiknya untuk menahanku beranjak darinya.
“Aku serius. Kami mulai berpacaran seminggu yang lalu.”
Aku lekas menutup mata. Membantah keras-keras dalam hati atas pernyataannya itu. Sejurus dapat kurasakan seluruh badanku menegang sebagai keselarasan reaksi penolakanku itu.
“Kenapa?”
Laki-laki itu kembali mengulas senyum. Aku ingin memandangnya sebagai senyuman getir dan pahit yang biasa tercipta saat ia terpaksa menyetujui suatu hal yang tidak disukainya. Ya, aku ingin melihatnya seperti itu. Masa bodoh dengan faktanya.
“Karena dia menyayangiku. Karena dia menginginkanku.”
Mau tak mau aku ternganga mendengar alasannya. Alasan konyol. Sangat konyol.
“Oh. Selamat ya, semoga hubungan kalian langgeng.”
Leo, ayo kita bermain itu! Ayo cepat!
Padma mulai menarik Leo kesana-kemari sesukanya. Harus Klia akui kalau perempuan itu, kekasih Leo, terlihat lebih hidup dibanding dirinya. Lebih ceria. Lebih bersemangat. Lebih lincah. Lebih menyenangkan. Lebih responsif. Lebih dari Klia seutuhnya.
Klia, kau tidak mau ikut bermain bersama kami?
Dan sekarang lihatlah, Padma masih saja bisa mengajaknya untuk bergabung bersama mereka tanpa merasa segan karena kekasihnya harus menjaga dirinya. Semudah itu Padma menerima peran dan aturan main dunia yang tidak dikehendaki Klia ini.
Tidak. Aku mau duduk-duduk saja. Kalian saja yang bermain. Pergilah.
Padma memajukan mulutnya, memberengut lucu pada Klia. Ia sebenarnya ingin mengenal Klia lebih jauh, tetapi ia juga tidak mau memaksa teman barunya itu merasa tidak nyaman akan penciptaannya. Ia kemudian mengangkat bahu dan kembali tersenyum.
Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku ini penjagamu. Bagaimana mungkin aku bisa bermain dan membiarkanmu sendiri di sini?
Leo mendadak berdiri di samping Klia membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget.
Apa-apaan kau? Kekasihmu mengajakmu bermain dan kau malah lebih memilih menjagaku? Benar-benar laki-laki tidak tahu diri. Sudah sana, bermainlah bersama kekasihmu. Aku akan baik-baik saja di sini.
Bukannya menghampiri Padma, lelaki itu malah mendudukkan diri di samping Klia. Kontan Klia membelalak kesal dan memukuli lengan penjaganya itu.
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah sana temani Padma. Aku akan baik-baik saja.
Leo melengos malas dan memutar wajahnya menghadap Klia.
Benarkah? Benarkah kau akan baik-baik saja?
Ya, tentu saja!
Baiklah, baiklah. Aku akan menuruti maumu. Aku akan bermain dengan Padma. Tetapi ingat, jangan pernah menyesali perintahmu kepadaku karena aku tidak akan bisa menolak.
Klia mendengus dan membuang mukanya.
Baguslah.
Dan kau juga tidak bisa menarik perintahmu kembali. Selamanya. Berhati-hatilah.
Klia langsung menegang. Ia masih bertahan pada posisinya sampai dirasakannya semilir angin langsung menabrak lembut badannya. Gadis itu menoleh ke samping dan mendapati Leo telah pergi. Meninggalkannya sendiri. Untuk bersama Padma.
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)