Sakit.
Cepat – cepat kugigit bibir bawahku
sebelum bergetar tak terkendali.
Sakit…
sekali.
Kali ini kukepalkan kedua tangan dengan
menekankan ujung kukuku yang runcing ke telapak tangan.
Kenapa
rasanya sakit sekali?
Untuk yang terakhir, aku memejamkan mata
rapat – rapat.
.
.
.
Namun pertahanan itu runtuh seketika saat
kudengar langkahnya yang perlahan mendekat dan berhenti tepat di hadapanku.
“Aku ikut senang karena kaulah orangnya.
Kaulah… satu – satunya orang yang berhasil membuat kakakku jatuh cinta.”
Tes.
Tes. Tes.
Air mata yang berusaha kutahan mati –
matian di balik kelopak mataku berhasil menemukan jalan keluarnya dan mengalir
perlahan, menganaksungai di pipiku. Menunjukkan kelemahan yang selama ini
kututupi demi orang di hadapanku… dan saudaranya. Ralat, kakaknya. Kakak
tirinya.
-ooo-
Aku memandang lawan bicaraku. Menatapnya
dalam diam, menunggu reaksi apapun darinya.
Maaf.
Tanpa sadar pandanganku melunak.
Kuberanikan diri untuk berjalan mendekat dengan menyisakan ruang kosong diantaranya.
“Aku ikut senang karena kaulah orangnya.
Kaulah… satu – satunya orang yang berhasil membuat kakakku jatuh cinta.”
Kedua mataku menelusuri wajahnya. Kulihat
aliran bening itu. Segera kutundukkan kepalaku sejenak sebelum kembali
menatapnya.
“Kau akan bahagia dengannya. Percayalah.”
-ooo-
Kedua matanya bergetar membuka,
menampilkan iris kecoklatan yang selalu mampu menghanyutkanku. Membuatku
bertekuk lutut seketika. Berlebihan memang, tetapi itulah yang kurasakan setiap
menatap tepat ke matanya.
“Kau… menangis lagi. Apa mimpi
menyedihkan itu masih mengganggumu?”
Wajahnya yang masih dihiasi air mata
perlahan berbalik menghadap ke arahku. Menatap menembus kedua mataku.
Mengirimkan sinyal kesakitan yang langsung terhubung ke sistem saraf
penglihatanku meski ia telah berusaha mengalihkannya dengan sapuan senyuman
tipis itu. Senyuman yang membuatku menggila di waktu pertama melihatnya.
“Mmh, begitulah.”
Aku segera menariknya ke dalam pelukan
setelah menghapus jejak air mata itu di pipinya. Kuusap pelan punggungnya. Ia
hanya diam di pelukanku. Tidak memberontak untuk melepaskan diri, pun tidak
membalasnya. Selalu begitu.
Tak
apa. Kau memilihku dan aku berhasil memilikimu saja sudah sangat kusyukuri.
Terus kuulang – ulang kalimat sakti itu
di pikiranku. Kalimat yang tak lelah untuk kudengungkan selama lima tahun
terakhir ini, sejak hari pernikahanku dengannya. Kalimat yang selalu memberiku
kekuatan untuk menghadapinya hari demi hari.
“Jam berapa ini?”
Pertanyaannya menyeretku kembali pada
kesadaran. Pertanyaan yang sebenarnya adalah isyarat darinya untuk melepaskan
diri dariku. Dengan terpaksa kubuka kaitan tanganku yang memeluk tubuhnya.
“Jam 6”
“Aku akan segera menyiapkan sarapan dan
segala keperluanmu.”
Itulah akhirnya. Ia tak mau lagi berada
di dekatku. Aku memaksakan untuk tersenyum padanya sambil mengusap wajahnya
yang masih sejangkauan tangan.
“Baiklah.”
Ia balas tersenyum. Salah satu tangannya
memegang tanganku yang masih berada di wajahnya, meremas pelan dan menariknya
menjauh. Belum sempat kuberikan kecupan di kening indah itu, ia segera bangkit
dari posisinya dan beranjak pergi. Meninggalkanku yang hanya dapat menatap
punggungnya.
-ooo-
(Sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/da/44/bc/da44bc840547ad3e62900d1d5a7ac2f8--love-hurts-love-is.jpg)
0 comments:
Post a Comment
Here in Illufiction, we love comments! Please tell us what you think about this post :)