Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

March 22, 2014

Tentang Cina

"Dasar Cina!"

I
Hate
Those words

**

Kata-kata itu selalu muncul ketika perilaku ku dianggap gak sesuai dengan apa yang orang-orang mau. Ketika bekerja dalam kelompok, aku lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan sendiri dibandingkan harus dikerjakan dengan orang lain. Sometimes, they're messing up every little things. Padahal aku rasa mereka yang diuntungkan dengan hal ini, mereka gak perlu kerja banyak, tau-tau udah selesai aja. Tapi mereka selalu okay di depan dan not okay di belakang, which means mereka ngomongin aku di belakang. Fuck! Sudah banyak yang aku dengar tentang omongan-omongan 'belakang' itu, salah satunya, "Dasar cina idiot, kita mau bantuin, malah ditolak, taik!", but, I just let it go. Semakin dipikir, semakin merusak kesejahteraan aku. That's why, I hate working in a team.

Kata-kata itu bisa juga muncul ketika mereka ingin dapet contekan dan aku gak mau ngasih. "Dasar Cina". Bego lah, Itu salah mereka gak mau berusaha buat belajar. Dimanjain orang tuanya yang kaya-kaya itu. Selalu dapet yang instan. Pantes otaknya keriting kaya mie instan. Prinsip yang aku pegang adalah, mau bisa atau gak bisa, aku gak bakal nyontek atau ngasih contekan. Males banget 'disamain' sama orang-orang bau bawang itu.

Menurut ku, muka ku gak terlalu cina, walaupun ayah ku, menurut kabar adalah orang cina. Entah, cina yang mana. Apakah cina beneran, atau cina boyband (korea), atau mungkin cina harajuku (jepang).  Aku gak pernah tau. Toh, apapun cina-nya, pasti matanya sipit, itu stereotype orang awam. Yang jelas, aku gak pernah ketemu Ayah. Bahkan gak ada satu pun foto tentang Ayah yang pernah aku lihat. Agak aneh memang, jika mengetahui bahwa Ibu menikah dengan Ayah tapi tidak ada satu pun foto yang terdapat Ayah di dalamnya. Ibu pasti sewot kalau aku nanya-nanya soal Ayah. Sebegitu bencinya ya Ibu sama sama Ayah?



Aku agak malas bergaul dengan orang-yang-dianggap-orang-satu-ras-denganku. Iya, Orang Cina lainnya. Rasanya aku sering dibodohi sama pedagang-pedagang yang berlatar belakang Cina. Maka dari itu aku menganggap kalau Orang Cina itu licik. Logikanya, harusnya, sesama satu ras kita saling bantu. Tapi........... Rasanya aku menyesal punya tampang seperti mereka. Pelajaran yang aku ambil adalah aku tidak akan pernah membeli barang dari Orang CIna. Mereka mudah merayu, sedangkan aku mudah terayu.

Orang-orang sering tertawa jika berbicara denganku. Mereka bilang gaya bicara ku 'unik'. Iya, aku keturunan Cina yang memiliki logat Sunda. Logat ini diturunkan dari keluarga ibu ku dan seluruh hidup aku habiskan untuk bergaul dengan orang-orang Sunda dan aku semakin malas bergaul ketika ada orang yang bilang aku ini lucu, orang-cina-berlogat-sunda. Aku malas kalau ada komentar dari orang-orang seperti itu. Rasanya aku ingin mencabik-cabik salah satu dari mereka agar sisanya tidak mentertawakan aku lagi.

"Heh! Ngelamun mulu", tiba-tiba aku sadar dari pemikiran aku sendiri mengenai 'cina', yang bagiku cukup mengganggu. "Lu gak kuliah, Prim? Jam 2 broh, Pak Dayat lagi. Mau ditendang dari kelasnya lagi untuk ketiga kalinya?". Itu teman ku, aku pikir begitu. Mungkin teman ku satu-satunya, dan banyak ngomong. Iya, banyak ngomong. Berisik. Selalu muncul di otak aku. Tapi, entah kenapa dia masih aja nyeramahin aku walaupun aku suka gak ngerespon dia. "Eh, elu dengerin gue gak sih? Prim? PRIMA!!".

"Iya, denger, Doko!", aku pikir aku harus pergi aja, karena omelan dia gak akan beres sampe di sini.

"Eh, elu ye. Udah gue tungguin terus lu ninggalin gue gitu. Heh, Prima!! Masuk kelas gak lo!?!? Gue gak mau nemenin lu buat ngulang lagi untuk yang keempat ye......", makin lama suara itu makin samar, menjauh. Lebih tepatnya aku yang menjauh. Walaupun aku perlakuin dia kayak gitu, pada akhirnya dia balik lagi sama aku. Mungkin.

Ini adalah tahun kelima aku di kampus ini. Aku gak pernah ngerti aku belajar apa. Tapi nilai-nilai aku menurut orang-orang sih bagus. Aku cuma menghapal aja. Aku gak ngerti apa yang aku hapalin. Cuma satu mata kuliah itu yang dari tahun pertama aku gak pernah lulus. Cuma mata kuliah itu doang. Brengsek kan, emang? Masalahnya cuma aku bilang di depan kelas kalau "ngajar itu yang bener", dan kemudian dia langsung memberi aku nilai E dan seterusnya sampai sekarang. Dosen wali ku selalu bilang untuk minta maaf agar aku segera lulus, tapi bodo. Ketentuan di kampusku adalah tidak boleh ada nilai E untuk mata kulaih wajib yang masuk kurikulum.

Skripsiku gak jalan juga. Dosenku artis internasional. Jalan-jalan terus ke luar negeri untuk mendatangi konferensi-konferensi tingkat dewa yang gak akan pernah aku tertarik untuk ikutin, dan pada akhirnya berakhir di instagram dengan sejuta foto-foto yang terkesan menjadi liburan, bukan ikut konferensi. Sejauh ini bimbingan cuma dilakukan via online, yang aku pikir ribet. Dia menyuruh untuk membuat akun Skype agar mudah untuk melakukan bimbingan, tapi aku males, dan masih tetap menggunakan e-mail. Dan sampai sekarang aku gak pernah buka e-mail dari dosenku yang sudah pergi selama 5 bulan itu.

Secara gak sadar aku sudah berada di depan sebuah pintu kaca besar.

Perpustakaan. 

Tempat paling nyaman kalau jam kuliah kaya gini. Kosong dan hening. Memang seharusnya seperti itu. Kalau mahasiswa masuk ke ruangan ini, terkesan seperti pasar. Ramai. Gak ada bedanya, mending aku pergi ke pasar aja sekalian. Lebih kerasa, lebih bau daging segar, daripada aku harus membaui bau badan dari mahasiswa yang gak pake deodorant.

Drrrrrttt...

"Ka, kapan pulang? Ibu sakit lagi. Katanya ingin ketemu Kaka. Kabarin ya, Ka", ternyata sebuah sms, dari Bibi. Literally, dia bukan Bibi aku. Maksudnya bukan adik Ibu maupun adik Ayah. Dia Bibi yang sering bantuin pekerjaan di rumah sejak aku kecil. Sejak Ayah pergi gak ada kabar..........

Di rumah, aku gak terbiasa untuk mengobrol. Ibu sibuk dengan pekerjaannya, menjadi tulang punggung. Walaupun banyak lelaki yang datang ke rumah, kaya, bawa mobil oke, tapi tidak ada satu pun yang Ibu terima. Ibu selalu bilang, "Ibu belum siap dan kamu gak perlu tanya-tanya lagi", kalau aku bertanya kenapa. Padahal kalau aku punya Ayah rasanya kehidupan ku dengan Ibu ku mungkin akan lebih baik.

Lagi, aku selalu menggigit kuku tangan ku ketika ingat Ayah. Entah kenapa, tapi dengan menggigit kuku aku merasa tenang. Aku selalu iri dengan teman-teman yang membawa Ayah dan Ibunya datang ke sekolah saat pertemuan orang tua saat aku masih SD. Sedangkan aku hanya dengan Ibu. Kebetulan sekali gak ada anak yang kehilangan orang tuanya, selain aku. Hilang?

Kemudian aku pun berhenti menggigiti kuku dan tersadar akan sms itu. Ibu sudah sakit selama 6 bulan terakhir. Tapi, ibu masih memaksakan bekerja. Ibu lulusan Sekolah Perawat dan Ibu bekerja di suatu puskesmas dekat rumah. Entah kenapa Ibu ingin sekali anaknya kuliah, padahal aku tau keadaan ekonomi kita gak pernah memadai. Aku selalu berpikir, kok Ibu sakit sih, padahal kan dia kerja di bidang kesehatan?

Suatu ketika, aku pernah curi dengar kalau uang kuliah ku dibiayai oleh seorang laki-laki kaya. Laki-laki yang masih saja datang ke rumah, walaupun sudah ditolak berkali-kali oleh Ibu. Dia bilang, dia yang biayai semua kebutuhan kuliah ku. Ibu menolak, tapi dia membisikkan suatu hal ke telinga Ibu yang tidak dapat aku dengar. Saat itu, aku tidak mendengar apa-apa lagi. Malamnya, Ibu bilang kalau aku bisa kuliah, dimana pun yang aku mau. Aku selalu menentang segala keputusan yang berkaitan dengan aku kuliah, namun Ibu selalu memaksa aku untuk melanjutkan kuliah agar kehidupan kami lebih baik, begitu katanya. Tapi, aku rasa aku gak sanggup. Otak aku gak nyampe. Otak aku sudah berpikir untuk kerja, bantu Ibu. Tapi aku takut kalau dia sewaktu-waktu dapat mengeluarkan kayu rotannya, yang selalu membuatku takut.

Ya.

Kayu rotan.

Mimpi buruk ku selama masih anak-anak. Banyak bekas-bekas kayu rotan yang menempel di tubuh ku. Kaki dan tangan. Aku tau ibu ku 'sakit'. Tapi, aku gak tau apa. suatu ketika aku menggunakan gunting kuku. Dulu aku pikir dengan menggunting kuku sendiri, aku bisa meringankan tugas Ibu dan Nenek pada saat itu. Aku ingin dipuji. Aku potong lah kuku-kuku sampai bersih, aku pun senang dengan hasil pekerjaan ku. Keesokan harinya, Ibu berteriak-teriak memanggil nama ku. Aku yang sedang menonton kartun pun kaget. Dia memaki-maki ku dengan kata yang menurut ku tidak pantas dilontarkan seorang Ibu kepada anaknya. Dia memaki sambil bilang kalau aku tidak menyimpan gunting kuku ke tempatnya kembali. Kemudian yang aku lihat, dia sudah menggenggam kayu rotan dengan kuat-kuat dan yang bisa aku ingat adalah panas yang menjalar dan suara tawaan tokoh kartun yang membahan dari televisi. Walaupun hanya di bagian tersebut, tapi panasnya tersebut sampai ke kepala ku. Rasanya seperti tersengat matahari. Tapi, lebih panas. lebih sakit. Lebih pedih. Semakin diingat semakin panas bekas kayu rotan itu, walaupun sudah bertahun-tahun lamanya.

Secara refleks aku pun mengatupkan gigi ketika mengingat kejadian itu.

Setiap kali bekas kayu rotan itu terasa, rasanya aku ingin mencari Ayah sampai ketemu dan aku ingin memukulnya, tepat di muka. Dan aku ingin menangis keras-keras sampai Ayah sadar kalau aku sangat membutuhkan Ayah, walaupun aku belum pernah melihat seperti apa Ayah dan aku gak tau juga bagaimana dia.

Drrrrrttt...

Sms itu membuyarkan perasaan panas yang membekas.

"Prim, dimana lu? Anak-anak pada WO soalnya Si Dayat gak muncul. Kesel! Babi!!!".

Secara gak sadar, bibir ku sudah melengkung setelah selesai membaca sms itu...

0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.