Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

December 20, 2017

BEREAVED


Kau pergi. Benar – benar pergi dan tidak akan pernah kembali. Ralat, tidak dapat kembali. Untuk selamanya.

Aku mengenalmu, tetapi tentu saja kau tidak pernah mengenalku. Kita tumbuh besar dan tinggal di tempat yang berbeda. Meski perbedaan waktu diantara tempat kita tidaklah banyak berselang. Hanya dua jam. Namun selang waktu dua jam tersebut bahkan membatasi bahasa yang disebut – sebut sebagai alat komunikasi manusia seperti kita. Aku hanya sedikit memahami bahasa tempat asalmu, begitupun dirimu yang (sepertinya) juga hanya sedikit (sekali) memahami bahasa tempat asalku. Hal itu tidak menjadi masalah karena selama ini aku masih dapat mengetahui kabarmu, masih dapat melihatmu, masih dapat menyaksikan beberapa rentetan padatnya kegiatanmu. Secara cuma – cuma. Aku beruntung kan?

Sejujurnya aku bukanlah penggemarmu. Justru aku lebih menggemari kakak – kakak perempuanmu yang berwajah cantik, berkulit mulus dengan badan proporsional sesuai patokan standar tempat asalmu. Namun aku tidak akan menampik jika aku menikmati sejumlah karyamu. Sangat.

Aku bukan penggemarmu, tetapi kenapa kepergianmu menyakitiku hingga sedalam ini? Berulang kali aku mencoba mencari kabar terbaru tentang kepergianmu, yang tidak ingin kupercayai sampai sekarang. Kau tahu? Bahkan tanpa perlu kuminta, ada banyak orang menyodorkan berita – berita tentangmu kepadaku. Berita yang tentunya kusangkal dan kupertanyakan.

Aku ingin bersikap egois padamu, meski aku bukan penggemarmu. Aku ingin kau tetap ada di duniaku. Tetap tersenyum padaku, tetap tertawa untukku, tetap berkarya demi aku. Aku sangat egois, huh?

Sungguh aku bukan penggemarmu, tetapi kenapa kesakitan yang kau ungkapkan melalui larik kata – kata juga menyakitiku separah ini? Bahkan sampai pada titik dimana aku beranggapan aku tidak pantas bahagia karena kau telah mengalami masa – masa menyakitkan itu. Bagaimana bisa aku tega tersenyum, tertawa, dan merasa bahagia sementara kau terpuruk tak lagi mampu berdiri. Sesakit itukah? Setidakmenyenangkan itukah? Sesulit itukah?

Pada akhirnya kau memutuskan untuk tetap pergi. Tanpa memedulikan kesakitanku, perasaan kehilanganku. Buat apa? Toh kau pun tidak mengenalku. Bahkan aku ragu kau mengetahui eksistensiku. Ya sudahlah, lagipula bukan salahmu kalau kau tidak tahu siapa aku.

Apa kau bahagia sekarang? Apa kau sudah tidak merasa kesakitan? Apa kau sudah dikelilingi oleh hal – hal yang menyenangkan?

Aku tidak akan menghakimimu. Aku tidak akan menyalahkanmu. Kuserahkan semua penilaian dan penghakiman itu pada Tuhan. Tuhan lebih dari tahu akan kondisimu. Dan kau juga tahu bukan kalau Tuhan Maha Pemaaf? Meski aku tidak bisa memohonkan maaf dari-Nya untukmu, namun aku berharap kau dimaafkan untuk segala kesalahan atas dirimu. Bagiku kau tetap pantas mendapatkan maaf itu.

Jadi, kau benar – benar telah pergi. Tidak, kau tidak pergi. Kau justru kembali pada tempat asal penciptaanmu. Tempat yang pastinya lebih indah dibanding tempat asalmu maupun tempat asalku.

Istirahatlah. Kau berhak mendapatkan waktu untuk terlelap lama setelah semua kerja keras yang kau lakukan selama ini. Semoga kesakitan, kepedihan, ketidaknyamanan dan apapun itu yang membebanimu terlepas sepenuhnya; digantikan dengan ketenangan dan kedamaian yang akan selalu melingkupimu. Selamat beristirahat…

…Kim Jonghyun-ssi…

September 7, 2017

Hurt



Sakit.

Cepat – cepat kugigit bibir bawahku sebelum bergetar tak terkendali.

Sakit… sekali.

Kali ini kukepalkan kedua tangan dengan menekankan ujung kukuku yang runcing ke telapak tangan.

Kenapa rasanya sakit sekali?

Untuk yang terakhir, aku memejamkan mata rapat – rapat.

.

.

.

Namun pertahanan itu runtuh seketika saat kudengar langkahnya yang perlahan mendekat dan berhenti tepat di hadapanku.

“Aku ikut senang karena kaulah orangnya. Kaulah… satu – satunya orang yang berhasil membuat kakakku jatuh cinta.”

Tes. Tes. Tes.

Air mata yang berusaha kutahan mati – matian di balik kelopak mataku berhasil menemukan jalan keluarnya dan mengalir perlahan, menganaksungai di pipiku. Menunjukkan kelemahan yang selama ini kututupi demi orang di hadapanku… dan saudaranya. Ralat, kakaknya. Kakak tirinya.

-ooo-

Aku memandang lawan bicaraku. Menatapnya dalam diam, menunggu reaksi apapun darinya.

Maaf.

Tanpa sadar pandanganku melunak. Kuberanikan diri untuk berjalan mendekat dengan menyisakan ruang kosong diantaranya.

“Aku ikut senang karena kaulah orangnya. Kaulah… satu – satunya orang yang berhasil membuat kakakku jatuh cinta.”

Kedua mataku menelusuri wajahnya. Kulihat aliran bening itu. Segera kutundukkan kepalaku sejenak sebelum kembali menatapnya.

“Kau akan bahagia dengannya. Percayalah.”

-ooo-

Kedua matanya bergetar membuka, menampilkan iris kecoklatan yang selalu mampu menghanyutkanku. Membuatku bertekuk lutut seketika. Berlebihan memang, tetapi itulah yang kurasakan setiap menatap tepat ke matanya.

“Kau… menangis lagi. Apa mimpi menyedihkan itu masih mengganggumu?”

Wajahnya yang masih dihiasi air mata perlahan berbalik menghadap ke arahku. Menatap menembus kedua mataku. Mengirimkan sinyal kesakitan yang langsung terhubung ke sistem saraf penglihatanku meski ia telah berusaha mengalihkannya dengan sapuan senyuman tipis itu. Senyuman yang membuatku menggila di waktu pertama melihatnya.

“Mmh, begitulah.”

Aku segera menariknya ke dalam pelukan setelah menghapus jejak air mata itu di pipinya. Kuusap pelan punggungnya. Ia hanya diam di pelukanku. Tidak memberontak untuk melepaskan diri, pun tidak membalasnya. Selalu begitu.

Tak apa. Kau memilihku dan aku berhasil memilikimu saja sudah sangat kusyukuri.

Terus kuulang – ulang kalimat sakti itu di pikiranku. Kalimat yang tak lelah untuk kudengungkan selama lima tahun terakhir ini, sejak hari pernikahanku dengannya. Kalimat yang selalu memberiku kekuatan untuk menghadapinya hari demi hari.

“Jam berapa ini?”

Pertanyaannya menyeretku kembali pada kesadaran. Pertanyaan yang sebenarnya adalah isyarat darinya untuk melepaskan diri dariku. Dengan terpaksa kubuka kaitan tanganku yang memeluk tubuhnya.

“Jam 6”

“Aku akan segera menyiapkan sarapan dan segala keperluanmu.”

Itulah akhirnya. Ia tak mau lagi berada di dekatku. Aku memaksakan untuk tersenyum padanya sambil mengusap wajahnya yang masih sejangkauan tangan.

“Baiklah.”

Ia balas tersenyum. Salah satu tangannya memegang tanganku yang masih berada di wajahnya, meremas pelan dan menariknya menjauh. Belum sempat kuberikan kecupan di kening indah itu, ia segera bangkit dari posisinya dan beranjak pergi. Meninggalkanku yang hanya dapat menatap punggungnya.


-ooo-


(Sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/da/44/bc/da44bc840547ad3e62900d1d5a7ac2f8--love-hurts-love-is.jpg)

August 17, 2017

Pisah

Aku dan Dia bagaikan belahan jiwa.

Begitu kata orang-orang di sekitarku.

Aku senang; aku sedih.

Dia tidak pernah tahu kalau aku suka Dia. Tapi, aku senang bisa selalu bersama Dia. Takdir?

Bertemu dengan Dia merupakan hal yang membuat hari-hariku cerah. Tawanya. Cara bicaranya. Gestur tubuhnya. Cara dia berbicara denganku. Semua bisa membangkitkan gairahku untuk menjalani hari. Aku bergairah karena Dia.

Setiap siang, dia selalu menghampiriku, menanyakan mau makan dimana. Hal sederhana seperti itu, bisa membuatku tersenyum sepanjang hari.

Aku ingin kita selamanya.

Tapi...

Saat aku bilang untuk memutuskan keluar, Dia marah. Dia bilang aku pengkhianat. Dia bilang nanti siapa lagi temannya. Dia marah.

Pemilihan waktuku salah.

Beban kerjanya sedang tinggi. Dia selalu mengeluh, hanya kepadaku. Tentunya, ketika Dia mendengar keputusanku, Dia marah. Matanya terbuka. Marah. Bibirnya. Air mukanya. Semua menuju ke arah marah. Genggamannya menguat. Pulpen yang sedang dipegangnya tidak berdaya. Udara ruangan ini menjadi sangat panas. Apa mungkin sebegitu panas amarahnya sehingga ruangan ini menjadi panas?

Aku menghindari pandangannya.

Setelah kukatakan hal tersebut, aku hanya bisa diam. Dia juga hanya bisa diam. Sesekali aku melihat ke arahnya, namun terlalu takut untuk menatap matanya. Pundaknya menegang. Nafasnya memburu. Aku ingin pergi dari ruangan ini. Namun, amarahnya yang tersebar di ruangan ini menahanku.

Aku menunduk. Memandang ke arah pahaku. Lalu pandanganku berlari seiring dengan degup jantungku yang semakin kencang. Ingin rasanya lari bersamanya.

Maaf.

Setelah beberapa menit yang seakan berpuluh-puluh tahun, kata itu yang muncul dari mulutku.

"Kenapa mendadak?" dengan ketus dia mengeluarkan pertanyaan itu.

"Aku harus pergi, secepatnya." akhirnya aku memberanikan diri untuk menatapnya, walaupun tanganku masih ketakutan, meminta keamanan di atas pahaku.

"Untuk apa?"

"Untuk meraih cita-citaku."

"Tidak kah aku kau jadikan salah satu cita-citamu?"

Aku terdiam. Aku kembali menunduk. Aku tidak mau melihatnya.

Aku mencoba untuk menatap langit-langit ruangan itu. Entah kenapa, rasanya akan ada air yang keluar dari mata ini ketika aku menunduk. Dengan mendongah, aku harap ia tidak keluar.

"Jawab!" Aku terkejut, Dia memukul meja yang ada di dekatnya. Pulpen yang ia pegang sebelumnya, sekarang terkapar di lantai, tidak bisa membendung kekuatannya.

Aku semakin diam. Pita suaraku melebur, seakan tidak bisa berfungsi karena panasnya amarah yang Dia keluarkan. Tundukanku semakin dalam.

Bangsat. Jangan keluar sekarang!

Mataku panas, seakan air-air itu sudah tidak tahan berada di dalamnya. Seketika pipiku basah akan air-air yang sudah tidak tahan tersebut.

Dia memelukku.

Aku terperanjat.

Dia memelukku semakin kuat.

Tanganku dengan otomatis membalas pelukannya, seperti biasa.

Air mata ini keluar tanpa bisa ku kendalikan. Suara tersengal-sengal tanpa arti keluar dari mulutku, yang sedari tadi tidak dapat mengeluarkan apapun.

Aku meremas bagian punggungnya.

Pasti sakit, namun dia tidak protes seperti biasanya.

Pundaknya basah.

Tangannya, tanpa aku minta, membelai kepala dan punggungku, seakan-akan ingin menenangkanku.

Aku pun larut dalam tangisan.

Dia tetap membiarkan diriku menangis di pelukannya.

August 13, 2015

Ode untuk Mathieu

Ode untuk Mathieu
A sort-of fic by Vera Maharani


One runs the risk of weeping a little, if one lets himself be tamed.” (The Little Prince – Antoine de Saint-Exupery)



Aku mengenalimu, Mathieu, bahkan dari beribu-ribu pucuk kepala.

Kamu bersandar pada tiang lampu, di dekat toko peralatan selancar yang kamu bilang overpriced itu. Angin mempermainkan rambut legammu yang mengombak di tengkuk.  Nanar kautatapi orang yang lalu-lalang, senyum tipis terpulas permanen pada bibirmu. Mata gadis-gadis yang melintas terpaku padamu beberapa detik terlalu panjang. Taruhan, mereka setengah berkhayal menjadi gadis idamanmu. Seberkas inspirasi dalam puisi atau apalah yang kaurangkai di pikiranmu.

Orang yang mengenalmu tahu, paling-paling kamu sedang memikirkan film horor terakhir yang kamu tonton di TV kabel. Sadako merangkak keluar televisi. Hantu Toshio di sudut kamar mandi. All the random things you can think of.

Aku masuk ke sudut pandangmu, dan kamu menegakkan tubuh. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Lambaianmu mematahkan hati segerombolan gadis yang mencuri-curi pandang ke arahmu.

 “Laras! You come!”                                                                                                           

Jangan konyol, Matt. Tentu saja aku datang. Walau aku heran, dari semua tempat, kenapa Kuta? Bukankah ini terlalu turistik buatmu, yang selalu ngotot ingin mencoba Indonesia seutuhnya, Bali hingga ke akar-akarnya?

Oh I just want to experience sunset from as many places as possible, before I—“

Kamu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Tawamu menyamar jadi dehem, atau itu dehem yang menyamar jadi tawa?

“Uhm, mind to take a walk with me a bit?”

Jangan konyol, Matt, tentu saja aku mau.

March 8, 2015

Ciuman

Dia duduk di sana.

Di hadapanku.

Aku tidak memedulikan teman-teman di sampingnya. Aku hanya ingin melihat dia. Dia tertawa bersama teman-temannya. Teman-temanku juga. Aku hanya bisa memandangnya. Aku takut mengajaknya bercerita terlebih dahulu. Melihat senyumnya saja aku senang. Sesekali dia melepaskan tawanya ke sekeliling ruangan. Dia melihatku dengan tawanya itu.

"Kita main pepero game ya. Gue bawa Pocky nih."

Aku tidak ingat sudah berapa permainan yang dimainkan oleh teman-teman yang lain. Aku hanya tertawa gugup dan berdoa untuk tidak dipilih. Sesekali aku tertawa terbahak-bahak untuk menutupi ketakutanku untuk dipilih. Aku tidak sengaja melihat dia; dia pun menatapku. Kami salah tingkah: aku memburu sekeliling ruangan untuk mencari objek yang bisa aku jadikan alasan untuk dilihat; dia terlihat kembali tertawa melihat permainan yang sedang dilakukan, namun tawanya terlihat tidak se-natural sebelumnya.

"Siapa yang belum main nih? Pocky-nya tinggal 2 batang. Kita jadiin duel gimana nih, guys?"

Seketika ruangan riuh dengan teriakan dan tawaan teman yang lain. Aku terperanjat. Aku ingin memastikan apa yang aku dengar itu salah. Satu orang yang belum bermain terpilih. Dia mengajukan diri. Lalu orang tersebut menunjuk Dia untuk bertanding melawannya. Kemudian orang tersebut memilih seorang wanita yang kurus yang dari tadi berdiri di sebelahnya. Dia belum memutuskan dengan siapa Dia akan bermain.

Jantungku berdebar. Dia melihat seisi ruangan. Dia melihatku. Dan melewatiku. Dia melihat sekeliling ke arah yang berlawanan. Dia melihatku. Tapi, dia tidak melewatiku. Dia tersenyum padaku. Jantungku makin berdebar.

Secara refleks aku menggelengkan kepala dengan cepat tanda menolak. Dia tidak memaksa, kemudian dia meneruskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia mengajak seseorang yang sedang terduduk di tangga. Orang itu menolak. Dia terlihat bukan tipe orang yang memaksa kalau orang yang ditawarkannya tidak mau.

Dia dengan pasti kembali menatapku. Mengangguk kepadaku. Semua orang bersorak kepadaku untuk menerima tawarannya. Aku menggeleng semakin cepat. Aku tahu kalau mukaku mulai memerah. Jantungku berdetak semakin kencang. Tanganku mulai mengeluarkan keringat. Kali ini dia tidak mengalihkan pandangannya. Dia mengangguk kepadaku.

Aku takut.

Matanya.

Matanya membuatku pipiku semakin panas. Matanya memaksaku untuk untuk menggeleng semakin kencang.

Tiba-tiba secara sepihak dia sudah berada di depanku, menarikku untuk berdiri. Aku bisa melihat dia merasa tidak nyaman karena aku tidak nyaman. Ekspresinya mengkhawatirkanku. Kenapa aku? Tapi, akupun berdiri tanpa perlawanan.

Dia menerima satu batang Pocky. Mataku membelalak melihat dia sudah memegang benda tersebut. Kepalaku panas.

"Kamu mau yang diam atau yang memakan bagian coklatnya?"

Aku terperanjat. Tidak pernah menyangka dia akan mulai berbicara.

Aku tidak tahu.

Tiba-tiba tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menyimpan batang yang tidak bercoklat di antara bibirnya. Itu artinya, aku yang harus memakan bagian coklatnya. Mataku membuka lebih lebar dari sebelumnya, aku dapat merasakannya. Dia memegang pundakku, entah buat apa. Mungkin untuk menenangkanku.

"Oke, siap-siap ya!"

Aku semakin panik. Melihat ke arah suara itu muncul memberikan isyarat kalau aku belum siap

"Hitungan ketiga. Satu..."

Aku panik. Aku dengan cepat memandang Dia.

"Dua..."

Matanya teduh dan memberikan tanda kalau aku akan aman di dalamnya.

"Tiga!"

Secara refleks aku mulai menggigit ujung benda tersebut. Sedikit demi sedikit. Entah apa yang muncul, namun, aku merasa nyaman. Muka kami semakin mendekat. Tanpa pikir panjang aku mulai memenghabiskan benda tersebut hingga dengan sendirinya aku mulai memiringkan kepalaku. Entah apa yang aku pikirkan. Aku tidak merasakan apa-apa.

Aku dapat mendengar orang-orang di sekitar mulai berteriak dan memberikan semangat untuk lawanku, dan juga aku dan Dia.

Aku mulai dapat melihat wajahnya dengan detail.

Warna kulitnya putih bersih, namun tidak pucat.

Matanya tidak terlalu besar. Aku tidak bisa melihat pupilnya, karena berwarna gelap pekat.

Hidungnya.

Dia mulai memiringkan kepalanya juga.

February 13, 2015

Dia

Dia melihatku.

Dia melihatku lagi.

Kenapa dia tidak melihatku lagi?

Rasanya ada ruang yang tidak terisi ketika dia tidak melihatku. Tubuhku menginginkan sesuatu untuk mengisi ruangan itu. Ruangan yang hanya aku yang tau. Tubuhku bergidik sangat menginginkannya.

Dia tersenyum.

Ah, Dia melihatku lagi.

Dia........tersenyum padaku.

Dia berjalan ke arahku sambil membawa senyuman itu .

Akan kah dia memberikan senyumannya itu kepadaku untuk ku simpan selamanya? Aku siap untuk menyimpan senyuman itu untuk selamanya. Senyumnya dapat menghidupiku. Aku suka senyumnya. Mungkin hanya karena aku suka Dia.

Suatu aroma menusuk hidungku ketika Dia berada di setengah perjalanan menujuku. Aromanya menenangkan. Hidungku mengingingkan aroma itu tinggal di sana untuk selamanya, agar bisa ia ciumi. Aku tidak bergerak agar hidungku dapat mencium aromanya sampai aroma itu hilang. Namun, aroma itu tidak menghilang atau berkurang. Aroma itu semakin lama semakin kuat. Aku tidak pernah tau aroma apa ini. Jika memang Dia menggunakan parfum mahal, aku rasa aromanya tidak akan sekuat ini. Apakah ini perpaduan antara parfum dan tubuhnya? Rasanya aku ingin memiliki keduanya. Aku harus memilikinya.

Dia tepat 10 langkah di depanku.

9 langkah.

8.

7.

Pikiranku kacau. Aroma dan senyumnya mematikanku., Aku lupa berapa langkah lagi dia kepadaku. Aku ingin berlari langsung ke arahnya. Mendekap tubuhnya. Menyerap semua aroma yang ada di tubuhnya. Membiarkan Dia tetap berada dalam tubuhku.

Dia tepat berapa 1 langkah di depanku.

Dia tepat di hadapanku.

Dia berhenti.

Baru kusadari kalau dari tadi pandanganku tepat lurus ke arah depan. Aku tidak melihat senyumnya secara langsung, namun senyumnya itu membekas di ingatan. Aku tidak perlu susah payah mengingat senyumnya karena tanpa perlu usaha, senyumnya muncul, di benakku.

Aku mendongakkan kepalaku. Lehernya. Bibirnya. Hidungnya. Matanya. Ya, matanya. Mata berwarna coklat itu memandangku dengan tajam namun hangat. Aku mati di dalam. Aku ingin pura-pura, atau mungkin secara benar jatuh agar dia datang menopangku. Tapi kepalaku menahanku untuk jatuh. Mataku membalas ketajaman dan kehangatan tatapannya. Aku mulai memburu ke semua penjuru wajahnya. Aku suka alisnya. Ada 2 titik hitam di pelipisnya, tidak terlalu besar, aku baru sadar dia memilikinya.

Tatapannya.

Senyumannya.

---

"Halo, apa kabar?", sambil tersenyum Dia mengangkat tangannya untuk menjabat tanganku.

July 21, 2014

Tentang Nama

Namanya Prima.

Satu dari sekian nama yang tidak dapat dimengerti.

Apa yang kamu harapkan dari sebuah nama? "Nama itu do'a". Begitu kata orang-orang yang sering masuk ke sebuah ruang beralaskan gambar kubah. Apakah orang tuaku yang memberikan nama itu kepadanya? Prima. Apa yang diharapkan dari nama itu? Prima dalam melakukan semua hal? Rasanya dia tidak ingin melakukan semuanya dengan prima. Mungkin juga dia punya arti sendiri mengenai kata Prima. Entah. Entah. Masih ada dipikirannya, siapa yang memberikan nama itu.

Ayah?

Oh, ayah yang hilang itu. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat ayahnya. Entah apa yang terjadi, ibunya tak pernah bilang. Yang dia tahu adalah ibunya sangat membenci sosok ayah.

Ibu?

Kalau ibu yang memberikan nama itu, apa yang kau harapkan, bu? Aku cuma anak cina yang lahir di lingkungan yang kotor. Kotor akan budaya. Itu pikirnya.

Aku lelah, bu, kalau harus menerima-nerima saja apa yang kau bilang. Aku manusia. Aku harus berpikir. Aku harus tahu mengapa begini, mengapa begitu. Namun, pikiran itu hanya sebatas di pikirannya saja, tidak pernah keluar.

Sebuah nama, sebuah cerita. K

Kata sebuah lagu sih gitu.

Mungkin dengan nama ini, dia ditakdirkan untuk menjalani hidup seperti ini.




-Prima, yang sedang menerawang
Illusional Fiction. Powered by Blogger.