Dia duduk di sana.
Di hadapanku.
Aku tidak memedulikan teman-teman di sampingnya. Aku hanya ingin melihat dia. Dia tertawa bersama teman-temannya. Teman-temanku juga. Aku hanya bisa memandangnya. Aku takut mengajaknya bercerita terlebih dahulu. Melihat senyumnya saja aku senang. Sesekali dia melepaskan tawanya ke sekeliling ruangan. Dia melihatku dengan tawanya itu.
"Kita main pepero game ya. Gue bawa Pocky nih."
Aku tidak ingat sudah berapa permainan yang dimainkan oleh teman-teman yang lain. Aku hanya tertawa gugup dan berdoa untuk tidak dipilih. Sesekali aku tertawa terbahak-bahak untuk menutupi ketakutanku untuk dipilih. Aku tidak sengaja melihat dia; dia pun menatapku. Kami salah tingkah: aku memburu sekeliling ruangan untuk mencari objek yang bisa aku jadikan alasan untuk dilihat; dia terlihat kembali tertawa melihat permainan yang sedang dilakukan, namun tawanya terlihat tidak se-natural sebelumnya.
"Siapa yang belum main nih? Pocky-nya tinggal 2 batang. Kita jadiin duel gimana nih, guys?"
Seketika ruangan riuh dengan teriakan dan tawaan teman yang lain. Aku terperanjat. Aku ingin memastikan apa yang aku dengar itu salah. Satu orang yang belum bermain terpilih. Dia mengajukan diri. Lalu orang tersebut menunjuk Dia untuk bertanding melawannya. Kemudian orang tersebut memilih seorang wanita yang kurus yang dari tadi berdiri di sebelahnya. Dia belum memutuskan dengan siapa Dia akan bermain.
Jantungku berdebar. Dia melihat seisi ruangan. Dia melihatku. Dan melewatiku. Dia melihat sekeliling ke arah yang berlawanan. Dia melihatku. Tapi, dia tidak melewatiku. Dia tersenyum padaku. Jantungku makin berdebar.
Secara refleks aku menggelengkan kepala dengan cepat tanda menolak. Dia tidak memaksa, kemudian dia meneruskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia mengajak seseorang yang sedang terduduk di tangga. Orang itu menolak. Dia terlihat bukan tipe orang yang memaksa kalau orang yang ditawarkannya tidak mau.
Dia dengan pasti kembali menatapku. Mengangguk kepadaku. Semua orang bersorak kepadaku untuk menerima tawarannya. Aku menggeleng semakin cepat. Aku tahu kalau mukaku mulai memerah. Jantungku berdetak semakin kencang. Tanganku mulai mengeluarkan keringat. Kali ini dia tidak mengalihkan pandangannya. Dia mengangguk kepadaku.
Aku takut.
Matanya.
Matanya membuatku pipiku semakin panas. Matanya memaksaku untuk untuk menggeleng semakin kencang.
Tiba-tiba secara sepihak dia sudah berada di depanku, menarikku untuk berdiri. Aku bisa melihat dia merasa tidak nyaman karena aku tidak nyaman. Ekspresinya mengkhawatirkanku. Kenapa aku? Tapi, akupun berdiri tanpa perlawanan.
Dia menerima satu batang Pocky. Mataku membelalak melihat dia sudah memegang benda tersebut. Kepalaku panas.
"Kamu mau yang diam atau yang memakan bagian coklatnya?"
Aku terperanjat. Tidak pernah menyangka dia akan mulai berbicara.
Aku tidak tahu.
Tiba-tiba tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menyimpan batang yang tidak bercoklat di antara bibirnya. Itu artinya, aku yang harus memakan bagian coklatnya. Mataku membuka lebih lebar dari sebelumnya, aku dapat merasakannya. Dia memegang pundakku, entah buat apa. Mungkin untuk menenangkanku.
"Oke, siap-siap ya!"
Aku semakin panik. Melihat ke arah suara itu muncul memberikan isyarat kalau aku belum siap
"Hitungan ketiga. Satu..."
Aku panik. Aku dengan cepat memandang Dia.
"Dua..."
Matanya teduh dan memberikan tanda kalau aku akan aman di dalamnya.
"Tiga!"
Secara refleks aku mulai menggigit ujung benda tersebut. Sedikit demi sedikit. Entah apa yang muncul, namun, aku merasa nyaman. Muka kami semakin mendekat. Tanpa pikir panjang aku mulai memenghabiskan benda tersebut hingga dengan sendirinya aku mulai memiringkan kepalaku. Entah apa yang aku pikirkan. Aku tidak merasakan apa-apa.
Aku dapat mendengar orang-orang di sekitar mulai berteriak dan memberikan semangat untuk lawanku, dan juga aku dan Dia.
Aku mulai dapat melihat wajahnya dengan detail.
Warna kulitnya putih bersih, namun tidak pucat.
Matanya tidak terlalu besar. Aku tidak bisa melihat pupilnya, karena berwarna gelap pekat.
Hidungnya.
Dia mulai memiringkan kepalanya juga.
Tiba-tiba aku bisa merasakan detak jantungku lagi. Kepalaku mulai memanas lagi. Tanganku mulai berkeringat lagi. Aku harus mengakhiri semua ini secepat mungkin. Aku menutup mataku. Aku mulai dapat merakan panas dirinya di depan wajahku. Aku mengangkat bibirku dan membiarkan benda tersebut berada di antara gigiku. Benda tersebut belum patah di luar sehingga kami belum kalah. Aku kembali menggigit dan maju. Ketika aku mulai merasakan bibir kami bersentuhan, aku menggigitnya. Dia pun menggigitnya. Semua orang ramai berteriak. Benda tersebut menjadi sebuah batangan kecil. Dia memberikan sisa benda tersebut ke salah satu 'panitia'.
0.6 cm.
Dia tersenyum padaku.
Kami menang dalam permainan itu, kata seorang wanita berambut pendek yang sedari tadi suaranya paling keras di antara yang lain.
Aku terkejut.
Dia memelukku.
Melepakan pelukannya.
Dia tersenyum dan kembali duduk ke tempatnya.
Aku masih berdiri di tempat yang sama dia memelukku.
Di hadapanku.
Aku tidak memedulikan teman-teman di sampingnya. Aku hanya ingin melihat dia. Dia tertawa bersama teman-temannya. Teman-temanku juga. Aku hanya bisa memandangnya. Aku takut mengajaknya bercerita terlebih dahulu. Melihat senyumnya saja aku senang. Sesekali dia melepaskan tawanya ke sekeliling ruangan. Dia melihatku dengan tawanya itu.
"Kita main pepero game ya. Gue bawa Pocky nih."
Aku tidak ingat sudah berapa permainan yang dimainkan oleh teman-teman yang lain. Aku hanya tertawa gugup dan berdoa untuk tidak dipilih. Sesekali aku tertawa terbahak-bahak untuk menutupi ketakutanku untuk dipilih. Aku tidak sengaja melihat dia; dia pun menatapku. Kami salah tingkah: aku memburu sekeliling ruangan untuk mencari objek yang bisa aku jadikan alasan untuk dilihat; dia terlihat kembali tertawa melihat permainan yang sedang dilakukan, namun tawanya terlihat tidak se-natural sebelumnya.
"Siapa yang belum main nih? Pocky-nya tinggal 2 batang. Kita jadiin duel gimana nih, guys?"
Seketika ruangan riuh dengan teriakan dan tawaan teman yang lain. Aku terperanjat. Aku ingin memastikan apa yang aku dengar itu salah. Satu orang yang belum bermain terpilih. Dia mengajukan diri. Lalu orang tersebut menunjuk Dia untuk bertanding melawannya. Kemudian orang tersebut memilih seorang wanita yang kurus yang dari tadi berdiri di sebelahnya. Dia belum memutuskan dengan siapa Dia akan bermain.
Jantungku berdebar. Dia melihat seisi ruangan. Dia melihatku. Dan melewatiku. Dia melihat sekeliling ke arah yang berlawanan. Dia melihatku. Tapi, dia tidak melewatiku. Dia tersenyum padaku. Jantungku makin berdebar.
Secara refleks aku menggelengkan kepala dengan cepat tanda menolak. Dia tidak memaksa, kemudian dia meneruskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia mengajak seseorang yang sedang terduduk di tangga. Orang itu menolak. Dia terlihat bukan tipe orang yang memaksa kalau orang yang ditawarkannya tidak mau.
Dia dengan pasti kembali menatapku. Mengangguk kepadaku. Semua orang bersorak kepadaku untuk menerima tawarannya. Aku menggeleng semakin cepat. Aku tahu kalau mukaku mulai memerah. Jantungku berdetak semakin kencang. Tanganku mulai mengeluarkan keringat. Kali ini dia tidak mengalihkan pandangannya. Dia mengangguk kepadaku.
Aku takut.
Matanya.
Matanya membuatku pipiku semakin panas. Matanya memaksaku untuk untuk menggeleng semakin kencang.
Tiba-tiba secara sepihak dia sudah berada di depanku, menarikku untuk berdiri. Aku bisa melihat dia merasa tidak nyaman karena aku tidak nyaman. Ekspresinya mengkhawatirkanku. Kenapa aku? Tapi, akupun berdiri tanpa perlawanan.
Dia menerima satu batang Pocky. Mataku membelalak melihat dia sudah memegang benda tersebut. Kepalaku panas.
"Kamu mau yang diam atau yang memakan bagian coklatnya?"
Aku terperanjat. Tidak pernah menyangka dia akan mulai berbicara.
Aku tidak tahu.
Tiba-tiba tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menyimpan batang yang tidak bercoklat di antara bibirnya. Itu artinya, aku yang harus memakan bagian coklatnya. Mataku membuka lebih lebar dari sebelumnya, aku dapat merasakannya. Dia memegang pundakku, entah buat apa. Mungkin untuk menenangkanku.
"Oke, siap-siap ya!"
Aku semakin panik. Melihat ke arah suara itu muncul memberikan isyarat kalau aku belum siap
"Hitungan ketiga. Satu..."
Aku panik. Aku dengan cepat memandang Dia.
"Dua..."
Matanya teduh dan memberikan tanda kalau aku akan aman di dalamnya.
"Tiga!"
Secara refleks aku mulai menggigit ujung benda tersebut. Sedikit demi sedikit. Entah apa yang muncul, namun, aku merasa nyaman. Muka kami semakin mendekat. Tanpa pikir panjang aku mulai memenghabiskan benda tersebut hingga dengan sendirinya aku mulai memiringkan kepalaku. Entah apa yang aku pikirkan. Aku tidak merasakan apa-apa.
Aku dapat mendengar orang-orang di sekitar mulai berteriak dan memberikan semangat untuk lawanku, dan juga aku dan Dia.
Aku mulai dapat melihat wajahnya dengan detail.
Warna kulitnya putih bersih, namun tidak pucat.
Matanya tidak terlalu besar. Aku tidak bisa melihat pupilnya, karena berwarna gelap pekat.
Hidungnya.
Dia mulai memiringkan kepalanya juga.
Tiba-tiba aku bisa merasakan detak jantungku lagi. Kepalaku mulai memanas lagi. Tanganku mulai berkeringat lagi. Aku harus mengakhiri semua ini secepat mungkin. Aku menutup mataku. Aku mulai dapat merakan panas dirinya di depan wajahku. Aku mengangkat bibirku dan membiarkan benda tersebut berada di antara gigiku. Benda tersebut belum patah di luar sehingga kami belum kalah. Aku kembali menggigit dan maju. Ketika aku mulai merasakan bibir kami bersentuhan, aku menggigitnya. Dia pun menggigitnya. Semua orang ramai berteriak. Benda tersebut menjadi sebuah batangan kecil. Dia memberikan sisa benda tersebut ke salah satu 'panitia'.
0.6 cm.
Dia tersenyum padaku.
Kami menang dalam permainan itu, kata seorang wanita berambut pendek yang sedari tadi suaranya paling keras di antara yang lain.
Aku terkejut.
Dia memelukku.
Melepakan pelukannya.
Dia tersenyum dan kembali duduk ke tempatnya.
Aku masih berdiri di tempat yang sama dia memelukku.
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)