Aku dan Dia bagaikan belahan jiwa.
Begitu kata orang-orang di sekitarku.
Aku senang; aku sedih.
Dia tidak pernah tahu kalau aku suka Dia. Tapi, aku senang bisa selalu bersama Dia. Takdir?
Bertemu dengan Dia merupakan hal yang membuat hari-hariku cerah. Tawanya. Cara bicaranya. Gestur tubuhnya. Cara dia berbicara denganku. Semua bisa membangkitkan gairahku untuk menjalani hari. Aku bergairah karena Dia.
Setiap siang, dia selalu menghampiriku, menanyakan mau makan dimana. Hal sederhana seperti itu, bisa membuatku tersenyum sepanjang hari.
Aku ingin kita selamanya.
Tapi...
Saat aku bilang untuk memutuskan keluar, Dia marah. Dia bilang aku pengkhianat. Dia bilang nanti siapa lagi temannya. Dia marah.
Pemilihan waktuku salah.
Beban kerjanya sedang tinggi. Dia selalu mengeluh, hanya kepadaku. Tentunya, ketika Dia mendengar keputusanku, Dia marah. Matanya terbuka. Marah. Bibirnya. Air mukanya. Semua menuju ke arah marah. Genggamannya menguat. Pulpen yang sedang dipegangnya tidak berdaya. Udara ruangan ini menjadi sangat panas. Apa mungkin sebegitu panas amarahnya sehingga ruangan ini menjadi panas?
Aku menghindari pandangannya.
Setelah kukatakan hal tersebut, aku hanya bisa diam. Dia juga hanya bisa diam. Sesekali aku melihat ke arahnya, namun terlalu takut untuk menatap matanya. Pundaknya menegang. Nafasnya memburu. Aku ingin pergi dari ruangan ini. Namun, amarahnya yang tersebar di ruangan ini menahanku.
Aku menunduk. Memandang ke arah pahaku. Lalu pandanganku berlari seiring dengan degup jantungku yang semakin kencang. Ingin rasanya lari bersamanya.
Maaf.
Setelah beberapa menit yang seakan berpuluh-puluh tahun, kata itu yang muncul dari mulutku.
"Kenapa mendadak?" dengan ketus dia mengeluarkan pertanyaan itu.
"Aku harus pergi, secepatnya." akhirnya aku memberanikan diri untuk menatapnya, walaupun tanganku masih ketakutan, meminta keamanan di atas pahaku.
"Untuk apa?"
"Untuk meraih cita-citaku."
"Tidak kah aku kau jadikan salah satu cita-citamu?"
Aku terdiam. Aku kembali menunduk. Aku tidak mau melihatnya.
Aku mencoba untuk menatap langit-langit ruangan itu. Entah kenapa, rasanya akan ada air yang keluar dari mata ini ketika aku menunduk. Dengan mendongah, aku harap ia tidak keluar.
"Jawab!" Aku terkejut, Dia memukul meja yang ada di dekatnya. Pulpen yang ia pegang sebelumnya, sekarang terkapar di lantai, tidak bisa membendung kekuatannya.
Aku semakin diam. Pita suaraku melebur, seakan tidak bisa berfungsi karena panasnya amarah yang Dia keluarkan. Tundukanku semakin dalam.
Bangsat. Jangan keluar sekarang!
Mataku panas, seakan air-air itu sudah tidak tahan berada di dalamnya. Seketika pipiku basah akan air-air yang sudah tidak tahan tersebut.
Dia memelukku.
Aku terperanjat.
Dia memelukku semakin kuat.
Tanganku dengan otomatis membalas pelukannya, seperti biasa.
Air mata ini keluar tanpa bisa ku kendalikan. Suara tersengal-sengal tanpa arti keluar dari mulutku, yang sedari tadi tidak dapat mengeluarkan apapun.
Aku meremas bagian punggungnya.
Pasti sakit, namun dia tidak protes seperti biasanya.
Pundaknya basah.
Tangannya, tanpa aku minta, membelai kepala dan punggungku, seakan-akan ingin menenangkanku.
Aku pun larut dalam tangisan.
Dia tetap membiarkan diriku menangis di pelukannya.
Begitu kata orang-orang di sekitarku.
Aku senang; aku sedih.
Dia tidak pernah tahu kalau aku suka Dia. Tapi, aku senang bisa selalu bersama Dia. Takdir?
Bertemu dengan Dia merupakan hal yang membuat hari-hariku cerah. Tawanya. Cara bicaranya. Gestur tubuhnya. Cara dia berbicara denganku. Semua bisa membangkitkan gairahku untuk menjalani hari. Aku bergairah karena Dia.
Setiap siang, dia selalu menghampiriku, menanyakan mau makan dimana. Hal sederhana seperti itu, bisa membuatku tersenyum sepanjang hari.
Aku ingin kita selamanya.
Tapi...
Saat aku bilang untuk memutuskan keluar, Dia marah. Dia bilang aku pengkhianat. Dia bilang nanti siapa lagi temannya. Dia marah.
Pemilihan waktuku salah.
Beban kerjanya sedang tinggi. Dia selalu mengeluh, hanya kepadaku. Tentunya, ketika Dia mendengar keputusanku, Dia marah. Matanya terbuka. Marah. Bibirnya. Air mukanya. Semua menuju ke arah marah. Genggamannya menguat. Pulpen yang sedang dipegangnya tidak berdaya. Udara ruangan ini menjadi sangat panas. Apa mungkin sebegitu panas amarahnya sehingga ruangan ini menjadi panas?
Aku menghindari pandangannya.
Setelah kukatakan hal tersebut, aku hanya bisa diam. Dia juga hanya bisa diam. Sesekali aku melihat ke arahnya, namun terlalu takut untuk menatap matanya. Pundaknya menegang. Nafasnya memburu. Aku ingin pergi dari ruangan ini. Namun, amarahnya yang tersebar di ruangan ini menahanku.
Aku menunduk. Memandang ke arah pahaku. Lalu pandanganku berlari seiring dengan degup jantungku yang semakin kencang. Ingin rasanya lari bersamanya.
Maaf.
Setelah beberapa menit yang seakan berpuluh-puluh tahun, kata itu yang muncul dari mulutku.
"Kenapa mendadak?" dengan ketus dia mengeluarkan pertanyaan itu.
"Aku harus pergi, secepatnya." akhirnya aku memberanikan diri untuk menatapnya, walaupun tanganku masih ketakutan, meminta keamanan di atas pahaku.
"Untuk apa?"
"Untuk meraih cita-citaku."
"Tidak kah aku kau jadikan salah satu cita-citamu?"
Aku terdiam. Aku kembali menunduk. Aku tidak mau melihatnya.
Aku mencoba untuk menatap langit-langit ruangan itu. Entah kenapa, rasanya akan ada air yang keluar dari mata ini ketika aku menunduk. Dengan mendongah, aku harap ia tidak keluar.
"Jawab!" Aku terkejut, Dia memukul meja yang ada di dekatnya. Pulpen yang ia pegang sebelumnya, sekarang terkapar di lantai, tidak bisa membendung kekuatannya.
Aku semakin diam. Pita suaraku melebur, seakan tidak bisa berfungsi karena panasnya amarah yang Dia keluarkan. Tundukanku semakin dalam.
Bangsat. Jangan keluar sekarang!
Mataku panas, seakan air-air itu sudah tidak tahan berada di dalamnya. Seketika pipiku basah akan air-air yang sudah tidak tahan tersebut.
Dia memelukku.
Aku terperanjat.
Dia memelukku semakin kuat.
Tanganku dengan otomatis membalas pelukannya, seperti biasa.
Air mata ini keluar tanpa bisa ku kendalikan. Suara tersengal-sengal tanpa arti keluar dari mulutku, yang sedari tadi tidak dapat mengeluarkan apapun.
Aku meremas bagian punggungnya.
Pasti sakit, namun dia tidak protes seperti biasanya.
Pundaknya basah.
Tangannya, tanpa aku minta, membelai kepala dan punggungku, seakan-akan ingin menenangkanku.
Aku pun larut dalam tangisan.
Dia tetap membiarkan diriku menangis di pelukannya.