Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

April 27, 2014

Their own story

Bandung, Februari 2010 

Seperti Februari yang seharusnya, sore itu angin Bandung menyentuh tanah ditemani air hujan. Udara sejuk menelusup masuk ke setiap bangunan yang berdiri kokoh melindungi masing-masing dunia di dalamnya. Di salah satu bangunan, Dara sedang duduk di sofa, ia terdiam memandangi koper dan tumpukan dus yang satu persatu lenyap dari pandangannya.
“Kalau takut tinggal sendiri, ajak saja temanmu tinggal di sini”, ibu menghampiri Dara dan duduk di sebelahnya. 
Dara menanggapi perkataan ibunya dengan helaan napas panjang, ‘bagaimana mungkin aku memiliki teman yang mau diajak tinggal bersama, aku hanya bersosialisasi dengan mereka saat kuliah berlangsung saja’, pikirnya. 
Seperti tipe rumah bercat putih dengan furniture berwarna coklat yang mereka tinggali, keluarga Dara menerapkan pola asuh klasik. Orang tuanya memiliki peraturan yang super ketat untuk Dara dan adiknya, mereka juga mendominasi setiap keputusan yang diambil oleh anaknya. 
“Jangan sedih gitu, kalau kuliahmu sudah selesai, kita kumpul lagi di rumah baru kita di Semarang. Ayah yakin kamu bisa lulus tahun depan”. Ayah bergabung dengan Dara dan ibu. 
Sekarang Nuri, adik Dara yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD, berdiri di depan Dara dan menundukkan kepalanya. 
“Kalo kakak ga ikut, nanti Nuri di sana main sama siapa?”. Nuri memeluk Dara. 
Keputusan telah diambil, waktu memang hal yang paling tidak pasti di dunia, kemarin saat Dara dilarang pergi ke sekolah sendirian dan sekarang saat ia ditinggalkan sendiri di kota ini terasa hadir dalam satu garis waktu. Dara mengantar keluarganya ke mobil, tanpa air mata dan juga tanpa senyuman. Dara mampu menahan rasa sedih dan mencoba menapik bayangan kesunyian yang akan ia hadapi, namun ia tidak cukup dewasa untuk bersikap ‘seharusnya’. 
*** 

Jakarta, Maret 2011

Baru tiga jam yang lalu matahari menampakkan diri, tapi sengat panasnya seperti api unggun berbahan bakar rumah. Jakarta tidak lagi akan ramah, ia marah pada penghuninya dan seakan sedang berguru mengenai cara mengutuk pada Pompeii. Mungkin salah satu alasan Jakarta masih bersabar adalah harapan pada para pemujanya. 
Tama dan Kakek duduk di sebelah jendela di sebuah kafe di Kota Tua, pandangan mereka mengarah pada barisan sepeda tua yang dicat cantik, namun tetap tidak ada yang tahu apa yang ada di kepala mereka. 
“Jadi kakek ke sini cuma untuk ngeliatin sepeda?”, tanya Tama heran. 
Kakek menjawab pertanyaan Tama dengan senyuman, membuat Tama semakin bingung. 
“Memangnya ada apa dengan sepeda-sepeda itu, kek?. hmm.. atau kakek ke sini untuk mengenang nenek?”. 
“Dari dulu kakek memang sering datang ke sini hanya untuk melihat banyaknya sepeda yang sedang terparkir rapi, tapi kakek tidak pernah sekalipun pergi ke suatu tempat hanya untuk menghidupkan dan hidup dalam kenangan”. 
“Jadi ?”. 
“Kakek sering datang ke sini setiap kali merasa lelah dengan peran yang diberikan Tuhan untuk sebuah pagelaran yang disebut kehidupan. Setiap kakek ingin menyerah, kakek mencari berapa lama seseorang berhenti mengayuh sepeda tanpa jatuh”. 
“Hmm?”, Tama mencoba mengasosiasikan jatuh dari sepeda dan menyerah. 
“Kalau hidup itu seperti mengayuh sepeda, berhenti mengayuh itu berarti menyerah, dan ketika kita berhenti mengayuh, seberapa lama kita bisa bertahan tanpa harus jatuh?. Sejauh observasi yang kakek lakukan, tidak lebih dari 16 detik". Kakek tersenyum pada Tama sambil berlalu meninggalkan meja menuju toilet. 
Sekarang giliran Tama yang memandangi sepeda dan menghitung berapa lama rata-rata orang bisa bertahan tidak jatuh ketika tidak mengayuh sepeda. 
Ketika sedang asik memperhatikan ke luar, tiba-tiba pelayan berteriak meminta tolong dari arah toilet dan seketika orang-orang di dalam kafe berlari menuju toilet. Tama melihat tubuh kakeknya tergeletak di lantai. Tama langsung berlari meraih kakeknya, ia dapat merasakan darah mengalir deras dalam tubuhnya, seakan ada yang menekan tombol mesin penyedot air di dalam tubuhnya. 
Kakek adalah satu-satunya anggota keluarga Tama. Orang tuanya telah meninggal dunia saat Tama duduk di kelas 4 SD, sejak saat itu ia tinggal besama kakek dan nenek. Lalu bulan lalu nenek juga pergi menyusul kedua orang tuanya, dan sekarang.. kakek. 
*** 

Bandung, Agustus 2011 
Indonesia masih bersuka merayakan kemerdekaan yang dalam arti yang sesungguhnya entah sudah diraih atau belum, kain merah putih berkibar di tiang setiap rumah. Diantara perayaan ini, tidak ada yang tahu apakah indonesia sedang bersulang atau sedang menemani ibu pertiwi tenggelam dalam air mata yang berlinang. Namun semua orang tahu, ibu pertiwi baru saja mewariskan laranya pada Ari. 
Sejak dua jam yang lalu Ari mengurung diri di kamar, memainkan lagu-lagu patah hati yang beberapa liriknya ia ubah. Sudah dipastikan pencipta lagunya akan bergabung bersama ibu pertiwi apabila mendengar ini. Ari baru saja diputuskan kekasihnya dengan alasan ia terlalu sibuk dengan dirinya dan tidak peduli pada lingkungannya, terutama pada kekasihnya. 
"Hahaha, kenapa lo, kak?", tiba-tiba Barry, adik Ari, muncul di hadapan Ari sambil bersembunyi di balik kameranya. 
"Heh, ngapain lo!?", bentak Ari sambil mencoba merebut kamera di tangan Barry. 
"Hahaha gue cuma care sama kakak tercinta gue yang lagi patah hati yah ini", Barry berkata dengan nada menjengkelkan sambil mengamankan kameranya. 
"Care?, mana ada orang care ngambil foto kakaknya yang lagi sedih?. Adik macem apa lo!?". 
"Kalo kamu memotret, artinya kamu melihat benda yang ada di foto itu dengan menggunakan keterlibatan emosi. Tidak ada orang yang mengambil gambar jika merasa gambar itu tidak penting". Barry menjawab dengan gaya sok bijak sambil berlalu pergi. 
Setelah Barry enyah dari kamarnya, Ari terpikir perkataan Barry dan bertekad untuk aktif memotret demi menunjukkan pada mantan kekasihnya kalau dia memang peduli pada lingkungan.

April 23, 2014

Tentang Api

Love is a fire

Katanya...

Antara membuat hatimu hangat atau membakar rumahmu, itu tidak dapat dibedakan


***

Dosenku pernah bercerita mengenai api. Aku gak pernah mengerti maksudnya. Bahasanya ketinggian buat orang semacam aku. Doko selalu bingung, karena menurutnya orang yang kaya aku seharusnya akan ngerti bahasa dosen itu. Saat Doko bilang hal itu, aku langsung ngelirik dia seakan dia barang yang terhina yang ada di bumi ini dan dia pergi.

"Api", begitu kata yang keluar dari mulutnya, dengan gestur layaknya pujangga, dia bergerak gemulai di depan kelas. "Api adalah suatu eksistensi. Ketika kamu mengatakan 'aku butuh sesuatu untuk membakar dedaunan', itu adalah esensi dari api".

Aku tetap tidak mengerti. Hanya Tuhan dan dosen yang bersangkutan yang bisa mengerti.

**

Beberapa tahun lalu, tepatnya 10 tahun lalu, rumahku terbakar. Saat itu aku kelas 2 SMP. Saat itu juga aku melihat untuk pertama kalinya ekspresi kehilangan dari raut wajah ibu. Sudut mata dan bibirnya turun. Keluar air dari matanya. Pipinya merah, bukan karena merah bawaan lahir, tapi merah seperti aliran darah mengisi di setiap bagian pipinya. Keringat dan air mata bercampur di pipi merahnya itu. Rasanya ketika aku mengalami kecelakaan yang hampir membutakanku, ibu tidak 'se-kehilangan' itu....

14 tahun lalu, kelas 4 SD. Aku anak pendiam yang hanya mau bermain kalau diajak. Secara kebetulan, tidak ada yang pernah mengajakku main. Kalaupun diajak, itu bukan karena inisiatif mereka, tapi inisiatif dari ibu mereka yang melihat aku asik dengan duniaku, kesendirian.

"Oy, si Cina ikutan main!"

Begitu kata-kata yang keluar dari anak yang 'dipaksa' oleh ibunya untuk mengajakku bermain. Hal yang terlihat adalah ketidaksukaan mereka terhadap kata-kata itu. Bukan karena tidak suka dengan sebutan 'rasis' yang dilontarkan, tapi tidak suka dengan 'aba-aba' itu. Seakan-akan mereka semua sudah terprogram untuk merespon kode tersebut dengan respon yang sama, persis. Aku pun ikut bermain. Sepak bola. I never like sports in my whole life. Apalagi yang berhubungan dengan bola. Bola is my worst nightmare.

Singkat cerita mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan setelah 2 gol lagi. Semua sepakat, kecuali aku. Seakan-akan aku dijadikan anak bawang yang kerjaannya cuma ikut-ikut aja tanpa perlu tahu aturan. Bola disimpan di tengah lapangan dan seseorang dengan keras bilang "Ya!" dan semua anakpun berlari otomatis menuju bola tersebut. Aku tidak ikut berlari, karena aku gak suka bola. Kemudian yang aku ingat adalah sebuah kata yang terlontar dari seorang anak paling gendut di kerumunan itu, "Awas!!!", dan yang aku ingat suara nyaring yang timbul. Semua suara memudar dan yang ada hanya lah dengungan. Aku terjatuh ke tanah. Tanah itu masuk ke dalam mulut dan luang hidungku. Pahit. Kemudian aku mencoba bangkit bersama dengan suara dengungan itu. Kekakuan dan kebisuan anak-anak yang ada di belakangku tidak membantu aku semakin kuat untuk berdiri. Dengungan ini mengganggu. Seketika dengungan itu menjalar jadi rasa panas di sekitar pelipis dan pipi kiriku. Rasanya semakin panas. Panas...

Aku berjalan menjauhi anak-anak itu, tanpa melihat ke belakang. Hanya dengungan itu yang terdengar. Semakin lama, semakin samar. Aku menggerakkan kepalaku berharap kalau dengungan tersebut akan hilang. Namun, dengungan tersebut menjadi konstan. Tiba-tiba kepalaku pusing. Mual. Ingin muntah. Tapi aku menolak keinginan otak dengan terus berjalan.

Hal terakhir yang aku ingat, aku jatuh menindih pagar kebun yang terbuat dari bambu dan semuanya menjadi gelap...

April 13, 2014

A Day in The Life

- Chapter ini ditulis dengan C. Meis Irianti (Fikom 2012, Setjen PO BPM Kema Unpad 2013) dalam ingatan - 


"Nameless and Faceless (c) 2010, Ishrath Humairah (source)


Kalau aku harus memilih cewek paling berani yang pernah kutemui, aku pasti memilih kamu, Ri.

Kamu tidak pernah gentar dengan tantangan. Tidak ada film horor atau thriller yang membuatmu ketakutan. Mulai dari menggebuk kecoak dengan sandal jepit sampai menggebah senior-senior yang menggencetku waktu SMP, semua kamu lakukan. Tapi ada satu hal yang agak menggelikan : kamu tidak bisa tidur dalam gelap. Sebaliknya, aku tidak bisa tidur kalau lampu menyala. Setiap kamu menginap di rumahku (yang sangat sering terjadi, sampai orangtuaku membelikan tempat tidur bertingkat buat kita), kita pasti berdebat soal ini.

"Apa bedanya sih, Ri? Kalau kamu tidur kan merem juga. Kalau merem kan gelap."

"Beda," kamu ngotot. "Saat merem, gelap memang nggak masalah. Tapi pas kamu buka mata, itu masalah."

"Masalah gimana?"


"Ya, masalah." Kamu bergerak gelisah di tempat tidur di atasku. Suaramu hampir berbisik, "kamu pernah bayangin nggak? Gimana kalau saat kamu membuka mata, semuanya tetap gelap? Semuanya menghilang. Nggak pernah ada cahaya lagi. Semua yang kamu tahu berubah. Itu masalah..."


April 9, 2014

The Guardian



Parfum beraroma maskulin kurasakan tercium semakin pekat seiring dengan kedatangannya. Tanpa perlu mencari tahu pun aku mampu menebak siapa gerangan sang penebar aroma maskulin itu kalau bukan dirinya.
"Hai"
Kutolehkan kepala dan kudapati badannya yang terbalut seragam sekolah berwarna putih berada di hadapanku. Tidak sedekat yang kalian pikirkan, tetapi terasa pas bagiku.
"Hai juga"
Ia sedikit menekuk lututnya agar dapat menyejajarkan kedua matanya dengan milikku. Dan pandangan kami pun bertemu. 

Halo? Hai? Klia? Apa kau sadar?

Leo menggoyangkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah demi menarik perhatian sosok yang beberapa hari lalu ditemuinya.

Hah? Tentu saja aku sadar! Sedang apa kamu di sini? 
Klia, sosok itu, menoleh cepat ke arah lawan bicaranya. Garis-garis halus bergelombang tercetak halus di keningnya.

Menjagamu. Apa kamu lupa kalau aku adalah penjagamu di dunia ini? 
Leo mendudukkan diri di samping Klia dan menatap lurus ke depan, seperti yang Klia lakukan sebelum menyadari kedatangannya. 

Ah, ya betul juga. Sepertinya aku belum terbiasa dengan statusmu itu. 
Klia menganggukkan kepalanya pelan, lebih menujukan pernyataan itu kepada dirinya. Mendadak sekelebat pemikiran menghampiri Klia dan menggugah keingintahuannya. 

Kalau kau adalah penjagaku, lalu siapa penjagamu? Dan siapa yang harus kujaga?
Leo tertawa menanggapi pertanyaan Klia. Respon yang tidak sesuai ini jelas membingungkan bagi Klia. Bukankah pertanyaannya wajar? 

Hahaha, pertanyaanmu aneh! Di dunia ini, manusia seperti kita hanya memiliki satu peran,  atau status kalau mengutip istilahmu, dengan satu kewajiban utama. Peranku adalah penjagamu, dan tentu saja kewajiban utamaku adalah menjagamu. Karena alasan itu maka aku tidak memiliki penjaga sepertimu. Akulah sang penjaga. Sementara kamu adalah yang dijaga, dan dengan kata lain kamu tidak memiliki siapapun yang harus dijaga. Apa kamu paham? 
Kali ini Klia memfokuskan pandangannya pada Leo, berharap mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai jawaban laki-laki itu. Namun hanya keheningan yang melingkupi keduanya. 

Kenapa bisa seperti itu? 
Klia memutuskan untuk bertanya setelah beberapa saat penjelasan yang ditunggunya tidak juga keluar dari apapun-itu-nama-organ-telepati sang penjaganya. 

Hmm.. Entahlah. Hal ini mungkin.. semacam.. aturan? 
Jawaban Leo terdengar kurang meyakinkan, seolah menggambarkan keraguan yang entah darimana datangnya menyelimuti pikiran laki-laki tersebut atas peran dan tanggung jawab utamanya. 

Klia mendengus dan memalingkan wajah saat mendengar jawaban itu. 

Sebenarnya sudah berapa lama kamu ada di dunia aneh ini? 
Sejenak Leo berbalik memandangi Klia dan kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke arah semula. Klia memerhatikan kalau sosok sang penjaganya itu sedikit mengerutkan kening dan menyipitkan mata sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ditelepatikan. 

Sepertinya.. hanya beberapa saat setelah kamu ada. Ya, kupikir dia membuatku ada setelah melihatmu merasa kecewa atas kekuranganmu yang tidak mampu bersuara. 

Klia spontan membelalak dan membuka mulutnya. 

Ap.. apa?! Beberapa saat.. setelah aku.. ada? Setelah aku? Jadi kamu ada setelah aku?! 
Leo mengangguk membenarkan. Laki-laki itu sedikit kebingungan melihat keterkejutan Klia yang baginya terasa janggal. 

Ya. Kenapa kamu sekaget itu? Bukankah keadaan mengada-ku biasa-biasa saja? Hal yang lumrah? 
Klia hendak berseru dan membantah kelumrahan yang dimaksud Leo sebelum akhirnya menyadari gerakan mulutnya untuk meneriakkan seruan dan bantahan itu tidak membantu apa-apa karena memang tidak ada suara yang keluar. 

Lumrah? Ya Tuhan, Leo! Apanya yang lumrah? Kau baru ada setelah aku ada, tetapi kau langsung mengenaliku! Bahkan kau langsung mengatakan stat.. maksudku peranmu dan tugasmu menjagaku. Apa hal itu yang kamu maksud sebagai hal yang lumrah? 
Kali ini giliran Leo yang terbelalak dan ternganga. Sedetik kemudian tawa laki-laki itu meledak mendengar penjelasan berapi-api dan sedikit histeris yang ditelepatikan lawan bicaranya. 

Hahaha, kamu aneh sekali Klia! Tentu saja pengadaan itu lumrah. Coba kamu bayangkan, kalau aku yang ada lebih dulu dengan peranku saat ini sebagai penjaga seorang manusia bernama Achlys Alienor, lalu aku harus menjaga siapa saat kamu belum ada? 
Klia hanya balas menatap Leo dalam kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Leo menghela napas dan mencoba mencari perumpamaan sederhana agar mudah dipahami Klia. 

Umm, begini. Bayangkan kalau kamu adalah dokter yang harus menyembuhkan orang sakit. Jadi peranmu adalah dokter dan tugasmu adalah menyembuhkan orang sakit. Lalu bagaimana bisa kamu melakukan tugasmu kalau orang sakitnya saja tidak ada atau belum ada? Nah, itu juga yang terjadi saat pengadaanku. 
Klia terpaku mendengar penjelasan Leo. Otaknya berusaha mencerna informasi mengenai proses pengadaan yang dimaksud. Apakah proses pengadaan ini sama dengan proses penciptaan? 

Tapi.. tapi kenapa? 

Illusional Fiction. Powered by Blogger.