Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

June 22, 2014

Tentang Perputaran

Menurut cerita, what goes around comes back around.

Seharusnya aku percaya ungkapan tersebut sejak awal, sejak aku bisa berpikir dengan kepala aku sendiri.

**

Akhir-akhir ini pikiranku terusik. Banyak hal yang masuk ke kepala, sedangkan aku selalu menolak semua itu. Semakin aku menolak, semakin aku terpikir karena hal tersebut.

Sudah tidak asing ketika seorang wanita mendekatiku. Mereka bilang aku misterius. Ketika mereka bilang seperti itu, aku selalu tertawa ketus, sambil meninggalkan mereka dengan 'kekagumannya'. Kebanyakan alasan yang aku tau kenapa mereka mendekatiku karena aku memiliki muka cina. Muka cina ini sedang marak berseliweran di internet karena segala sesuatu yang berasal dari korea. Katanya dramanya bagus, kata Doko. Dia memberikanku beberapa keping DVD dengan judul yang berbeda. Pada akhirnya aku entah menyimpan dimana kepingan-kepingan tersebut dan ketika ditanya, aku selalu menghindar. Doko selalu menceramahiku kalau aku tidak melakukan hal-hal yang dia sukai.

Muka cina.

Se-spesial itu kah? Bahkan aku ingin melakukan operasi plastik agar terlihat lebih pribumi. Namun, setelah ku pikirkan, aku tidak akan beda jauh dengan orang-orang cina lain, suka operasi plastik. Mengubah bentuk wajah. Mengubah penampilan wajah. Mengubah hoki, katanya.

Suatu hari, datang lah dia. Dia yang dalam beberapa bulan terakhir mendekat. Aku selalu menjauh, tapi dia selalu mendekat. Dia selalu menyapaku, cih, basa-basi, pikirku. Dia berperawakan tinggi, kulit putih pucat. Dia bukan cina, tapi kulitnya putih seperti tidak pernah bermain di bawah matahari sejak kecil. Kulit mukanya memerah setiap dia menyapaku, yang aku tau kulitnya tidak pernah semerah itu ketika aku perhatikan dari jauh. Ah, kenapa aku jadi memperhatikan dia?

"Hey, Prim. Sendiri aja lo? Mana soulmate lo, si Handoko?".

Aku pikir, itu adalah pertanyaan yang paling retoris yang pernah aku dengar seumur hidupku.

"Hebat ya, lo bisa betah sama dia. Bawelnya kan minta ampun. Duh!", sambil berbicara, dia duduk di bangku di depanku tanpa persetujuan siapapun. Dia memandangku. Aku bisa melihat matanya dengan jelas. Pupilnya sedikit demi sedikit membesar di antara warna coklat tidak terlalu tua yang ada di sekitarnya. Aku bisa melihatnya karena matanya tidak se-coklat gelap mataku dan orang lain, yang biasa ada di lingkungan kami.

Kami...

Sejak kapan pembicaraan ini menjadi kami?

"Eh, kita belum pernah ngabisin waktu bareng nih. Next weekend, jalan yuk? What do you think?"

Aku hampir tersedak air mineral yang sedang ku minum. Dia langsung mengambil tissue untuk mengelap air yang berlumuran di muka dan bajuku. Kemudian dia sadar, untuk apa mengelap air di bajuku. Seketika dia memberikan tissue itu kepadaku. Aku menerimanya. Kami diam.

Aku tidak pernah merasakan perasaan hangat seperti ini. Rasa hangat ini bukan dari panas matahari, aku yakin. Apakah dia merasakan kehangatan ini?

June 9, 2014

The Other(s)

 

Sepasang kelopak itu bergetar pelan. Sepersekian detik berikutnya terangkat perlahan. Sampai akhirnya terbuka sempurna.

Ah, dimana ini? Kenapa tempat ini terasa fa.. Ah, betul juga! Sekarang aku pasti ada di rumah. 
Klia menutup kembali kelopak matanya dan menggeliat. Mulutnya sedikit terbuka -berusaha menyuarakan erangan pelan- tanpa ada suara yang terdengar. Setelah puas menggeliat dan membuat kusut seprai tempat tidurnya, Klia kembali membuka mata dan menemukan sepasang manik hitam menatapnya dalam jarak kurang dari satu meter. 

Ya Tuhan! Leo! Kau… kau mau membuatku terkena serangan jantung, huh? 
Klia mengomel pada sosok laki-laki yang mendadak muncul di hadapannya. Gadis itu segera menegakkan punggung dan menggeser tubuhnya, berusaha menambah jarak di antara mereka. 

Hahaha, ekspresimu lucu sekali Klia! 
Leo tergelak dan langsung menarik badannya ke belakang, kembali pada posisinya semula yang berdiri tegak di samping ranjang Klia. Klia hanya memberengut dan memajukan bibirnya. 

Hei hei, jangan cemberut seperti itu. Maaf deh. Awalnya aku hanya ingin membangunkanmu dan mengajak sarapan, tetapi melihatmu sedang menggeliat seperti kucing membuatku ingin sedikit mengejutkanmu. Hanya sedikit kok. Sedikiit. 
Klia masih memberengut. Kali ini kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua matanya menyipit menatap Leo yang kelabakan membujuknya. 

Oke oke, aku salah. Maafkan aku. Kau pasti mau memaafkan laki-laki tampan nan baik hati sepertiku kan? 
Sebuah bantal mendadak melayang dan menghantam wajah Leo. 

Rasakan! Huh. 
Klia menyeringai puas dan beranjak bangun dari ranjangnya, meninggalkan Leo yang tengah berkomat-kamit tanpa suara setelah mendapat lemparan selamat pagi darinya.  

Leo! 
Laki-laki yang dipanggil itu bergegas keluar dari kamar setelah selesai mengeluarkan rutukan untuk Klia, gadis yang baru saja memanggilnya sekaligus yang melemparnya dengan sebuah bantal tanpa mengucapkan permintaan maaf setelahnya. 

Ya? 
Klia berbalik menghadap Leo dan menampilkan ekspresi polos di wajahnya. 

Mana sarapannya? Kau masuk ke kamarku untuk mengajak sarapan kan? Tapi mana makanannya? 
Leo mendengus begitu mendengar pertanyaan Klia. 

Aku mengajakmu sarapan bukan berarti aku sudah menyiapkan sarapannya. Justru aku membangunkanmu untuk membuatkan sarapan. Bukankah tugas perempuan sepertimu adalah memasak? 
Kali ini Leo yang menampilkan ekspresi polos di wajahnya. Ekspresi berbeda membias di wajah Klia. Gadis itu melebarkan pupil mata dan setengah membuka mulutnya mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka dari lawan bicaranya. Lebih tepatnya dari seseorang dengan status sebagai penjaganya. 

Apa? Kau memintaku memasak? Kupikir kau adalah penjagaku dan… 

June 6, 2014

Abadi Sejauh Ini



Sekali lagi ini tentang cerita cinta. Yang biasanya hanya di reka dalam otak semata. Ia seringkali diam disana, karena tiada pernah berani keluar dari gua. Menanti dan menanti sampai saat ia tiba-tiba memegang kendali. Karena akhirnya ia sadar, dunia terlalu singkat untuk berkata nanti. Hingga sadar ia tidak akan kuat kehilangan lagi.

Ruangan kelas itu berisi satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya duduk saling berhadapan. Si laki-laki duduk dengan badan sedikit condong kedepan. Matanya tegas namun memperlihatkan perhatian. Tangannya bertemu di ataskakinya yang terbuka, saling berpegangan. Kemudian si perempuan, ia sedang berkata-kata  dengan amat serius. Matanya basah dan pipinya tirus. Rambutnya sedikit berantakan tapi jelas sempurna terurus. Membuat anak Adam yang melihatnya memperhatikan terus menerus. Hidungnya basah, jelas sekali minta untuk dihapus. Ia sedang berkeluh kesah dengan sahabatnya, Farrus.

“Saya bingung sekali, Far. Sepertinya rumah saya bukan lagi tempat yang tepat untuk menjadi sandaran saya dan adik-adik. Tidak sehat rasanya melihat pasangan orangtua itu berteriak satusama lain. Dan saya malu, malu sekali karena hanya bisa menangis. Bahkan adik saya bisa lebih tabah. Pagi tadi ia yang mengiring saya untuk masuk ke dalam mobil. Melupakan mereka yang saling caci hanya karena sayur yang basi. Saya harus berbuat apa?”

Farrus memandang Luna.Tidaklah aneh untuknya mendengar sedu sedan wanita. Khususnya wanita dihadapannya. Sahabat yang sesungguhnya baru dikenal dua tahun lamanya. Bahkan hingga sekarang ketika mereka tidak  lagi sekelas bersama.

“Tidak ada yang salah dengan kamu, Luna. Wajar untuk menangis. Gue pribadi tidak akan tahu bagaimana rasanya jikaada di posisimu. Tuhan tahu benar kapasitasmu. We just need to encountering it. Semua kejadian jelas ada tujuannya.”

“Itulah. Saya sepertinya terlalu bodoh untuk membaca situasi. Bahkan untuk kejadian ini. Saya tidak tahu dan tidak dapat memahami apa arti di balik semua ini.”, Luna menyeka hidungnya dengan tissue yang diberi Farrus.
  
Hey, theres always be ups and downs. Ayo Luna optimis. Berprasangka baik dengan Tuhan! Ia selalu serupa bayangan kita. Ingat?”,Farrus menjawil hidung merah Luna playfully. Luna tersenyum lebar seketika.

KRIIIIIIIIIIIIING!

And theres always be a ding dang dongsss between it! Terimakasih sekali Farrus! Saya tidak tahu bagaiman…”

shooshooo shoo! Drama dasar..sudah ya cengeng, gue masuk dulu! Jangan nangis lagi suara sudah kayak lady rocker begitu!”,lalu suara geser kursi mengakhiri pembicaraan dua insan tersebut selama sesaat. Selalu begini setiap saatnya. Dua insan yang terjebak dalam istilah sahabat. Istilah sahabat.

Farrus dan Luna saling suka. Semua tahu betul demikian adanya. Semua kecuali mereka berdua. Mereka yang terlalu lama bertahan di zona aman mereka. Muda mudi yang merasa selalu ada untuk lawan mainnya. Selamanya. Selamanya yang sayangnya sulit untuk bisa dikecap manusia di dunia fana.

***

Bagi Luna, Farrus adalah dahan yang selalu siap untuk mengajaknya melihat pemandangan di atas sana. Ia tempat berpijak, bergantung sekaligus berteduh dalam waktu yang ia harap bisa selama-lamanya. Farrus serupa abang lelaki yang jika Tuhan tidak sempurna, pasti lupa untuk diberi kepadanya. Mereka bisa saling berbicara mengenai apapun sampai semalaman. Apapun. Seolah mereka tidak mengenal batasan. Dari mulai pelajaran, keluarga hingga isi hati.Ya, mereka terbiasa bertukar isi hati. Isi hati yang well, sepertinya memang belum terlalu dalam. Buktinya mereka masih saling menyebutkan nama lawan jenis yang menarik ke satu sama lain. Bukannya saling bertukar kalimat mesra atas nama pribadi.  Tetapi pokoknya mereka saling berbagi selalu. Segalanya sampai terkadang saling menyimpan pilu. Siapa diantara kalian yang sanggup menahan haru ketika orang terkasihmu dirundung pilu? Singkat kata, bagi Luna, Farrus segalanya!

“Farrus, pulang nanti mau temani saya? Saya mau ke ak.sa.ra. Saya habis bahan bacaan.”

“Gamau!”

“Koook?”

“Kamu itu kalau sudah membaca lupa sekitar. Ogah gue dikacangin selama kamu baca!”

“Hahaha, Saya kira kenapa. Ayolah, lagian sudah lama kita tidak pulang bersama. Ya yaya?”

Aaaah, Luna..whats with the eyes? That voice I cudnt resist..that….

“Okaaaay Okaay. Tapi beliin gue Dessert Platter di Koi ya! Dan ga boleh minta kamunya!”

“Farruuuus! Kamu bisa mati diabetes, you sugartooth!”, Luna mengacak pelan rambut lurus Farrus yang sudah mulai rimbun.

Kemudian tawa mereka lagi-lagi terpisah.

KRRRRRRIIIIING!

“Hhaha, see ya Na! Ketemu di parkiranya!”

Na. Cuma dia yang memanggil Saya Na. Ahh, Farrus.seandainya…

Malam itu mereka menghabiskan waktu tertawa sampai gila di KOI. Sepiring hidangan manis itu tentu jadi santapan berdua. Walau tentunya, dimonopoli oleh si lelaki karena setelah suap pertama profiteroles Luna dengan rakus mencabik bungkus bukunya lalu mulai membaca. Walaupun diam-diam ia melirik ke bayi besar di hadapannya. Luna akan selalu mengingat Farrus sebagai pribadi yang hangat seperti ini. Lelaki yang nyaman dengan dirinya apa adanya. Yang ketika ribuan lelaki adu jantan lewat pahitnya kopi, ia malah duduk nyaman di sini dengan sepiring gula-gula aneka ragam dan rasa. Memakannya sampai habis tidak bersisa seperti anak kecil yang girang menemukan eskrim di tengah oase masa kecilnya.

Tuhan tolong hentikan waktu barang sejenak atas surga di hadap Saya ini.

“Makan kayak bayiiii! Krimnya sampai pipi kamu Far.”, Luna menyeka pipi Farrus dengan tissue.

“Biarin ah, ga ada yang liat juga. Kamu kan sibuk baca!”

“Idiiih gombalnya ga kira-kira. Kalau saya Clara atau Danti sudah pasti saya jatuh di pelukanmu semudah ini!”, Luna menjentikan jarinya sambil tertawa. Lalu kembali serius dengan bukunya.

Bagi Farrus, Luna adalah telur dalam sangkar yang bertengger di dahan kehidupannya. Yang amat rapuh dan butuh penjagaan ekstra terhadapnya. Butuh perawatan yang tidak main-main untuk menjaganya tetap utuh dan tidak pecah. Untuk kemudian seiring berjalannya waktu tumbuh dan siap untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Akan tetapi selalu pulang kesangkarnya. Kedahannya. Kedalam dekapnya. Farrus tahu benar bagaimana Luna. Ia tahu wanita rapuh di hadapannya ini sesungguhnya adalah wanita super. Bagaimana tidak? Siapa yang betah tinggal di rumah yang tiap harinya ramai dengan teriakan kasar dan saling hina. Padahal setahu dia, adik-adik Luna masih kecil usianya. Pernah sekali ketika darmawisata sekolah, Luna yang duduk di bis bersamanya mengigau ketika tidur malam. Ia menangis. Tuhan, bahkan dalam mimpinya pun ia masih harus memikul berat. I wish I could handle all of her pain. I wish I could be her own knight. Gila gue gila!

Andai saja waktu bisa berhenti berdetak di detik ini, Tuhan. Saya siap membunuhnya dengan apapun..

Kemudian sunyi. Masing-masing dari mereka berdialog di dalam hati.

“Cuma lelaki ini”
“perempuan se menakjubkan ini.”
“dahan berteduh saya..”
“..di dalam dekap gue”
“satu-satunya..”
“hanya dia..”
“saya cinta lelaki ini”
“perempuan luarbiasa ini.”
“bagaimana ini?”
“harus bagaimana?”

Bahkan buku yang sedang dilahap Luna dan sepiring manis-manisan yang di santap Farrus tidak bisa mengalihkan isi pikiran mereka yang sedang bertarung ini. Sampai kapan mereka seperti ini? Lama terdiam sambil berpura berkegiatan seperti tadi. Sepertinya mata mereka mulai merasa bosan. Mereka mulai saling merindukan. Maka dalam sedetik mereka beradu mata.

“Senyum saja, Luna!”
“Ahhh that smile.”
“Begini lebih baik”
“Lebih baik seperti ini”

Kemudian dialog antar hati berhenti. Ia terlalu takut merusak suasana di antara mereka lagi. Ia tidak mau menghancurkan kenangan malam ini. Lebih-lebih jika harus berakhir dengan saling caci seperti yang mereka dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Baiknya mungkin seperti ini. Abadi. Selamanya yang entah kapan akan bertahan seperti ini. Ya, seperti sejauh ini.















Ada yang bilang sepasang muda mudi mustahil bersahabat tanpa melibatkan hati.

Wisma Dara 8A, tiga bulan sebelum ulang tahun Tuan 2012

Annisa Ninggorkasih

Air Mata

Terkadang saya berpikir bahwa bayi yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya. Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari perkosaan sungguhan.

***

Kami menangis karena kami dipaksa meninggalkan gua pribadi kami. Kami menangis karena bahkan ketika kami belum mengerti patah dua patah kata, kami dipaksa untuk memahami. Kami diminta untuk memenuhi doa ibu bapak kami.

“semoga kamu menjadi gadis yang baik.”
“anak laki-laki jagoan ayah!”
“daddy’s little girl”
“teman ayah bermain bola!”

Kami menangis karena pada akhirnya kami memilih untuk menjadi gadis yang sepertinya tidak terlalu baik untuk mereka. Bibir kami menyulut rokok. Kami lebih memilih memakai rok mini ketimbang celana atau rok panjang, dan sebelum pukul dua kami belum mau pulang.
Kami menangis karena kami lebih memilih memakai rok ketimbang jas. Kami lebih memilih mengikuti ekskul dance ketimbang basket. Kami lebih memilih warna pink ketimbang biru. Kami lebih memilih mengkastrasi kelamin kami ketimbang menjadi laki-laki. Katanya, kami membuat sedih sekali lagi. Padahal airmata mengucur dari mata kami deras sekali.
Kami menangis karena memakai rok memalukan bagi kami. Kami menangis karena rambut panjang itu rasanya gerah sekali. Kami menangis ketika mereka menertawai kami. Kami yang lebih memilih mencintai sesama perempuan ketimbang mencintai kelamin lainnya, laki-laki.
Sepertinya kami mengecewakan.
Kami menangis ketika kami yang lebih suka hidup sendiri dipaksa untuk menikah. Kata mereka perempuan yang melajang mencoreng nama keluarga. Kami menangis karena ketika pada akhirnya kami menikah, suami kami lebih memilih berada diluar bersama wanita lainnya. Kami menangis karena kami yang tidak piawai berdandan masih menjadi alasan dan pemakluman para lelaki kami yang akhirnya menghabiskan waktu dengan para simpanan.
Airmata kami masih serupa pancuran.
Kami menangis ketika pekerjaan di kantor luar biasa merongrong. Ketika istri yang kami nikahi dan diharapkan mampu menyuguhkan air putih dingin lepas kami bekerja lebih memilih untuk pergi ke mall dan memborong. Kami menangis karena kelaki-lakian kami diukur oleh sprema yang mampu berenang gesit dan menghampiri sel telur istri kami yang ternyata main serong. Yang ternyata mengandung anak dari lelaki lain yang bukan kami. Kami heran sekali. Kenapa kelelakian kami berhenti hanya karena tidak bisa menghamili? Bukankah ketika lahir para dokter dan perawat mengamini jenis kelamin kami, laki-laki?
Kami menangis karena tidak mengerti.
Kami masih menangis karena kami menuntut balas. Kemana ayah ketika kami bukan lagi gadis kecil mereka? Kemana ayah ketika ibu yang sendiri menua dan akhirnya meregang nyawa? Kemana ayah ketika kami butuh pahlawan pribadi kami semua?
Saya, kami, sungguh murka!
Kami menangis karena dongeng putri yang dibacakan ibu ternyata begitu berbeda. Kami menangis karena selain naga dan nenek sihir ternyata banyak lagi yang menakutkan di hidup pada akhirnya. Kami menangis karena dunia jauh dari indah, jauh dari yang mereka janjikan pada kami dulu ketika kami masih bayi merah dan tawa kami masih menghibur mereka. Siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua?
***
Saya tertawa sesudahnya,
Saya tahu tidak akan ada sesiapa yang datang ketika kami menangis sesengukan seada-adanya.
Seperti yang sudah-sudah mereka hanya akan berlomba-lomba ketika kami mengeluarkan tawa.
Begitu seterusnya.
***


Terkadang saya berpikir bahwa bayi yang lahir menangis adalah caranya sendiri untuk menggugat kedua orangtuanya. Tidak ada satu bayipun yang meminta untuk dilahirkan. Kami semua korban perkosaan yang dilegalkan. Dan tidak sedikit dari kami yang lahir dari perkosaan sungguhan. Kami diajarkan untuk tertawa agar terlupa dengan airmata sementara. Sementara yang ternyata tidak terlalu lama. Begitulah seterusnya…










Masih di awang Gili Trawangan minggu lalu, 2014

Annisa Ninggorkasih
Illusional Fiction. Powered by Blogger.