Ode untuk Mathieu
A sort-of fic by Vera
Maharani
“One runs the risk of weeping a little, if one lets himself be tamed.” (The Little Prince – Antoine de Saint-Exupery)
Aku mengenalimu, Mathieu, bahkan dari beribu-ribu pucuk kepala.
Kamu bersandar pada tiang lampu, di dekat toko peralatan selancar yang kamu
bilang overpriced itu. Angin
mempermainkan rambut legammu yang mengombak di tengkuk. Nanar kautatapi orang yang lalu-lalang, senyum
tipis terpulas permanen pada bibirmu. Mata gadis-gadis yang melintas terpaku
padamu beberapa detik terlalu panjang. Taruhan, mereka setengah berkhayal
menjadi gadis idamanmu. Seberkas inspirasi dalam puisi atau apalah yang
kaurangkai di pikiranmu.
Orang yang mengenalmu tahu, paling-paling kamu sedang memikirkan film horor
terakhir yang kamu tonton di TV kabel. Sadako merangkak keluar televisi. Hantu
Toshio di sudut kamar mandi. All the
random things you can think of.
Aku masuk ke sudut pandangmu, dan kamu menegakkan tubuh. Menyelipkan anak rambut
ke belakang telinga. Lambaianmu mematahkan hati segerombolan gadis yang
mencuri-curi pandang ke arahmu.
“Laras! You come!”
Jangan konyol, Matt. Tentu saja aku datang. Walau aku heran, dari semua
tempat, kenapa Kuta? Bukankah ini terlalu turistik buatmu, yang selalu ngotot
ingin mencoba Indonesia seutuhnya, Bali hingga ke akar-akarnya?
“Oh I just want to experience sunset
from as many places as possible, before I—“
Kamu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Tawamu menyamar jadi
dehem, atau itu dehem yang menyamar jadi tawa?
“Uhm, mind to take a walk
with me a bit?”
Jangan konyol, Matt, tentu saja aku mau.
Pasir Kuta keemasan di bawah mentari senja. Ombak menjilati kaki kita
seperti anak anjing yang manja. Kamu tertawa, lalu menarik napas dalam-dalam.
Katamu, seumur hidup udara tak pernah begitu beraroma garam.
Di kotamu, Grenoble yang dingin dan permai itu, aroma garam hanya bisa kamu
cium di meja makan.
Kamu merentangkan tangan. Memejamkan mata. Senyummu kau pamerkan pada
langit senja.
“I always love it, the smell of the
ocean...”
Percayalah Matt, aku tahu. Pada hari pertama kedatanganmu, kamu sudah
mengoceh tentang betapa terkesan kamu pada garis pantai Bali (“In Grenoble, of course, there’s no beach.”),
biru lautnya (“The sky is blue in
Grenoble, but it’s different kind of blue.”), juga semilir anginnya (“Even summer in Grenoble doesn’t feel like
this, you know?”). Aku, yang pasti sedang menonton penyanyi favoritku di
Ubud Jazz Festival kalau calon dosen pembimbing incaranku tidak memintaku
menjemputmu di Ngurah Rai, cuma tersenyum basa-basi. Pikiranku terus melantur
pada selembar tiket yang kupesan dari jauh-jauh hari, yang sekarang terbenam di
dasar laci. ”Ras, sayang banget kamu nggak di sini!” seru teman-temanku di grup
Whatsapp. Aku bakal terharu, kalau
saja mereka tidak menyertakan selfie di
venue festival, yang lebih bernada
pamer daripada simpati. Aku blok mereka untuk setahun.
Saat itu, dalam taksi yang terjebak macet tidak jauh dari tol Nusa Dua,
celotehmu seperti gumam sengau di telinga. Shouldn’t
you feel jetlag or something? Kuharap aku bisa mengeblokmu untuk setahun
juga. Atau selama empat bulan keberadaanmu di sini, paling tidak.
Aku tidak melakukannya, tentu saja. Sudah kubidik kesempatan ini sejak tahu
akan ada mahasiswa magang dari Perancis yang penelitiannya berkaitan dengan
disertasi dosen pembimbing incaranku. Aku diterima jadi asisten peneliti, dengan
menjual sisa-sisa bahasa Perancis yang kupelajari dengan sporadis saat SMA.
Dan...ini demi ilmu pengetahuan. Strictly
professional. Aku tidak perlu menyukaimu secara pribadi. Cukup tertawa saat
kamu bilang musik jazz itu menggelikan. Tersenyum simpul saat kamu berkata Titanic—film favoritku sepanjang
masa—adalah film paling tolol yang pernah dibuat. Pasang wajah kaku saat kamu mengaku
tidak sabar melihat kapal sialan itu tenggelam, sementara aku masih berlinang
air mata saat menonton adegan yang sama.
Empat bulan akan berlalu dengan cepat,
begitu aku menghibur diri. Aku hanya
tidak menyangka secepat ini.
Kamu menahanku sebelum aku berjalan lebih jauh terbawa lamunan. “I need to take this photo, Laras,” katamu dengan kamera digital siaga di
tangan. Adikmu Marie sangat menyukai samudera dan matahari terbenam, dan dia
pasti senang sekali kalau bisa melihatnya. Kutawarkan untuk mengambil fotomu
sekalian, supaya Marie bisa melihat tiga hal favoritnya; matahari terbenam,
samudera, dan kakak laki-laki kesayangannya.
Kuteriakkan aba-aba dan kamu tersenyum lebar pada lensa. Ah, senyum itu,
bagaimana mungkin orang bisa membencimu dengan senyum seperti itu? Seperti tahu
itu bisa jadi senjata, kamu pamerkan senyum itu ke mana-mana. Mungkin karena
itu juga awalnya antipatiku padamu reda. Kamu pun mendekat, langkah demi
langkah, seperti Pangeran Kecil pada Si Rubah dalam dongeng de Saint-Exupery.
“Okay,
now, sunset selfie!” sorakmu.
Tanganmu merangkulku ringan, tubuhmu sedikit dicondongkan padaku. Napasmu
mendengus-dengus di balik senyum terbuka yang kau tujukan pada lensa,
seakan-akan ada sesuatu yang lucu, dan setelah foto ini selesai diambil, kamu
akan meledak dalam tawa.
“It’s a nice photo!” serumu
sambil memamerkan pratinjau foto di layar. Aku bukan manusia paling fotogenik
di dunia, dan di sebelahmu, aku makin terlihat canggung. Tapi aku tersenyum,
paling tidak. Kamera itu tidak sempat menangkap desakan bulir air di sudut
mataku, yang buru-buru kususut. Pasti karena kemasukan pasir, saat angin
berhembus ke arah kita.
Kamu mengerjap. Menyetujui bahwa angin ini agak berpasir, sambil
mengucek-ngucek matamu sendiri. Kamu bertanya apakah aku mau makan malam, ini
sudah hampir waktunya. Kamu menyebut sebuah restoran seafood yang menurutmu
mendapat ulasan bagus di Tripadvisor. “Have
you tried that?” tanyamu, masih mengucek mata. Aku menggeleng.
“Quoi!” Kamu mengomel. Orang Bali
macam apa aku, tidak pernah makan di sana....
Kamu mengabaikan pembelaanku, bahwa ke-Bali-an seseorang tidak bisa diukur dari
apakah dia pernah mengunjungi semua restoran di pesisir Kuta
“But you love seafood, and this is
seafood restaurant, Laras! With a
very good review in Tripadvisor!” Kamu mengucapkannya seakan-akan itu
adalah argumen pamungkas. Aku mengangkat tangan, lalu mengikutimu yang berjalan
sambil bersiul pelan.
Tapi aku tahu, Matt, kamu bahkan tidak suka sea food.
---
Restoran itu lebih mirip kumpulan kios dengan meja-meja panjang
berpenerangan lilin. Gamelan Bali mengalun dari speaker kualitas rendah yang
ditempatkan secara strategis. Kamu menarikkan kursi untukku, dan mengingatkan bahwa
aku tidak diizinkan mengeluarkan dompet sekali pun selama sisa hari ini. Kuteliti
ekspresimu, mencari petunjuk apakah kamu sadar bahwa bagi kebanyakan gadis,
semua ini agak terasa seperti kencan. Barangkali tidak. You are not a typical romantic French guy, anyway.
Kamu bilang, kamu berharap seseorang mematikan speaker, tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin lebih bagus
seperti ini. “I’m going to miss the
gamelan, when I’m back in Grenoble,” katamu sambil bertopang dagu. Geliat
cahaya lilin memantul pada mata cokelatmu.
“Unbelievable, it’s been four
months...”
Kita selalu menari di tepi topik ini, Matt, tapi buat apa berpura-pura
ketika perpisahan itu begini dekat? Maka
aku bisa mengerti ketika kamu bercerita tentang rencana pesta penyambutan kecil-kecilan
dari sahabat-sahabatmu. Janji bermain bowling
bersama kolega di departemen. Gratin
Dauphinois andalan ibumu, dan Marie, yang setiap hari menghitung mundur menuju
waktu kepulanganmu...
Aku melakukan hal yang sama, atas alasan yang jauh berbeda.
Lucu sekali bagaimana seseorang dapat datang ke hidupmu, singgah sejenak,
dan mengubah segalanya. Mungkin benar kata teman-temanku di grup Whatsapp (aku
berhenti mengeblok mereka setelah sebulan), seharusnya aku tidak menghabiskan
waktu terlalu lama bersamamu. “Kamu
dan dia punya deadline, Ras,” mereka
mengingatkan. Aku membalas mereka dengan emoticon
juluran lidah.
Aku tetap duduk di sebelahmu, di bangku pojok perpustakaan yang menghadap
jendela, lama setelah diskusi analisis data kita selesai. Menjelajah warung dan
restoran saat makan siang, supaya kamu bisa menentukan makanan Indonesia mana
yang paling kamu suka (nasi goreng dan gado-gado). Membelok dari rute pulangku
yang biasa, menuju pondokanmu sambil membanding-bandingkan kebiasaan mahasiswa
Perancis dan Indonesia. Menertawakan keterpesonaanmu pada film horor Asia dan
kejijikanmu pada sebagian besar restoran Perancis di sini (“They spell it wrong!”). Menjadi
penasihat wisata pribadimu, walau kamu suka menyela, “but according to what I read on Tripadvisor...”
Sekarang, sambil menatapmu yang cermat memisahkan potongan udang dari nasi
goreng, aku bertanya-tanya. Seperti apa bangku di pojok perpustakaan itu tampak
bagiku, saat aku duduk di sana hanya ditemani setumpuk buku untuk penelitian
berikutnya? Dan bagaimana pula rasanya menyusuri rute jalan pulang kita,
benakku penuh hal yang ingin kubicarakan denganmu. namun saat aku mendongak,
leluconku hanya ditanggapi udara kosong?
Ini konyol. Kenapa jadi aku yang melodramatis begini? Bukannya kamu yang
akan kehilangan lebih banyak begitu meninggalkan Bali? Kamu akan kehilangan
suasana tropis nan eksotis yang sering kamu puja-puji. Ritual-ritual yang
menarik buatmu, walau nama-Nya tidak pernah kau mulai dengan huruf kapital.
Orang-orang di fakultas yang ramah padamu, walau mereka bertanya-tanya kenapa
lelaki setengah mediterania ini malah sibuk di perpustakaan kampus, bukannya berselancar
di pantai. Kamu akan kehilangan gado-gado dan nasi goreng, pernak-pernik
kerajinan yang kamu borong dengan kalap di Sukowati... semuanya. Sementara aku
cuma akan kehilangan satu orang. Itu juga bukan benar-benar kehilangan. Kamu
bukannya bakal ditelan bumi atau apa. Kamu cuma pulang ke Grenoble. Sekitar
sepuluh ribu kilometer jauhnya dari sini.
“Laras?” Kamu mengibaskan tangan di
depan wajahku. “What’s wrong? You don’t
like the food? It’s weird to see you so quiet...”
Jangan konyol
Matt, tentu saja aku suka. Tidak ada yang salah pada makanan ini, pada malam
ini, pada keberadaanmu di sini. Semuanya sempurna, seperti mimpi. A midsummer night dream, and I will be awake
soon.
Paling tidak ini adalah malam musim panas yang indah, pasti begitu katamu,
kan, Matt? Hanya beberapa kerlip bintang menembus kabut cahaya Kuta, tapi
bulannya bulat sempurna. Aku mau bicara banyak tentang bulan padamu, karena
mulai besok aku akan melihat bulan ini enam jam lebih awal. Aku tidak bisa
berkomentar ‘bulannya cantik malam ini’ tanpa memperingatimu ‘spoiler alert’.
Tawamu bergulung. Lepas. Hangat. Keemasan.
“You should tell me. I have to know
how beautiful the moon would be in the next six hours!”
Maka aku berjanji akan memberitahumu soal bulan. Sebagai imbalannya, kamu
berjanji mengirimiku foto-foto tepian sungai Isere di musim gugur. Kamu
berhasil membujukku untuk mengabarimu setiap menemukan warung nasi goreng enak,
juga restoran-restoran Perancis jejadian yang memajang menu salah eja. Kamu
bertanya apa yang aku mau sebagai imbalannya dan aku hanya bisa tertawa. Aku
ingin kamu berjanji akan kembali ke sini, tapi aku tidak bisa mengatakannya
begitu saja, kan? Terlalu menyedihkan. Terlalu mengiba. Harga diriku tidak
mengizinkannya.
Mungkin aku terlalu lama diam, sehingga kamu mengajukan usulan. “How about some ice cream?”
Aku setuju, seperti biasa. Aku heran kenapa kamu masih merasa perlu
bertanya.
---
Kamu berkeras menuju gerai gelato
mahal di pinggir pantai daripada minimarket atau restoran franchise di sepanjang Legian. Memastikan aku tidak memilih varian gelato paling murah, dan mempersilakanku
menambah topping apa pun yang aku
suka. Kamu tidak percaya bahwa aku memang
lebih suka gelato-ku polos, bukan
enggan karena terlalu sering kamu traktir. Akhirnya aku meminta topping almond dan cokelat tabur, cuma
supaya kamu puas.
Pramusaji menatap debat kita sambil tersenyum, dan ketika pesanan kita
datang, kita masing-masing mendapat satu scoop
lebih banyak. “This week promotion.
Extra scoop for couples,” jelas pramusaji itu sambil menunjuk ke poster di
dekat kasir yang dari tadi tidak kita perhatikan.
Kita saling tatap, membiarkan pramusaji dalam kesalahpahamannya. Baru
setelah keluar dari gerai, kecanggungan turun, memadat dan melingkupi ruang
gerak. Kamu tertawa, aku tertawa, tapi kita tidak terdengar seperti...kita.
“It’s funny that he thought we are
couple. I mean, you and I are going to be separated ten thousand kilometres...”
Oh, terima kasih telah mengingatkan, Matt. Biar kutambahkan, selera musik
kita masing-masing membuat yang lain menutup telinga. Jenis film yang kita suka
juga tidak sejalan (aku masih belum sepenuhnya memaafkan komentarmu tentang Titanic). Kita bisa mengobrol banyak
tentang de Saint Exupery, tapi saat
aku bersemangat ingin membahas penulis lain, kamu menghentikanku dengan berkata
bahwa kamu bukan “the reading-guy type”. Kita
tidak pernah berdoa bersama—kamu tidak berdoa. Dan sebagai ceri di puncak, kita
memang akan terpisah sepuluh ribu kilometer. Terima kasih banyak.
Seakan menggarisbawahi kata-katamu, di langit beberapa kerlip bergerak
naik. Ngurah Rai tak seberapa jauh. Besok malam kerlip itu akan membawamu ke
Grenoble. Pada jalur bersepeda di tepi sungai Isère, puncak-puncak
Alpen dari lengkung La Bastille. Pada sahabat-sahabatmu –Yvette dan Jean dan
Philippe dan Andreas dan banyak lagi— yang sering kau ceritakan hingga rasanya mereka
kukenal secara pribadi. Pada orang tuamu, dan chère Marie yang akan menyongsong
memelukmu...
Bagimu ini adalah
liburan, dan kamu akan kembali pada kehidupanmu semula. Kehidupanmu yang tanpa
aku.
Dan aku akan
kembali—pada apa?
Angin kembali
bertiup, membawa bulir-bulir pasir ke mataku. Irama reggae-remix Welcome to My Paradise dari sebuah pub meluber ke
jalanan. Kamu di sebelahku, menggubah liriknya menjadi ‘Farewell to My Paradise’ di jeda tiap sesapan gelato cokelatmu.
Kamu bilang kamu
sangat beruntung. Tidak semua orang bisa mengaku pernah menjadikan surga
sebagai rumahnya, biarpun cuma untuk empat bulan. “It’s weird...,”kamu bergumam, “because
it still feels a lot like home.”
Oh, jangan
konyol, Matt. Ini rumahmu. Akan tetap jadi rumahmu, selama kamu mau. Home is where the heart is, aku mau
bilang, tapi lebih baik aku tidak memaksakan keberuntunganku.
Maka yang keluar dari mulutku adalah kata-kata klise. It’s the memories that counts, the happy memories will live in your
heart...disusul janji-janji yang tidak tahu apakah akan kita tepati. Katamu,
kamu akan melancong ke Bali lagi. Kamu akan tinggal lagi di sini beberapa
bulan, atau beberapa tahun, kalau perlu. Atau mungkin aku yang harusnya ke
Grenoble, supaya aku bisa mencicipi iklim Eropa dan makanan Perancis yang
sepantasnya. Kita akan bertemu lagi di masa depan, di suatu tempat, terserah di
mana. Dalam benakku, kau dan aku adalah potongan-potongan kertas pada diorama.
Jabatan tangan kaku berlatar Jimbaran. Gunung bersalju. Pencakar langit. Komidi
putar dan bianglala.
Dari yang asing,
kembali menjadi asing.
Namun kau saat
ini adalah sosok yang akrab. Kudapati diriku menatapmu lekat-lekat, setengah
putus asa merekam semuanya. Dalam beberapa jam tinggal memori ini yang aku punya. Dan selamanya
bagiku kau adalah malam hari di pantai Kuta. Restoran sea food dan gamelan Bali dari loudspeaker.
Gelato dengan almond dan cokelat tabur. Dan sekitar sejuta hal lainnya yang
akan selalu kukaitkan denganmu, entah bagaimana, entah mengapa.
“I will be missing Indonesia, ” ucapmu.
Mata cokelatmu sehangat selimut bulu. “I
will be missing you, Laras.”
Aku mengeluh. Apa yang
bisa dikatakan pada waktu-waktu seperti ini? Aku selalu payah dalam urusan
selamat tinggal. Dan saat ini, rasanya terlalu mirip dengan selamat tinggal.
“It’s not a good bye. It’s an
au revoir,” katamu.
Aku tertawa. Selamat tinggal, good
bye, au revoir, apa bedanya?
Tentu saja ada bedanya, kamu berkeras. Bukankah secara harfiah au revoir artinya until
the reseeing, sampai jumpa lagi? Tidak ada yang permanen dalam au revoir. Itu hanya ungkapan yang
menunjukkan antisipasi untuk pertemuan kita berikutnya.
Susah untuk membantah kalau wajahmu berbinar begitu rupa saat bicara. Susah
untuk tidak percaya bahwa suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, dan kamu
akan menyambutku dengan senyum yang selalu sama hangatnya. Susah untuk curiga
bahwa obrolan asyik kita akan merenggang, lalu lama-lama jadi bincang canggung
tentang cuaca.
“Au revoir is not so bad, Laras. N’est
ce pas?”
Kembang api berlompatan ke langit. Gemercik merah dan jingga menyirami
wajahmu yang menengadah terpesona. Dan selamanya bagiku kau adalah malam
kembang api di pantai Kuta. Seraut wajah yang digemerlapi cahaya, dengan senyum
tipis yang terpulas permanen dan gelak yang tertahan di balik nafas. Selamanya
bagiku kau adalah sosok yang berarti, terlalu berarti untuk jadi hilang makna
hanya karena jarak...
Bahkan jika jarak itu beribu-ribu kilometer jauhnya, tidak ada yang
permanen pada au revoir, kan?
Kubisikkan lirih pada angin, “Oui,
Matt. Je peux vivre avec au revoir...”
Dan letupan kembang api di langit melanjutkan perayaannya atas keberadaanmu
di sini.
"And when your sorrow is comforted (time soothes all sorrows) you will be content that you have known me. You will always be my friend. You will want to laugh with me. And you will sometimes open your window, so, for that pleasure...and your friends will be properly astonished to see you laughing as you look up at the sky! Then you will say to them, 'Yes, the stars always make me laugh!' And they will think you are crazy. It will be a very shabby trick that I shall have played on you..."And he laughed again.(The Little Prince – Antoine de Saint Exupery)
AN:
Quoi! (Bhs. Perancis) : Apa!
Gratin Dauphinois : Makanan khas Grenoble, terbuat dari
kentang yang dipanggang
Au revoir (Bhs. Perancis) : Selamat tinggal
N’est ce pas? (Bhs. Perancis) : Bukan begitu?
Oui, Matt. Je peux vivre
avec au revoir (Bhs. Perancis): Yes, Matt, I can live with au revoir
Also can be read on Vera's fictionpress
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)