Sekali lagi ini tentang
cerita cinta. Yang biasanya hanya di reka dalam otak semata. Ia seringkali diam
disana, karena tiada pernah berani keluar dari gua. Menanti dan menanti sampai saat
ia tiba-tiba memegang kendali. Karena akhirnya ia sadar, dunia terlalu singkat untuk
berkata nanti. Hingga sadar ia tidak akan kuat kehilangan lagi.
Ruangan kelas itu berisi
satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya duduk saling berhadapan. Si
laki-laki duduk dengan badan sedikit condong kedepan. Matanya tegas namun memperlihatkan
perhatian. Tangannya bertemu di ataskakinya yang terbuka, saling berpegangan. Kemudian
si perempuan, ia sedang berkata-kata
dengan amat serius. Matanya basah dan pipinya tirus. Rambutnya sedikit berantakan
tapi jelas sempurna terurus. Membuat anak Adam yang melihatnya memperhatikan terus
menerus. Hidungnya basah, jelas sekali minta untuk dihapus. Ia sedang berkeluh kesah
dengan sahabatnya, Farrus.
“Saya bingung sekali, Far. Sepertinya rumah saya
bukan lagi tempat yang tepat untuk menjadi sandaran saya dan adik-adik. Tidak sehat
rasanya melihat pasangan orangtua itu berteriak satusama lain. Dan saya malu,
malu sekali karena hanya bisa menangis. Bahkan adik saya bisa lebih tabah. Pagi
tadi ia yang mengiring saya untuk masuk ke dalam mobil. Melupakan mereka yang
saling caci hanya karena sayur yang basi. Saya harus berbuat apa?”
Farrus memandang
Luna.Tidaklah aneh untuknya mendengar sedu sedan wanita. Khususnya wanita dihadapannya.
Sahabat yang sesungguhnya baru dikenal dua tahun lamanya. Bahkan hingga sekarang
ketika mereka tidak lagi sekelas bersama.
“Tidak ada yang
salah dengan kamu, Luna. Wajar untuk menangis. Gue pribadi tidak akan tahu bagaimana
rasanya jikaada di posisimu. Tuhan tahu benar kapasitasmu. We just need to
encountering it. Semua kejadian jelas ada tujuannya.”
“Itulah. Saya sepertinya terlalu bodoh untuk membaca
situasi. Bahkan untuk kejadian ini. Saya tidak tahu dan tidak dapat memahami apa
arti di balik semua ini.”, Luna menyeka hidungnya dengan tissue yang diberi Farrus.
“Hey, theres always be ups and downs. Ayo
Luna optimis. Berprasangka baik dengan Tuhan! Ia selalu serupa bayangan kita.
Ingat?”,Farrus menjawil hidung merah Luna playfully. Luna tersenyum lebar seketika.
KRIIIIIIIIIIIIING!
“And theres always be a ding dang dongsss
between it! Terimakasih sekali Farrus! Saya tidak tahu bagaiman…”
“shooshooo shoo! Drama dasar..sudah ya cengeng,
gue masuk dulu! Jangan nangis lagi suara sudah kayak lady rocker begitu!”,lalu suara
geser kursi mengakhiri pembicaraan dua insan tersebut selama sesaat. Selalu begini
setiap saatnya. Dua insan yang terjebak dalam istilah sahabat. Istilah sahabat.
Farrus dan Luna
saling suka. Semua tahu betul demikian adanya. Semua kecuali mereka berdua. Mereka
yang terlalu lama bertahan di zona aman mereka. Muda mudi yang merasa selalu ada
untuk lawan mainnya. Selamanya. Selamanya yang sayangnya sulit untuk bisa dikecap
manusia di dunia fana.
***
Bagi Luna, Farrus adalah
dahan yang selalu siap untuk mengajaknya melihat pemandangan di atas sana. Ia tempat
berpijak, bergantung sekaligus berteduh dalam waktu yang ia harap bisa selama-lamanya.
Farrus serupa abang lelaki yang jika Tuhan tidak sempurna, pasti lupa untuk diberi
kepadanya. Mereka bisa saling berbicara mengenai apapun sampai semalaman.
Apapun. Seolah mereka tidak mengenal batasan. Dari mulai pelajaran, keluarga hingga
isi hati.Ya, mereka terbiasa bertukar isi hati. Isi hati yang well, sepertinya memang
belum terlalu dalam. Buktinya mereka masih saling menyebutkan nama lawan jenis
yang menarik ke satu sama lain. Bukannya saling bertukar kalimat mesra atas nama
pribadi. Tetapi pokoknya mereka saling berbagi
selalu. Segalanya sampai terkadang saling menyimpan pilu. Siapa diantara kalian
yang sanggup menahan haru ketika orang terkasihmu dirundung pilu? Singkat kata,
bagi Luna, Farrus segalanya!
“Farrus, pulang nanti
mau temani saya? Saya mau ke ak.sa.ra. Saya habis bahan bacaan.”
“Gamau!”
“Koook?”
“Kamu itu kalau sudah membaca lupa sekitar.
Ogah gue dikacangin selama kamu baca!”
“Hahaha, Saya kira kenapa. Ayolah, lagian sudah
lama kita tidak pulang bersama. Ya yaya?”
Aaaah, Luna..whats with the eyes? That voice
I cudnt resist..that….
“Okaaaay Okaay. Tapi
beliin gue Dessert Platter di Koi ya! Dan ga boleh minta kamunya!”
“Farruuuus! Kamu bisa
mati diabetes, you sugartooth!”, Luna mengacak pelan rambut lurus Farrus yang
sudah mulai rimbun.
Kemudian tawa mereka
lagi-lagi terpisah.
KRRRRRRIIIIING!
“Hhaha, see ya Na! Ketemu di parkiranya!”
Na. Cuma dia yang memanggil Saya Na. Ahh,
Farrus.seandainya…
Malam itu mereka menghabiskan
waktu tertawa sampai gila di KOI. Sepiring hidangan manis itu tentu jadi santapan
berdua. Walau tentunya, dimonopoli oleh si lelaki karena setelah suap pertama
profiteroles Luna dengan rakus mencabik bungkus bukunya lalu mulai membaca. Walaupun
diam-diam ia melirik ke bayi besar di hadapannya. Luna akan selalu mengingat Farrus
sebagai pribadi yang hangat seperti ini. Lelaki yang nyaman dengan dirinya apa adanya.
Yang ketika ribuan lelaki adu jantan lewat pahitnya kopi, ia malah duduk nyaman
di sini dengan sepiring gula-gula aneka ragam dan rasa. Memakannya sampai habis
tidak bersisa seperti anak kecil yang girang menemukan eskrim di tengah oase masa
kecilnya.
Tuhan tolong hentikan waktu barang sejenak atas
surga di hadap Saya ini.
“Makan kayak bayiiii! Krimnya sampai pipi kamu
Far.”, Luna menyeka pipi Farrus dengan tissue.
“Biarin ah, ga ada
yang liat juga. Kamu kan sibuk baca!”
“Idiiih gombalnya ga
kira-kira. Kalau saya Clara atau Danti sudah pasti saya jatuh di pelukanmu semudah
ini!”, Luna menjentikan jarinya sambil tertawa. Lalu kembali serius dengan bukunya.
Bagi Farrus, Luna
adalah telur dalam sangkar yang bertengger di dahan kehidupannya. Yang amat rapuh
dan butuh penjagaan ekstra terhadapnya. Butuh perawatan yang tidak main-main
untuk menjaganya tetap utuh dan tidak pecah. Untuk kemudian seiring berjalannya
waktu tumbuh dan siap untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Akan tetapi selalu
pulang kesangkarnya. Kedahannya. Kedalam dekapnya. Farrus tahu benar bagaimana
Luna. Ia tahu wanita rapuh di hadapannya ini sesungguhnya adalah wanita super.
Bagaimana tidak? Siapa yang betah tinggal di rumah yang tiap harinya ramai dengan
teriakan kasar dan saling hina. Padahal setahu dia, adik-adik Luna masih kecil usianya.
Pernah sekali ketika darmawisata sekolah, Luna yang duduk di bis bersamanya mengigau
ketika tidur malam. Ia menangis. Tuhan, bahkan dalam mimpinya pun ia masih harus
memikul berat. I wish I could handle all of her pain. I wish I could be her own
knight. Gila gue gila!
Andai saja waktu bisa berhenti berdetak di
detik ini, Tuhan. Saya siap membunuhnya dengan apapun..
Kemudian sunyi. Masing-masing
dari mereka berdialog di dalam hati.
“Cuma lelaki ini”
“perempuan se menakjubkan ini.”
“dahan berteduh saya..”
“..di
dalam dekap gue”
“satu-satunya..”
“hanya dia..”
“saya
cinta lelaki ini”
“perempuan luarbiasa ini.”
“bagaimana ini?”
“harus bagaimana?”
Bahkan buku yang sedang
dilahap Luna dan sepiring manis-manisan yang di santap Farrus tidak bisa mengalihkan
isi pikiran mereka yang sedang bertarung ini. Sampai kapan mereka seperti ini?
Lama terdiam sambil berpura berkegiatan seperti tadi. Sepertinya mata mereka mulai
merasa bosan. Mereka mulai saling merindukan. Maka dalam sedetik mereka beradu mata.
“Senyum saja, Luna!”
“Ahhh that smile.”
“Begini lebih baik”
“Lebih baik seperti ini”
Kemudian dialog
antar hati berhenti. Ia terlalu takut merusak suasana di antara mereka lagi. Ia
tidak mau menghancurkan kenangan malam ini. Lebih-lebih jika harus berakhir dengan
saling caci seperti yang mereka dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Baiknya
mungkin seperti ini. Abadi. Selamanya yang entah kapan akan bertahan seperti ini.
Ya, seperti sejauh ini.
Ada yang bilang sepasang
muda mudi mustahil bersahabat tanpa melibatkan hati.
Wisma Dara 8A, tiga bulan sebelum ulang tahun Tuan 2012
Annisa Ninggorkasih