Bandung, Februari 2010
Seperti Februari yang seharusnya, sore itu angin Bandung menyentuh tanah ditemani air hujan. Udara sejuk menelusup masuk ke setiap bangunan yang berdiri kokoh melindungi masing-masing dunia di dalamnya. Di salah satu bangunan, Dara sedang duduk di sofa, ia terdiam memandangi koper dan tumpukan dus yang satu persatu lenyap dari pandangannya.
“Kalau takut tinggal sendiri, ajak saja temanmu tinggal di sini”, ibu menghampiri Dara dan duduk di sebelahnya.
Dara menanggapi perkataan ibunya dengan helaan napas panjang, ‘bagaimana mungkin aku memiliki teman yang mau diajak tinggal bersama, aku hanya bersosialisasi dengan mereka saat kuliah berlangsung saja’, pikirnya.
Seperti tipe rumah bercat putih dengan furniture berwarna coklat yang mereka tinggali, keluarga Dara menerapkan pola asuh klasik. Orang tuanya memiliki peraturan yang super ketat untuk Dara dan adiknya, mereka juga mendominasi setiap keputusan yang diambil oleh anaknya.
“Jangan sedih gitu, kalau kuliahmu sudah selesai, kita kumpul lagi di rumah baru kita di Semarang. Ayah yakin kamu bisa lulus tahun depan”. Ayah bergabung dengan Dara dan ibu.
Sekarang Nuri, adik Dara yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD, berdiri di depan Dara dan menundukkan kepalanya.
“Kalo kakak ga ikut, nanti Nuri di sana main sama siapa?”. Nuri memeluk Dara.
Keputusan telah diambil, waktu memang hal yang paling tidak pasti di dunia, kemarin saat Dara dilarang pergi ke sekolah sendirian dan sekarang saat ia ditinggalkan sendiri di kota ini terasa hadir dalam satu garis waktu. Dara mengantar keluarganya ke mobil, tanpa air mata dan juga tanpa senyuman. Dara mampu menahan rasa sedih dan mencoba menapik bayangan kesunyian yang akan ia hadapi, namun ia tidak cukup dewasa untuk bersikap ‘seharusnya’.
***
Jakarta, Maret 2011
Baru tiga jam yang lalu matahari menampakkan diri, tapi sengat panasnya seperti api unggun berbahan bakar rumah. Jakarta tidak lagi akan ramah, ia marah pada penghuninya dan seakan sedang berguru mengenai cara mengutuk pada Pompeii. Mungkin salah satu alasan Jakarta masih bersabar adalah harapan pada para pemujanya.
Tama dan Kakek duduk di sebelah jendela di sebuah kafe di Kota Tua, pandangan mereka mengarah pada barisan sepeda tua yang dicat cantik, namun tetap tidak ada yang tahu apa yang ada di kepala mereka.
“Jadi kakek ke sini cuma untuk ngeliatin sepeda?”, tanya Tama heran.
Kakek menjawab pertanyaan Tama dengan senyuman, membuat Tama semakin bingung.
“Memangnya ada apa dengan sepeda-sepeda itu, kek?. hmm.. atau kakek ke sini untuk mengenang nenek?”.
“Dari dulu kakek memang sering datang ke sini hanya untuk melihat banyaknya sepeda yang sedang terparkir rapi, tapi kakek tidak pernah sekalipun pergi ke suatu tempat hanya untuk menghidupkan dan hidup dalam kenangan”.
“Jadi ?”.
“Kakek sering datang ke sini setiap kali merasa lelah dengan peran yang diberikan Tuhan untuk sebuah pagelaran yang disebut kehidupan. Setiap kakek ingin menyerah, kakek mencari berapa lama seseorang berhenti mengayuh sepeda tanpa jatuh”.
“Hmm?”, Tama mencoba mengasosiasikan jatuh dari sepeda dan menyerah.
“Kalau hidup itu seperti mengayuh sepeda, berhenti mengayuh itu berarti menyerah, dan ketika kita berhenti mengayuh, seberapa lama kita bisa bertahan tanpa harus jatuh?. Sejauh observasi yang kakek lakukan, tidak lebih dari 16 detik". Kakek tersenyum pada Tama sambil berlalu meninggalkan meja menuju toilet.
Sekarang giliran Tama yang memandangi sepeda dan menghitung berapa lama rata-rata orang bisa bertahan tidak jatuh ketika tidak mengayuh sepeda.
Ketika sedang asik memperhatikan ke luar, tiba-tiba pelayan berteriak meminta tolong dari arah toilet dan seketika orang-orang di dalam kafe berlari menuju toilet.
Tama melihat tubuh kakeknya tergeletak di lantai. Tama langsung berlari meraih kakeknya, ia dapat merasakan darah mengalir deras dalam tubuhnya, seakan ada yang menekan tombol mesin penyedot air di dalam tubuhnya.
Kakek adalah satu-satunya anggota keluarga Tama. Orang tuanya telah meninggal dunia saat Tama duduk di kelas 4 SD, sejak saat itu ia tinggal besama kakek dan nenek. Lalu bulan lalu nenek juga pergi menyusul kedua orang tuanya, dan sekarang.. kakek.
***
Bandung, Agustus 2011
Indonesia masih bersuka merayakan kemerdekaan yang dalam arti yang sesungguhnya entah sudah diraih atau belum, kain merah putih berkibar di tiang setiap rumah. Diantara perayaan ini, tidak ada yang tahu apakah indonesia sedang bersulang atau sedang menemani ibu pertiwi tenggelam dalam air mata yang berlinang. Namun semua orang tahu, ibu pertiwi baru saja mewariskan laranya pada Ari.
Sejak dua jam yang lalu Ari mengurung diri di kamar, memainkan lagu-lagu patah hati yang beberapa liriknya ia ubah. Sudah dipastikan pencipta lagunya akan bergabung bersama ibu pertiwi apabila mendengar ini.
Ari baru saja diputuskan kekasihnya dengan alasan ia terlalu sibuk dengan dirinya dan tidak peduli pada lingkungannya, terutama pada kekasihnya.
"Hahaha, kenapa lo, kak?", tiba-tiba Barry, adik Ari, muncul di hadapan Ari sambil bersembunyi di balik kameranya.
"Heh, ngapain lo!?", bentak Ari sambil mencoba merebut kamera di tangan Barry.
"Hahaha gue cuma care sama kakak tercinta gue yang lagi patah hati yah ini", Barry berkata dengan nada menjengkelkan sambil mengamankan kameranya.
"Care?, mana ada orang care ngambil foto kakaknya yang lagi sedih?. Adik macem apa lo!?".
"Kalo kamu memotret, artinya kamu melihat benda yang ada di foto itu dengan menggunakan keterlibatan emosi. Tidak ada orang yang mengambil gambar jika merasa gambar itu tidak penting". Barry menjawab dengan gaya sok bijak sambil berlalu pergi.
Setelah Barry enyah dari kamarnya, Ari terpikir perkataan Barry dan bertekad untuk aktif memotret demi menunjukkan pada mantan kekasihnya kalau dia memang peduli pada lingkungan.