Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

March 8, 2014

Say Hello to the World

Achlys Alienor. Chlya. Chlia. Clia. Or just Klia.


Sosok itu membuka kedua matanya. Mengerjap perlahan. Mengernyit, memicing, lalu membuka sempurna.

Aneh. Sensasi apa ini? Apakah aku sedang menaiki komedi putar anak-anak?

Klia mengerang pelan sambil memegangi kepalanya. Ia tersentak saat melakukannya.

Apa ini yang kusentuh? Mungkinkah ini… dan hei! Aku mempunyai tangan! Aku mempunyai tangan dengan lima jari sempurna!

Klia melihat kedua tangannya dengan mata berbinar. Menelisiknya sambil meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya saat ini adalah nyata.

Kalau ini tanganku, mungkinkah yang kusentuh tadi adalah… kepala? Kepala? Mungkinkah?

Klia segera beranjak dari tidurnya dan mencari keberadaan suatu benda yang diingatnya mampu menciptakan bayangan dengan bantuan pantulan cahaya.

Dimana benda itu? Ah, sial, apa nama benda itu?
Cermin.

Ah ya, benar! Cermin. Dimana ada cermin? Dimana cer… ah, itu dia!

Klia bergegas menuju sebuah cermin bundar besar yang terpasang di salah satu sudut ruangan. Cermin dengan ukiran – ukiran rumit kayu jati di sekelilingnya itu terkesan antik. Dan cantik. Klia berhenti dan berdiri menghadap cermin antik nan cantik itu. Menelusuri pantulan sosoknya dari bawah ke atas.

Astaga! Ya Tuhan! Aku manusia!

Sudah setengah jam Klia mematut diri di depan cermin sambil tak henti-hentinya mengagumi satu per satu bagian tubuhnya. Berulang kali ia mendesah dan memekik riang mendapati bagian-bagian tubuh yang telah lama diimpikannya.

Tunggu, sepertinya ada yang kurang. Apa ya?

Klia memutar tubuh manusianya entah untuk yang keberapa kali dan mencari bagian mana yang menurutnya hilang. Atau lebih tepatnya bagian yang tidak ia miliki.

Sepertinya semua ada. Semuanya lengkap, tetapi kenapa aku merasa masih ada yang kurang?

Suara.

Ah, benar juga, aku tidak memiliki suara. Aku tidak mengeluarkan suara. Aku tidak bersuara. Jadi… aku adalah manusia… bisu?

Klia menatap pantulan sosoknya yang semula amat ia kagumi. Kini menurutnya sia-sia saja. Ia memang menyenangi bentuk manusianya, namun menjadi manusia bisu? Itu bukan kemauannya. Sama sekali bukan.

Apakah aku telah meminta terlalu banyak? Apakah menjadi manusia merupakan keinginan yang terlalu muluk sampai-sampai Tuhan tidak memberiku suara? Apakah ini hukuman dariNya?

Klia terduduk lemas di hadapan pantulan sosoknya. Wajahnya yang semula berbinar kini berubah sayu sendu. Meratapi takdir yang tidak juga berpihak padanya, bahkan setelah keajaiban yang diterimanya.

Hei!

Klia tersentak. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mencari asal suara yang diyakininya bukan keluar dari mulutnya.

Aku di sini.

Sebuah tepukan mendarat lembut di bahu kirinya, memaksa Klia untuk memfokuskan pandangan pada sosok yang mendadak nyata dan berjongkok di sampingnya. Keningnya mengernyit, berusaha mengingat apakah ia mengenali siapa sosok tersebut.

Namaku Leonidas.

Sosok itu menurunkan tangannya dari bahu Klia dan menggantung di hadapan sosok wanita yang masih terlihat kebingungan atas keberadaannya.

Aku…


Selamat datang, Klia.

Klia lagi-lagi tersentak dan menarik tangan yang diangsurkannya, mulanya bermaksud membalas jabat tangan perkenalan sosok laki-laki yang mendadak hadir itu.

Kau… bagaimana kau tahu namaku?

Sosok laki-laki itu tersenyum, ikut menarik tangannya yang tidak disambut dengan baik oleh pendatang baru di dunianya.

Entahlah. Mendadak nama itu melintas begitu saja di kepalaku.

Klia menyipitkan matanya, pertanda ia tidak begitu saja memercayai jawaban Leonidas.

Terlalu mustahil, huh?

Leonidas mengungkapkan keraguan Klia dengan gamblang. Klia masih bergeming.

Sudahlah, kau tidak perlu takut padaku. Aku tidak bermaksud buruk padamu. Aku hanya merasa perlu untuk berada di dekatmu, bersamamu.

Klia menaikkan kedua alisnya. Terlalu terkejut dengan pernyataan Leonidas yang menurutnya tidak masuk akal untuk pertemuan pertama seperti ini.

Apa maksudmu? Kita baru saja kenal, ah tidak, tidak, lebih tepatnya aku yang baru saja mengenalmu. Tetapi apa tadi yang kau katakan? Kau perlu ada di dekatku? Bersamaku? Hal gila macam apa itu!

Klia meradang. Tangannya terkepal. Wajahnya memerah. Deru nafasnya mulai tidak beraturan. Di hari keinginannya dikabulkan, di hari ia mendapati kekurangan yang mengecewakannya, di hari itu pula ia berkenalan dengan laki-laki yang menurutnya telah hilang kewarasan.

Bukankah sudah kunyatakan kalau kau tidak perlu takut padaku? Aku perlu ada di dekatmu dan bersamamu karena… mulai saat ini aku adalah penjagamu.

Klia tersenyum sinis mendengar pengakuan Leonidas.

Penjagaku? Hahaha. Memangnya aku anak kecil yang masih memerlukan penjagaan? Kau semakin aneh saja. Aku tidak mau ada di dekatmu! Aku takut! Kau aneh! Pergi!

Kali ini Leonidas yang bergeming. Laki-laki itu tetap berdiri di hadapan Klia tanpa beranjak sedikit pun dari posisinya.

Kubilang pergi! Apa kau tuli, huh? Pergi!

Leonidas tersenyum meremehkan mendengar perintah Klia.

‘Kubilang’? Memangnya kau bisa bersuara?Di sini kau yang aneh, Klia.

Klia berusaha membantah dan hampir membuka mulutnya sampai ia menyadari suatu hal yang dilupakannya sedari tadi.

Kau… kau benar. Aku, maksudku kita, tidak… bersuara. Tapi, tapi bagaimana… bagaimana mungkin? Bukankah dari tadi kita… saling mengerti?

Leonidas hanya mengangkat bahu. Tangan kanannya terangkat dan mengusap pelan dagunya sambil mengerutkan kening, berusaha memikirkan kemungkinan jawaban atas pertanyaan Klia.

Umm, telepati?

Klia menelengkan kepala. Mulutnya sedikit terbuka. Lagi-lagi menatap tidak percaya pada jawaban Leonidas. Ia terdiam sejenak, berusaha mencerna semua peristiwa tidak masuk akal yang baru saja dialaminya. Hingga terdengar hembusan napas berat yang keluar dari mulutnya.

Kau tahu namaku, kau mengaku sebagai penjagaku, dan sekarang kita mampu bertelepati satu sama lain sebagai ganti kemampuan bicara yang tidak kita miliki? Sebenarnya kita ada dimana? Manusia macam apa kita ini?

Leonidas tersenyum. Kali ini senyumannya terlihat tulus dan menenangkan bagi Klia, sebagaimana yang seharusnya dirasakan seseorang atas keberadaan penjaganya.

Just say hello to the world, Klia! I’m pretty sure you’ll get the answer. Soon.



0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.