Welcome, Lonely Hearts, to the place where loneliness is celebrated. Rejoice, for your search and longing is the sign that you are living.

You might think this is just an illusion. Who knows, it might be your reflection

August 13, 2015

Ode untuk Mathieu

Ode untuk Mathieu
A sort-of fic by Vera Maharani


One runs the risk of weeping a little, if one lets himself be tamed.” (The Little Prince – Antoine de Saint-Exupery)



Aku mengenalimu, Mathieu, bahkan dari beribu-ribu pucuk kepala.

Kamu bersandar pada tiang lampu, di dekat toko peralatan selancar yang kamu bilang overpriced itu. Angin mempermainkan rambut legammu yang mengombak di tengkuk.  Nanar kautatapi orang yang lalu-lalang, senyum tipis terpulas permanen pada bibirmu. Mata gadis-gadis yang melintas terpaku padamu beberapa detik terlalu panjang. Taruhan, mereka setengah berkhayal menjadi gadis idamanmu. Seberkas inspirasi dalam puisi atau apalah yang kaurangkai di pikiranmu.

Orang yang mengenalmu tahu, paling-paling kamu sedang memikirkan film horor terakhir yang kamu tonton di TV kabel. Sadako merangkak keluar televisi. Hantu Toshio di sudut kamar mandi. All the random things you can think of.

Aku masuk ke sudut pandangmu, dan kamu menegakkan tubuh. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Lambaianmu mematahkan hati segerombolan gadis yang mencuri-curi pandang ke arahmu.

 “Laras! You come!”                                                                                                           

Jangan konyol, Matt. Tentu saja aku datang. Walau aku heran, dari semua tempat, kenapa Kuta? Bukankah ini terlalu turistik buatmu, yang selalu ngotot ingin mencoba Indonesia seutuhnya, Bali hingga ke akar-akarnya?

Oh I just want to experience sunset from as many places as possible, before I—“

Kamu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Tawamu menyamar jadi dehem, atau itu dehem yang menyamar jadi tawa?

“Uhm, mind to take a walk with me a bit?”

Jangan konyol, Matt, tentu saja aku mau.
---
Pasir Kuta keemasan di bawah mentari senja. Ombak menjilati kaki kita seperti anak anjing yang manja. Kamu tertawa, lalu menarik napas dalam-dalam. Katamu, seumur hidup udara tak pernah begitu beraroma garam.

Di kotamu, Grenoble yang dingin dan permai itu, aroma garam hanya bisa kamu cium di meja makan.

Kamu merentangkan tangan. Memejamkan mata. Senyummu kau pamerkan pada langit senja.

I always love it, the smell of the ocean...”

Percayalah Matt, aku tahu. Pada hari pertama kedatanganmu, kamu sudah mengoceh tentang betapa terkesan kamu pada garis pantai Bali (“In Grenoble, of course, there’s no beach.”), biru lautnya (“The sky is blue in Grenoble, but it’s different kind of blue.”), juga semilir anginnya (“Even summer in Grenoble doesn’t feel like this, you know?”). Aku, yang pasti sedang menonton penyanyi favoritku di Ubud Jazz Festival kalau calon dosen pembimbing incaranku tidak memintaku menjemputmu di Ngurah Rai, cuma tersenyum basa-basi. Pikiranku terus melantur pada selembar tiket yang kupesan dari jauh-jauh hari, yang sekarang terbenam di dasar laci. ”Ras, sayang banget kamu nggak di sini!” seru teman-temanku di grup Whatsapp. Aku bakal terharu, kalau saja mereka tidak menyertakan selfie di venue festival, yang lebih bernada pamer daripada simpati. Aku blok mereka untuk setahun.

Saat itu, dalam taksi yang terjebak macet tidak jauh dari tol Nusa Dua, celotehmu seperti gumam sengau di telinga. Shouldn’t you feel jetlag or something? Kuharap aku bisa mengeblokmu untuk setahun juga. Atau selama empat bulan keberadaanmu di sini, paling tidak.

Aku tidak melakukannya, tentu saja. Sudah kubidik kesempatan ini sejak tahu akan ada mahasiswa magang dari Perancis yang penelitiannya berkaitan dengan disertasi dosen pembimbing incaranku. Aku diterima jadi asisten peneliti, dengan menjual sisa-sisa bahasa Perancis yang kupelajari dengan sporadis saat SMA. Dan...ini demi ilmu pengetahuan. Strictly professional. Aku tidak perlu menyukaimu secara pribadi. Cukup tertawa saat kamu bilang musik jazz itu menggelikan. Tersenyum simpul saat kamu berkata Titanic—film favoritku sepanjang masa—adalah film paling tolol yang pernah dibuat. Pasang wajah kaku saat kamu mengaku tidak sabar melihat kapal sialan itu tenggelam, sementara aku masih berlinang air mata saat menonton adegan yang sama.

Empat bulan akan berlalu dengan cepat, begitu aku menghibur diri. Aku hanya tidak menyangka secepat ini.

Kamu menahanku sebelum aku berjalan lebih jauh terbawa lamunan. “I need to take this photo, Laras,” katamu dengan kamera digital siaga di tangan. Adikmu Marie sangat menyukai samudera dan matahari terbenam, dan dia pasti senang sekali kalau bisa melihatnya. Kutawarkan untuk mengambil fotomu sekalian, supaya Marie bisa melihat tiga hal favoritnya; matahari terbenam, samudera, dan kakak laki-laki kesayangannya.

Kuteriakkan aba-aba dan kamu tersenyum lebar pada lensa. Ah, senyum itu, bagaimana mungkin orang bisa membencimu dengan senyum seperti itu? Seperti tahu itu bisa jadi senjata, kamu pamerkan senyum itu ke mana-mana. Mungkin karena itu juga awalnya antipatiku padamu reda. Kamu pun mendekat, langkah demi langkah, seperti Pangeran Kecil pada Si Rubah dalam dongeng de Saint-Exupery.

 “Okay, now, sunset selfie!” sorakmu. Tanganmu merangkulku ringan, tubuhmu sedikit dicondongkan padaku. Napasmu mendengus-dengus di balik senyum terbuka yang kau tujukan pada lensa, seakan-akan ada sesuatu yang lucu, dan setelah foto ini selesai diambil, kamu akan meledak dalam tawa.

It’s a nice photo!” serumu sambil memamerkan pratinjau foto di layar. Aku bukan manusia paling fotogenik di dunia, dan di sebelahmu, aku makin terlihat canggung. Tapi aku tersenyum, paling tidak. Kamera itu tidak sempat menangkap desakan bulir air di sudut mataku, yang buru-buru kususut. Pasti karena kemasukan pasir, saat angin berhembus ke arah kita.

Kamu mengerjap. Menyetujui bahwa angin ini agak berpasir, sambil mengucek-ngucek matamu sendiri. Kamu bertanya apakah aku mau makan malam, ini sudah hampir waktunya. Kamu menyebut sebuah restoran seafood yang menurutmu mendapat ulasan bagus di Tripadvisor. “Have you tried that?” tanyamu, masih mengucek mata. Aku menggeleng.

Quoi!” Kamu mengomel. Orang Bali macam apa aku, tidak pernah makan di sana.... Kamu mengabaikan pembelaanku, bahwa ke-Bali-an seseorang tidak bisa diukur dari apakah dia pernah mengunjungi semua restoran di pesisir Kuta

But you love seafood, and this is seafood restaurant, Laras! With a very good review in Tripadvisor!” Kamu mengucapkannya seakan-akan itu adalah argumen pamungkas. Aku mengangkat tangan, lalu mengikutimu yang berjalan sambil bersiul pelan.

Tapi aku tahu, Matt, kamu bahkan tidak suka sea food.

---

Restoran itu lebih mirip kumpulan kios dengan meja-meja panjang berpenerangan lilin. Gamelan Bali mengalun dari speaker  kualitas rendah yang ditempatkan secara strategis. Kamu menarikkan kursi untukku, dan mengingatkan bahwa aku tidak diizinkan mengeluarkan dompet sekali pun selama sisa hari ini. Kuteliti ekspresimu, mencari petunjuk apakah kamu sadar bahwa bagi kebanyakan gadis, semua ini agak terasa seperti kencan. Barangkali tidak. You are not a typical romantic French guy, anyway.

Kamu bilang, kamu berharap seseorang mematikan speaker, tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin lebih bagus seperti ini. “I’m going to miss the gamelan, when I’m back in Grenoble,” katamu sambil bertopang dagu. Geliat cahaya lilin memantul pada mata cokelatmu.  “Unbelievable, it’s been four months...”

Kita selalu menari di tepi topik ini, Matt, tapi buat apa berpura-pura ketika perpisahan itu begini dekat? Maka aku bisa mengerti ketika kamu bercerita tentang rencana pesta penyambutan kecil-kecilan dari sahabat-sahabatmu. Janji bermain bowling bersama kolega di departemen. Gratin Dauphinois andalan ibumu, dan Marie, yang setiap hari menghitung mundur menuju waktu kepulanganmu...

Aku melakukan hal yang sama, atas alasan yang jauh berbeda.

Lucu sekali bagaimana seseorang dapat datang ke hidupmu, singgah sejenak, dan mengubah segalanya. Mungkin benar kata teman-temanku di grup Whatsapp (aku berhenti mengeblok mereka setelah sebulan), seharusnya aku tidak menghabiskan waktu terlalu lama bersamamu. Kamu dan dia punya deadline, Ras,” mereka mengingatkan. Aku membalas mereka dengan emoticon juluran lidah.

Aku tetap duduk di sebelahmu, di bangku pojok perpustakaan yang menghadap jendela, lama setelah diskusi analisis data kita selesai. Menjelajah warung dan restoran saat makan siang, supaya kamu bisa menentukan makanan Indonesia mana yang paling kamu suka (nasi goreng dan gado-gado). Membelok dari rute pulangku yang biasa, menuju pondokanmu sambil membanding-bandingkan kebiasaan mahasiswa Perancis dan Indonesia. Menertawakan keterpesonaanmu pada film horor Asia dan kejijikanmu pada sebagian besar restoran Perancis di sini (“They spell it wrong!”). Menjadi penasihat wisata pribadimu, walau kamu suka menyela, “but according to what I read on Tripadvisor...”   

Sekarang, sambil menatapmu yang cermat memisahkan potongan udang dari nasi goreng, aku bertanya-tanya. Seperti apa bangku di pojok perpustakaan itu tampak bagiku, saat aku duduk di sana hanya ditemani setumpuk buku untuk penelitian berikutnya? Dan bagaimana pula rasanya menyusuri rute jalan pulang kita, benakku penuh hal yang ingin kubicarakan denganmu. namun saat aku mendongak, leluconku hanya ditanggapi udara kosong?

Ini konyol. Kenapa jadi aku yang melodramatis begini? Bukannya kamu yang akan kehilangan lebih banyak begitu meninggalkan Bali? Kamu akan kehilangan suasana tropis nan eksotis yang sering kamu puja-puji. Ritual-ritual yang menarik buatmu, walau nama-Nya tidak pernah kau mulai dengan huruf kapital. Orang-orang di fakultas yang ramah padamu, walau mereka bertanya-tanya kenapa lelaki setengah mediterania ini malah sibuk di perpustakaan kampus, bukannya berselancar di pantai. Kamu akan kehilangan gado-gado dan nasi goreng, pernak-pernik kerajinan yang kamu borong dengan kalap di Sukowati... semuanya. Sementara aku cuma akan kehilangan satu orang. Itu juga bukan benar-benar kehilangan. Kamu bukannya bakal ditelan bumi atau apa. Kamu cuma pulang ke Grenoble. Sekitar sepuluh ribu kilometer jauhnya dari sini.

 “Laras?” Kamu mengibaskan tangan di depan wajahku. “What’s wrong? You don’t like the food? It’s weird to see you so quiet...

Jangan konyol Matt, tentu saja aku suka. Tidak ada yang salah pada makanan ini, pada malam ini, pada keberadaanmu di sini. Semuanya sempurna, seperti mimpi. A midsummer night dream, and I will be awake soon.

Paling tidak ini adalah malam musim panas yang indah, pasti begitu katamu, kan, Matt? Hanya beberapa kerlip bintang menembus kabut cahaya Kuta, tapi bulannya bulat sempurna. Aku mau bicara banyak tentang bulan padamu, karena mulai besok aku akan melihat bulan ini enam jam lebih awal. Aku tidak bisa berkomentar ‘bulannya cantik malam ini’ tanpa memperingatimu ‘spoiler alert’.

Tawamu bergulung. Lepas. Hangat. Keemasan.

You should tell me. I have to know how beautiful the moon would be in the next six hours!

Maka aku berjanji akan memberitahumu soal bulan. Sebagai imbalannya, kamu berjanji mengirimiku foto-foto tepian sungai Isere di musim gugur. Kamu berhasil membujukku untuk mengabarimu setiap menemukan warung nasi goreng enak, juga restoran-restoran Perancis jejadian yang memajang menu salah eja. Kamu bertanya apa yang aku mau sebagai imbalannya dan aku hanya bisa tertawa. Aku ingin kamu berjanji akan kembali ke sini, tapi aku tidak bisa mengatakannya begitu saja, kan? Terlalu menyedihkan. Terlalu mengiba. Harga diriku tidak mengizinkannya.

Mungkin aku terlalu lama diam, sehingga kamu mengajukan usulan. “How about some ice cream?”
Aku setuju, seperti biasa. Aku heran kenapa kamu masih merasa perlu bertanya.

---

Kamu berkeras menuju gerai gelato mahal di pinggir pantai daripada minimarket atau restoran franchise di sepanjang Legian. Memastikan aku tidak memilih varian gelato paling murah, dan mempersilakanku menambah topping apa pun yang aku suka. Kamu tidak percaya bahwa aku memang lebih suka gelato-ku polos, bukan enggan karena terlalu sering kamu traktir. Akhirnya aku meminta topping almond dan cokelat tabur, cuma supaya kamu puas.

Pramusaji menatap debat kita sambil tersenyum, dan ketika pesanan kita datang, kita masing-masing mendapat satu scoop lebih banyak. “This week promotion. Extra scoop for couples,” jelas pramusaji itu sambil menunjuk ke poster di dekat kasir yang dari tadi tidak kita perhatikan.
Kita saling tatap, membiarkan pramusaji dalam kesalahpahamannya. Baru setelah keluar dari gerai, kecanggungan turun, memadat dan melingkupi ruang gerak. Kamu tertawa, aku tertawa, tapi kita tidak terdengar seperti...kita.

It’s funny that he thought we are couple. I mean, you and I are going to be separated ten thousand kilometres...”

Oh, terima kasih telah mengingatkan, Matt. Biar kutambahkan, selera musik kita masing-masing membuat yang lain menutup telinga. Jenis film yang kita suka juga tidak sejalan (aku masih belum sepenuhnya memaafkan komentarmu tentang Titanic). Kita bisa mengobrol banyak tentang de Saint Exupery, tapi saat aku bersemangat ingin membahas penulis lain, kamu menghentikanku dengan berkata bahwa kamu bukan “the reading-guy type”. Kita tidak pernah berdoa bersama—kamu tidak berdoa. Dan sebagai ceri di puncak, kita memang akan terpisah sepuluh ribu kilometer. Terima kasih banyak.

Seakan menggarisbawahi kata-katamu, di langit beberapa kerlip bergerak naik. Ngurah Rai tak seberapa jauh. Besok malam kerlip itu akan membawamu ke Grenoble. Pada jalur bersepeda di tepi sungai  Isère, puncak-puncak Alpen dari lengkung La Bastille. Pada sahabat-sahabatmu –Yvette dan Jean dan Philippe dan Andreas dan banyak lagi— yang sering kau ceritakan hingga rasanya mereka kukenal secara pribadi. Pada orang tuamu, dan chère Marie yang akan menyongsong memelukmu...

Bagimu ini adalah liburan, dan kamu akan kembali pada kehidupanmu semula. Kehidupanmu yang tanpa aku.

Dan aku akan kembali—pada apa?

Angin kembali bertiup, membawa bulir-bulir pasir ke mataku. Irama reggae-remix Welcome to My Paradise dari sebuah pub meluber ke jalanan. Kamu di sebelahku, menggubah liriknya menjadi ‘Farewell to My Paradise’ di jeda tiap sesapan gelato cokelatmu.

Kamu bilang kamu sangat beruntung. Tidak semua orang bisa mengaku pernah menjadikan surga sebagai rumahnya, biarpun cuma untuk empat bulan. “It’s weird...,”kamu bergumam, “because it still feels a lot like home.”

Oh, jangan konyol, Matt. Ini rumahmu. Akan tetap jadi rumahmu, selama kamu mau. Home is where the heart is, aku mau bilang, tapi lebih baik aku tidak memaksakan keberuntunganku.

Maka yang keluar dari mulutku adalah kata-kata klise. It’s the memories that counts, the happy memories will live in your heart...disusul janji-janji yang tidak tahu apakah akan kita tepati. Katamu, kamu akan melancong ke Bali lagi. Kamu akan tinggal lagi di sini beberapa bulan, atau beberapa tahun, kalau perlu. Atau mungkin aku yang harusnya ke Grenoble, supaya aku bisa mencicipi iklim Eropa dan makanan Perancis yang sepantasnya. Kita akan bertemu lagi di masa depan, di suatu tempat, terserah di mana. Dalam benakku, kau dan aku adalah potongan-potongan kertas pada diorama. Jabatan tangan kaku berlatar Jimbaran. Gunung bersalju. Pencakar langit. Komidi putar dan bianglala.

Dari yang asing, kembali menjadi asing.

Namun kau saat ini adalah sosok yang akrab. Kudapati diriku menatapmu lekat-lekat, setengah putus asa merekam semuanya. Dalam beberapa jam tinggal  memori ini yang aku punya. Dan selamanya bagiku kau adalah malam hari di pantai Kuta. Restoran sea food dan gamelan Bali dari loudspeaker. Gelato dengan almond dan cokelat tabur. Dan sekitar sejuta hal lainnya yang akan selalu kukaitkan denganmu, entah bagaimana, entah mengapa.

I will be missing Indonesia, ” ucapmu. Mata cokelatmu sehangat selimut bulu. “I will be missing you, Laras.”

Aku mengeluh. Apa yang bisa dikatakan pada waktu-waktu seperti ini? Aku selalu payah dalam urusan selamat tinggal. Dan saat ini, rasanya terlalu mirip dengan selamat tinggal.

It’s not a good bye. It’s an au revoir,” katamu.

Aku tertawa. Selamat tinggal, good bye, au revoir, apa bedanya?

Tentu saja ada bedanya, kamu berkeras. Bukankah secara harfiah au revoir  artinya until the reseeing, sampai jumpa lagi? Tidak ada yang permanen dalam au revoir. Itu hanya ungkapan yang menunjukkan antisipasi untuk pertemuan kita berikutnya.

Susah untuk membantah kalau wajahmu berbinar begitu rupa saat bicara. Susah untuk tidak percaya bahwa suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, dan kamu akan menyambutku dengan senyum yang selalu sama hangatnya. Susah untuk curiga bahwa obrolan asyik kita akan merenggang, lalu lama-lama jadi bincang canggung tentang cuaca.

“Au revoir is not so bad, Laras. N’est ce pas?”

Kembang api berlompatan ke langit. Gemercik merah dan jingga menyirami wajahmu yang menengadah terpesona. Dan selamanya bagiku kau adalah malam kembang api di pantai Kuta. Seraut wajah yang digemerlapi cahaya, dengan senyum tipis yang terpulas permanen dan gelak yang tertahan di balik nafas. Selamanya bagiku kau adalah sosok yang berarti, terlalu berarti untuk jadi hilang makna hanya karena jarak...

Bahkan jika jarak itu beribu-ribu kilometer jauhnya, tidak ada yang permanen pada au revoir, kan?

Kubisikkan lirih pada angin, “Oui, Matt. Je peux vivre avec au revoir...”

Dan letupan kembang api di langit melanjutkan perayaannya atas keberadaanmu di sini.

"And when your sorrow is comforted (time soothes all sorrows) you will be content that you have known me. You will always be my friend. You will want to laugh with me. And you will sometimes open your window, so, for that pleasure...and your friends will be properly astonished to see you laughing as you look up at the sky! Then you will say to them, 'Yes, the stars always make me laugh!' And they will think you are crazy. It will be a very shabby trick that I shall have played on you..."And he laughed again.(The Little Prince – Antoine de Saint Exupery)



AN:
Quoi! (Bhs. Perancis) : Apa!
Gratin Dauphinois : Makanan khas Grenoble, terbuat dari kentang yang dipanggang
Au revoir (Bhs. Perancis) : Selamat tinggal
N’est ce pas? (Bhs. Perancis) : Bukan begitu?
Oui, Matt. Je peux vivre avec au revoir (Bhs. Perancis): Yes, Matt, I can live with au revoir

Also can be read on Vera's fictionpress

0 comments:

Post a Comment

Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)

Illusional Fiction. Powered by Blogger.